Bagai Ayam yang Menetas

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Bagai Ayam yang Menetas

Sharing pengalaman live in di Sibeurt

 

Datang, melihat, mendengar, dan mecintai

 

Misi bagi seorang misionaris merupakan suatu tugas perutusan yang membutuhkan persiapan matang, ketahanan mental, serta keakakraban dengan sesama (hospitalitas). Di atas semuanya itu seorang misionaris biasanya selalu datang, melihat, mendengar, dan mecintai siapapun yang dijumpai. Itulah yang saya bisa gambarkan mengenai kesaksian hidup para misionari Xaverian di Kepulauan Mentawai terlebih khusus di Siberut.

Kepulauan Mentawai merupakan salah satu kepulauan di Sumatra Barat yang daratannya terpisah dari daratan Sumatra Barat. Siberut merupakan wilayah yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Katolik. Paroki Siberut mempunyai 23 stasi dan dilayani oleh tiga imam Xaverian. Dengan jumlah stasi yang begitu banyak serta jumlah imam yang sedikit, pelayanan terhadap perkembangan kerohanian umat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para misionaris yang diutus ke sana. Belum lagi lokasi beberapa stasi sangat jauh dari pusat paroki. Kunjungan ke stasi-stasi yang paling jauh dan lintas sungai serta laut mesti ditempuh dengan menggunakan boat/perahu/pompong selama berjam-jam.

Saya sebagai seorang calon misionaris Xaverian merasa terharu dan bangga ketika pertama kali memutuskan untuk menjalani masa liburan di Kepualaun Mentawai tepatnya di Siberut. Saya ibaratkan pengalaman tersebut seperti anak ayam yang baru menetas dari telurnya, keluar dari kegelapan sangkar cangkang dan mencoba memahami realitas di sekitar. Saya ke Siberut tidak tahu apa-apa, entah bahasanya, budaya masyarakat, watak, serta situasi misi. Perlahan-lahan satu per satu fakta tentang Mentawai dan masyarakatnya serta keadaan misi mulai saya pahami. Itu semua terpahami karena saya mencoba terlibat dalam banyak kegiatan, kunjugan pastoral, berbaur dengan masyarakat, dan sebagainya. Dalam kegiatan yang sederhana tersebut saya mendengar keluhan, sharing, dan berbagai macam laporan yang semuanya itu bermuara menjadi petunjuk bagi saya untuk berani mengatakan ”orang-orang mentawai itu seperti ini atau seperti itu.”

Pompong dan persaudaraan

Selama saya di sana, salah satu dari sekian banyak pengalaman yang membuat saya terharu adalah pengalaman mengunjungi stasi Tinambo. Stasi Tinambo merupakan salah satu stasi dari Paroki Siberut yang diserahkan kepada paroki Saibi yang dilayani oleh imam SSCC. Kunjugan kami ke sana sebenarnya dalam rangka serah terima stasi tersebut. Perjalanan kami (Saya, P. Herry SX, Pak Mario, serta baja Gereja Magosi) menuju Tinambo menggunakan pompong yang ditempuh selama lima jam. Pompong merupakan perahu kecil yang hanya bisa duduk bersila satu arah dan pergerakan tubuh sangat terbatas. Apabila terdapat sedikit gerakan maka resiko perahu terbalik sangat tinggi. Saya sendiri pada awalnya merasa sedikit menderita dengan situasi tersebut. Saya duduk berjam-jam tanpa banyak gerak; tentu saja pantat menjadi panas, kaki menjadi keram, belum lagi ukuran perut saya cukup besar sehingga perjalanan tersebut sedikit kurang menyenangkan. Akan tetapi justru di sinilah letak indahnya suatu misi ketika berada dalam situasi yang menuntut pengorbanan banyak.

Ketika tiba di desa Tinambo, saya dan rombongan disambut oleh baja gereja (ketua stasi) dengan suguhan yang sederhana; kopi, kripik pisang buatan mereka sendiri, serta biskuit yang sebenarnya sering saya jumpai di komunitas CPR 42 tetapi tidak begitu saya sukai. Saya bukan peminum kopi, tidak begitu suka kripik, dan tidak hobi mengonsumsi biskuit. Supaya mereka tidak tersinggung saya merelakan diri mencicipinya. Bagi mereka tamu yang menghabiskan hidangan (cemilan) akan dianggap sebagai pribadi yang mau membumi dengan mereka. Benar, semakin saya lahap makan, semakin mereka manambah porsi suguhannya, dan saya pada akhirnya manjadi doyan dengan cemilan tersebut sebab setiap rumah yang kami kunjungi selalu menyuguhkan cemilan yang sama. Belum lagi makanan pokoknya adalah sagu yang menurut saya sangant sulit dikunyah karena lumayan keras. Cara makannya pun tidak pakai sendok, mesti makan pakai tangan sekalipun sayurnya berkuah. Mereka menertawakan cara makan saya yang begitu kaku (meletakkan langsung piring ke mulut saya supaya kuah sayur bisa masuk ke dalam mulut lalu ditarik-tarik pakai jari; ternyata kuah sayur diletakkan dalam gelas lalu diminum sambil mengunyah sagu).

