Sahabat terkasih, berikut ini adalah sepenggal kisah hidupku bersama kaum marginal yang kuke- mas dalam bentuk refleksi. Base- camp mereka ada di Kalibata – Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kaum marginal adalah orang yang mencoba menghindari sistem bangsa ini. Tujuan mereka adalah mem- perjuangkan hidup kaum miskin sebagai protes akan ketidakadilan sosial. Kehadiran mereka membuat bangsa ini berpikir dua kali dalam menata bangsa, suatu bentuk pro- tes agar manusia sadar pentingnya hidup berbagi sebagai sama sauda- ra. Lebih dalam daripada itu, kehadiran mereka menunjukkan suatu pemaknaan tentang hidup sebagai pencarian hati sejati yang merdeka.
Kisah ini aku alami waktu menjalani live-in di PT Elemen Suk- ses Mandiri, Cengkareng. Persaha- batanku bermula dari perjumpaan dengan mas Pram, teman kantorku. Ia ternyata berasal dari komunitas marginal. Berkat pengalaman “berguru dari alam”, demikian katanya, ia mendapat kesempatan berahmat untuk meniti karier sebagai desain grafis di PT itu.
Berkat perjumpaan itu timbullah rasa kekeluargaan yang meluluhkan jarak, waktu, dan kon- disi di antara kami. Jalinan persa- habatan di antara kami pun dimulai dalam beberapa rangkaian perjalanan bersama. Ketika itu, selesai jam kantor aku bersama mas Pram pergi mengunjungi sahabat-saha- batnya di Kalibata, Pasar Minggu. Di sana kami bercanda bersama dan berbagi pengalaman hidup satu dengan yang lain. Kopi hangat yang menemani semakin menghangat- kan hati yang bersua.
Meskipun hanya dua kali aku berkunjung ke Basecamp sa- habatku, tapi perjumpaan itu telah melahirkan relasi kasih yang begitu spontan dan sederhana. Berjumpa langsung dan berwawan hati de- ngan para sahabat terkasih di Base-camp Taring Babi, menumbuhkan relasi kasih di antara kami. Sebuah relasi kasih yang konkret, bukan sekadar sebuah wejangan teologis atau pun filosofis.
Tidak sulit bagiku untuk menyimpulkan bahwa itu per- buatan kasih. Dari raut wajah, perkataan, dan perbuatan mereka terpancarlah kasih itu. Mudahlah bagiku mengingat akan cinta ketika aku berada bersama orang yang tidak punya harapan. Keber- samaan dengan mereka membuat hatiku semakin peka dan tajam akan cinta kasih. Semua itu mem- buat aku bertanya tentang hidup, tentang siapakah yang patut di- kasihani, dan tentang apa sebenar- nya kebahagiaan itu?
Ketika melihat kehidupan teman-teman kaum marginal yang penuh canda tawa, aku ber- tanya sendiri, siapa sebenarnya yang patut dikasihani? Pertanyaan yang sama timbul ketika aku meli- hat orang kaya yang juga bahagia.
Memang benar bahwa keba- hagiaan bukan diberikan tetapi dihasilkan. Dari hati yang merdeka manusia tahu dan sadar bahwa ia hidup, bukan bahwa ia bekerja. Hidup berarti sadar dalam aksi. Demikian sepenggal perbincangan saya dengan mas Pram dalam kunjungan pertama ke Basecamp-nya.
“Kasihan sekali kakek itu ya”, ucapku ketika kami sedang menantikan lampu hijau di an- tara kerumunan kendaraan. Jawaban yang mengejutkan muncul dari mas Pram, “Kamu bilang kasihan Bang! Kitalah yang sebenarnya perlu dikasi hani. Mungkin saja kakek atau anak jalanan lainnya itu berkata dalam hati, kasihan sekali orang kaya di tengah kemacetan ini.” Perbincangan itu memang muncul begitu saja, tapi setelah kurenungkan peristiwa itu mem- beri hal baru bagiku.
Ternyata yang perlu dika- sihani adalah orang yang kaya. Mereka pantas dikasihani karena mereka yang menciptakan sistem tetapi sistem itu justru menyusahkan mereka. Bahkan dengan sistem itu mereka merampas hak milik orang miskin, tetapi hati mereka menjerit mohon kemerdekaan.
Sejauh ini kita jarang sekali mendengar perbincangan seputar anak jalanan. Padahal, dalam kenyataannya mereka juga berjuang bersama kita dalam hidup bermasyarakat. Sering terdengar oleh kita lantunan syair lagu penuh makna yang dinyanyikan mereka di atas metromini. Bagiku, syair- syair itu tidak sekedar dilantunkan tanpa arti, tetapi sebaliknya penuh arti. Nyanyian syair lagu mereka membuat hati orang tergerak untuk berbagi hati, ibarat makanan panas di mulut yang mau tidak mau harus dikeluar- kan, harus berbagi.
Semangat kekeluargaan yang mereka hidupi sangatlah kental. Saat berada di antara mereka, aku merasa ada dalam buaian kasih yang tak pernah aku duga ada di situ. Komunitas kecil yang tak terhitung di mata kita, ternyata mampu menghadirkan kasih. Sungguh Allah hadir di situ. Mengalami kehidupan bersama mereka membuat bertanya-tanya dalam hati, sebagai pribadi yang mengenal Kitab Suci dan berbagai teori hidup baik, apa istimewanya hidup berkomunitasku?
Akhirnya, aku semakin yakin bahwa setiap manusia niscaya dikasihi bukan dilihat dari cara hidupnya, melainkan karena manusia itu sendiri berharga. Jika cara hidup merupakan ukuran mengasihi, aku akan kecewa dan merasa ditipu. Akan tetepi, jika manusia pada dirinya pantas dikasi- hani, itu mulia di hadapan Allah. Kasih menjadikan kita serupa dengan Allah. Tidak berbuat kasih berarti kita membunuh keserupaan kita den- gan Allah itu. Sebagai calon imam, tepatlah berlaku bagi kami seperti apa yang dikatakan oleh formator kami, P. Marini SX, “Jika kamu pergi bermisi janganlah membangun apa-apa selain relasi kasih.” Cinta yang sederha- na dan spontan itulah yang mulia. Dengan demikian, jadilah imam yang membangun komunitas yang merdeka, praktekkan bagaimana cara hidup yang baik, dan jadilah imam yang memperhatikan kaum “miskin.”