Kispen: Membuka Kembali Catatan Harianku

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

By: Fr. Virmus Bria Uskenat, SX
Bukan perpisahan yang kutangisi melainkan perjumpaan, karena akan ada perpisahan. Mengapa kita harus bertemu jika akhirnya berpisah?”Malam semakin larut. Suasana Wisma Tunas Xaverian Jogjakarta sunyi nan sepi dari bisingan kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Ke- sempatan ini aku pergunakan untuk bernostalgia di bawah pohon ram- butan, sambil  memerhatikan  tupai yang melompat dari pohon nangka yang satu ke pohon nangka yang lain. Suasana semakin indah ketika aku merasakan semilirnya angin malam yang mulai merasuk dalam relung- relung hatiku. Kucoba untuk berdiam diri sambil merasakan getaran hati yang kian bergelora akan suasana Wisma Tunas Xaverian tercinta ini. Aku semakin terhanyut dan terbuai dengan hayalan-hayalan akan kisahku tiga tahun yang lalu ditempat ini. Suasana makin indah nan memesona ketika mendengar kicauan burung-burung  pipit yang bersahut-sahutan.  “Oh… sungguh indah malam ini”, desahku.

Hembusan  angin  malam  menginspirasiku  untuk  bernostalgia akan pengalaman tiga tahun yang lalu di tempat ini. Wisma Tunas Xave- rian Jogjakarta menjadi saksi bisu akan awal pengalamanku mengenal Serikat Misionaris Xaverian. Di tempat  ini, aku bersama keduapuluh enam temanku mengawali panggilan kami sebagai Tunas Xaverian.

Kami berasal dari berbagai macam daerah, suku, dan bahasa. Di sinilah letak keunikan dan keberagaman kami. Dalam keunikan tersebut, kami memiliki satu motivasi yakni ingin meneladani jejak dan langkah St. Fransiskus Xaverius melalui Kongregasi yang didirikan  oleh St. Guido Maria Conforti. Kami memang unik dan beragam karena ada yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Pekanbaru, Flores, dan Timor. Para pastornya dari Meksiko, Italia dan Spanyol. Namun, perbedaan bukan penghalang terbentuknya sebuah keluarga karena kami bersama-sama menghidupi motto Xaverian, ‘Menjadikan Dunia Satu Keluarga’ .

 Malam ini, tanggal 16 Juni 2011, aku merasa rindu akan ke tiga belas temanku yang sudah mengundurkan  diri ketika masih menjalani masa-masa indah di Wisma Tunas Xaverian. Aku tak tahu ke mana harus kucari mereka. Kubertanya kepada rumput yang sedang bergoyang, bu- nga mawar yang sedang memancarkan keindahannya, dan pohon cemara yang melambai-lambaikan daunnya akan keberadaan teman-temanku.

Tiba-tiba saja, aku tertawa terbahak-bahak dalam keheninganku di tengah kicauan burung-burung  pipit dan bunyi pesawat terbang yang baru saja take off dari bandara Adisucipto Jogjakarta. Aku tertawa karena tidak ada jawaban dari rumput, bunga mawar dan pohon cemara yang ada di depanku. Barangkali mereka rindu mendengarkan curhatku. “Ha.. ha..ha…ha”, tawaku. “Mengapa setiap ada pertemuan selalu pula ada per- pisahan? Mungkin itulah warna kehidupan”, pikirku. Rasa rindu dan ka- ngen tiba-tiba muncul dalam hatiku, mengingat setiap perpisahan yang terjadi. Kami memang terpisah oleh ruang dan waktu. Akan tetapi, segala memory akan tetap terpatri dalam angan dan hati kami. Segala kenangan indah ini akan terulang kembali hanya dengan bernostalgia.

Tunas  Xaverian Jogjakarta angkatan  2007-2008 berjumlah  27 orang. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya semakin berkurang karena ada yang mengundurkan  diri atau disuruh mengundurkan  diri. Selama masa Tunas, kami membuka diri untuk diproses menjadi manusia yang lebih manusiawi dan berjiwa misioner, sesuai spiritualitas Xaverian yang mengedepankan misi.