Dalam perjumpaan tersebut, banyak hal yang dibicarakan dan didiskusikan hingga malam hari. Yang membuat saya merasa semakin mencintai serikat serta konfrater saya adalah bahwa dalam kunjungan tersebut tidak ada diskriminasi terkait pembedaan golongan antara frater dan romo, romo dan baja gereja, dan baja gereja dengan umat. Semuanya sama dan dalam kesamaan tersebut yang kami pikirkan ialah bagaimana kami bekerja sama untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin demi pelayanan yang lebih maksimal. Saya ditugaskan oleh P. Hery untuk melatih umat menyanyikan mazmur dalam perayaan ekaristi yang dilakasanakn keesokan harinya. Karena tidak ada listrik, maka saya meminta P. Hery untuk memegang senter selama berjam-jam (selama saya latihan mazmur). Pada saat tidur malam, rombongan kami tidur dalam satu kamar tanpa kasur yang hanya dialasi dengan anyaman rotan, tanpa bantal. Saya tidur di tengah. Saya menjadikan tas saya sebagai bantal. Pada saat tidur Pak Mario yang di sisi kiri saya dan P. Hery yang di sisi kanan saya mengorok seperti knalpot motor RX King. Saya beberapa kali menutup hidung mereka menggunakan pakaian kotor. Sampai-sampai pastor Hery dengan suara khas orang nyenyak  mengeluh sambil tidur “Frater, kok nakal sekali?”

Keesokan harinya kami mulai merayakan misa dan menyerahkan stasi ke pastor paroki Saibi. Setelah misa selesai kami dibawah ke rumah baja gereja untuk menyatap sakoko (daging babi tanpa bumbu). Dalam acara makan tersebut kami kembali disuguhkan sagu keras dan sedikit nasi. Tanpa basa-basi saya langsung menyatap nasi yang dihidangkan dan sama sekali tidak lagi menyentuh sagu. Melihat tindakan spontan tersebut, orang-orang Tinambo langsung menertawakan saya. Saya sedikit malu tapi apa daya instingku menuntut demikian. Memang saya akui agak berat untuk akrab dengan jenis makanan seperti itu. Akan tetapi cara mereka menyambut dan melayani kami membuat saya melupakan semua tantangan tersebut.

Menertawakan Kemalangan

Saya dan rombongan ditambah pastor kepala paroki Saibi akhirnya pulang ke pastoran Siberut. Perjalanan pulang kami cukup menantang. Air sungai sebagai jalur transportasi mengalami pasang surut. Batang kayu pun mulai muncul ke permukaan sungau sehingga menyulitkan pompong untuk berjalan cepat. Hujan lebat membasahi kami. Ketika sedang asyik-asyiknya bercanda di atas pompong, tiba-tiba pompong kami menabrak pohon yang posisinya miring dan diatasnya bergantung batang pohon besar dan berat. Batang pohon tersebut jatuh dan membentur kepala pak Mario lalu menimpa tubuh saya. Karena berat saya mendorongnya ke samping kanan dan tiba-tiba pompong kami terbalik. Semua pakaian terendam air dan beberapa barang hanyut terbawa arus sungai. Pastor kepala paroki Saibi yang badanya gendut dan berat ikut terbalik ke sungai dan sibuk menyelamatkan mesin pompong supaya mesinnya tidak terkena air. Pak Mario yang kepalanya berbenturan dengan batang pohon tidak lagi menghiraukan kepalanya melainkan sibuk mengejar barang-barang bawaan kami. Saya, P. Herry, dan baja gereja Magosi sibuk mengeluarkan air dari dalam pompong. Setelah semuanya diurus ternyata pompong dan mesin  masih bisa digunakan. Kami mulai menertawakan satu sama lain membayangkan ekspresi wajah kami ketika mengalami kecelakaan tadi. Saya merasa tidak aneh dengan tawaan tersebut sebab menurut saya terkadang kemalangan perlu ditertawakan supaya tidak menjadi suatu terauma dan ketakutan yang berlaurt-larut.

Semua pengalam ini saya hayati sebagai suatu rahmat Tuhan sekaligus pendewasaan. Benar, seorang calon misionaris Xaverian perlu didewasakan dengan pengalaman luar biasa seperti ini. Saya semakin menemukan bahwa inilah panggilan hidup saya. Saya merasa semakin dikobarkan untuk melayani Tuhan di tempat-tempat yang jauh, terpencil, terpinggirkan, dan terlupakan. Dalam refleksi ini saya semakin disadari bahwa Tuhan itu sudah selalau menanti saya di tempat misinya (terpencil, terpinggirkan, dan terlupakan) tinggal bagaimana saya menanggapi penantiannya itu yang mesti saya perjelas dan pertegaskan lagi.

Fr. Lian, SX

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.