RENUNGAN MINGGUAN-MINGGU ADVEN I

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

RENUNGAN MINGGUAN-MINGGU ADVEN I

Berjaga-Jaga Bersama Allah

            Seluruh umat Kristiani di dunia kini diundang secara khusus untuk bersyukur atas masa Adven yang baru saja dimulai. Persis dalam masa inilah kita semua diajak untuk masuk ke dalam momen pertobatan dan mawas diri, guna bersiap-siap menyambut kedatangan Kristus.  Rupanya, bacaan-bacaan pada hari ini pun menyerukan hal yang senada. Tuhan Yesus bersabda dalam Injil Markus 13.33, “Hati-hatilah dan berjaga-jagalah! Sebab kamu tidak tahu kapan saatnya tiba.” Sabda Yesus ini menyiratkan suatu makna yang sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Digambarkan secara sederhana, bagaimana sang tuan rumah memberi tugas kepada si hamba untuk menjaga rumah ketika ia pergi keluar kota. Si hamba diingatkan untuk senantiasa berjaga agar ketika sang tuan pulang, si hamba kedapatan tengah menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Sekilas, kita bisa membayangkan bagian terngeri yang mungkin saja akan terjadi jika sang tuan mendapati hambanya tertidur ketika ia pulang.

            Begitupun jika kita tengah menantikan kedatangan seseorang yang sangat penting ke rumah kita. Kita pasti berusaha semaksimal mungkin untuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam penjamuan tersebut. Rumah harus dibersihkan, peralatan-peralatan makan harus tampak berkilau, juga yang terpenting adalah disposisi hati yang penuh dengan hospitalitas dalam penerimaan tamu tersebut. Oleh karena itu, makna kata “berhati-hati dan berjaga-jagalah” memiliki satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kita diajak untuk berwaspada dan berjaga-jaga secara aktif (Berjaga-jaga dengan hati, berjaga-jaga dengan iman, berjaga-jaga dengan amal kasih, dan dengan semua perbuatan baik), karena pada dasarnya berjaga-jaga berarti berhenti memusatkan diri pada diri sendiri, keinginan, dan kekhawatiran sendiri tanpa melihat orang lain.

            Memang dalam perikop Injil Yesus tampak “menuntut” sebuah pertanggungjawaban atas tugas khas yang telah diberikan-Nya bagi kita. Seolah tugas tersebut merupakan sebuah “keharusan mutlak” yang tak boleh terlewatkan sama sekali. Tentu saja, cara pandang yang keliru ini mampu menimbulkan rasa takut dan penuh dengan tekanan dalam diri kita. Gejolak perasaan yang muncul ini menjadikan kita tidak mampu menjalankan tugas dengan penuh sukacita dan lepas bebas. Oleh karena itu, tugas mulia yang diberikan ini akan menjadi semacam beban yang akan terus mengekang kita dalam hidup.

            Sangat disayangkan bahwa hal demikianlah yang kerap muncul dalam kesadaran harian kita. Karena dirasa terlalu berat, kita cenderung mengabaikan permintaan Tuhan untuk berjaga-jaga dan lebih memilih untuk mengejar keuntungan-keuntungan duniawi. Ketika sudah tiba saat berjaga-jaga dalam doa, kita mudah merasa lelah, bosan, dan jenuh dengan penantian itu. Hati kita seolah menjadi gersang dan tidak berdaya makna sama sekali dalam penantian. Seterusnya, kita justru merasa ditinggalkan oleh Allah dan merasa seolah tak akan pernah mendapatkan kunjungan dari-Nya.

            Ketika masuk dalam keadaan tersebut, kita perlu mengevaluasi diri. Barangkali selama ini kita hanya mengandalkan kemampuan sendiri ketika berjaga-jaga. Kita lupa melibatkan Tuhan untuk ikut berjaga-jaga bersama kita. Bukankah ketika berada di taman Getsemani, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga bersama dengan Dia dalam doa? Kita diundang untuk mampu menyatukan diri dengan-Nya sehingga apa yang kita perbuat sungguh-sungguh sesuai dengan yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, tepatlah teladan nabi Yesaya dalam bacaan pertama yang setelah menyadari kedosaan-kedosaan bangsa Israel, berusaha sekuat tenaga memberikan diri pada Tuhan untuk dibentuk sedemikian rupa oleh-Nya. Hal yang sama pun didukung dengan permenungan santo Paulus, bahwa hanya dengan kasih karunia Allah lah kita dapat mencapai kepenuhan hidup. Kasih karunia Allah yang dicurahkan atas kita akan memampukan kita untuk bertahan dalam penantian akan Dia. Dengan demikian, marilah kita senantiasa mendekatkan diri pada-Nya melalui keutamaan doa yang hidup sehingga dalam masa penantian ini sehingga kita selalu diliputi dengan sukacita akan penantian.

Fr. Dionisius Giovani Deramzes Fallo – Frater Tingkat I

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.