Kami diberi kesempatan untuk mengikuti kursus di Pusat Kateketik (Puskat) Sanata Dharma dan kegiatan-kegiatan lainnya di Wisma Tu- nas Xaverian. Dalam setahun   kami Live In dua kali di beberapa tem- pat. Ada yang di bengkel (motor, mobil, sepeda) dan ada pula yang di Panti Asuhan. Kegiatan-kegiatan ini membantu  kami untuk  mengenal dan merasakan bahwa menjadi seorang misionaris Xaverian dibutuhkan manusia yang mandiri dan siap diutus ke mana saja. Doa dan kegiatan merasul dilakukan seiring dan sejalan, sesuai dengan kata-kata Conforti; mencari, melihat, dan mencintai Tuhan dalam segala hal.

Ketika aku sedang terbuai  dalam nostalgia, kutersadarkan  de- ngan bunyi pintu garasi. Aku bergegas ke ruang tamu dan mataku tertuju ke arah jam yang terpampang di ruang tamu. “Ah… ternyata sudah pkl. 23.00 WIB”, keluhku. Aku pun bergegas ke kamar tidur dan merebahkan badanku di tempat tidur. Perjalanan dengan menumpang Kereta Api dari Jakarta (stasiun Senen) ke Jogjakarta (Stasiun Lempuyangan) membuat badanku terasa lelah. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku mulai berfantasi ke masa lalu yang indah di Wisma Tunas Xaverian ini. Ada suatu kerinduan yang muncul dalam hatiku ketika mengenang kembali kisahku tiga tahun yang lalu bersama teman-temanku.

Kubuka jendela kamar dan pandanganku  mengarah ke makam para dosen Universitas Gajah Mada yang bersebelahan dengan kamar ti- durku. Aku memerhatikan makam itu satu demi satu sambil merasakan getaran hati yang sedang bergelora. Desiran angin malam yang dingin membuatku terhanyut dalam kenangan perpisahan dengan teman- temanku tiga tahun yang lalu. Aku membuka kembali catatan harianku yang pernah kutulis tiga tahun yang lalu di tempat ini. “Oh.. Tuhan, di- manakah mereka sekarang?”, tanyaku.

Setiap perpisahan selalu diakhiri dengan berpelukan, menangis bersama, dan saling meneguhkan sebagai saudara. Itulah seninya men- jalani panggilan di Tunas Xaverian Jogjakarta. Sebagai saudara dalam satu panggilan, kami saling meneguhkan dan memotivasi satu sama lain teru- tama melalui bantuan para formator. Dengan demikian, kami diarahkan untuk sungguh-sungguh menemukan diri akan ke mana arah dan tujuan hidup kami.

Hidup bersama sebagai saudara dalam satu keluarga bukan suatu usaha yang mudah, apalagi harus dihadapkan dengan karakter dan bu- daya yang berbeda-beda. Namun dalam perbedaan tersebut, kami saling menerima segala kekurangan dan kelebihan guna memperkaya satu sama lain. Kebersamaan dalam menjalani panggilan sebagai calon misionaris Xaverian, telah menyatukan kami. Hal ini membuat kami merasa berat ketika harus melepaskan setiap saudara yang akan pergi.

Aku menyadari bahwa hidup bersama terkadang ada kesalahpahaman di antara satu sama lain. Akan tetapi, itulah seni dan tantangan dalam berproses menjadi manusia yang lebih manusiawi. Tantangan itu pasti selalu ada. Namun yang terpenting adalah bagaimana menjalaninya dan menyikapi arus tantangan kehidupan ini. Justru, tantangan membuat seseorang semakin teguh, matang, dan mantap dalam proses pencarian diri, terutama dalam menjadi seorang calon misionaris Xaverian.

 Pkl. 01.00 WIB. Aku tak bisa lagi menahan rasa kantukku. Akhirnya hanya satu kata yang terucap dari bibirku, “Selamat tinggal masa laluku, selamat tinggal teman-teman.  Doaku selalu ada untuk  kalian”. Akhirnya aku pun tertidur dengan nyenyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: