Prajurit Kerajaan Allah
Pesta Pembaptisan Tuhan
Minggu, 13 Januari 2019
Yes. 42:1-4,6-7
Kis. 10:34-38
Luk. 3:15-16,21-22
Mesias yang sesungguhnya
Pertanyaan orang banyak serta jawaban Yohanes tentang Mesias berkaitan erat dengan karya Yohanes sebelumnya: pewartaannya tentang pertobatan dan tentang pengadilan yang sudah dekat telah menimbulkan kesan bahwa ia adalah Mesias. Yohanes justru mempertegas bahwa baptisannya ialah baptisan dengan air sedangkan baptisan Yesus adalah baptisan dengan Roh Kudus dan api. Jawaban Yohanes menunjukkan bahwa dirinya bukanlah Mesias. Mesias yang sesungguhnya adalah Yesus. Luk 3:22 semakin mendukung hal di atas “Engkaulah Anak-Ku yang kukasihi, kepada-Mulah aku berkenan.” Kata-kata ini mengacu kepada Mzm 2:7, “Anakku engkau”, rumusan yang dipakai Allah Israel untuk melantik seorang raja baru yang pada kesempatan itu juga diangkat menjadi “Anak Allah”. Dengan kata-kata yang sama itu di sini Yesus dilantik sebagai mesias, Raja Penyelamat keturunan Daud. Kata-kata pelantikan ini mengungkapkan suatu hubungan yang tak terputuskan antara Allah dan Yesus, seperti antara Bapa dan Anak. “Pelantikan” ini bukan sekedar mendapat status sebagai Mesias atau Anak Allah melainkan juga mengemban misi universal yang ditempuh dengan penderitaan dan kematian.
Hidup dan mati untuk Allah
Hari Minggu ini merupakan hari Pesta Pembaptisan Tuhan Yesus. Pesta Pembaptisan Yesus tentu diharapkan tidak sekedar merayakan bahwa Yesus pernah dibaptis, melainkan juga pesta bagi semua orang Katolik untuk semakin menyadari bahwa pembaptisan yang diterima oleh masing-masing pribadi adalah rahmat sekaligus tanggung jawab. Pembaptisan dengan demikian tidak berhenti pada upacara formal demi menjadi anggota pengikut Kristus melainkan juga ada persatuan dan persekutuan dengan Tuhan serta sekaligus menerima-Nya sebagai Juru Selamat. Pembaptisan berarti Allah memberikan rahmat yang berlimpah, keselamatan, sekaligus tanggung jawab yang besar pada manusia dan sebaliknya lewat pembaptisan manusia menunjukkan ungkapan kasihnya kepada Allah dan selalu mengatakan ‘Ya’ pada kehendak-Nya. Siap menjadi “prajurit” Kerajaan Allah di dunia. Hidup untuk Allah dan mati demi Allah. Roh yang sama yang turun atas Yesus dan selalu menguatkan Dia dalam segala penderitaanNya turun pula atas diri kita dalam pembaptisan yang kita terima sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk takut sebab kita telah diperlengkapi dengan kuasa Roh yang menggerakkan Yesus Mesias. Bersama Dia kita mampu bertahan dalam “pertempuran” melawan kejahatan di bumi.
Berani menyatakan kebenaran
Bagaimana hal ini dikonkretkan dalam kehidupan sehari-hari?
Salah satu berita yang memantik emosi masyarakat akhir-akhir ini adalah kasus pelecehan seksual di Dewan Pengawas BPJS Tenaga Kerja. RA selaku korban pelecehan seksual oleh atasannya SAB mengaku beberapa kali dipaksa melakukan hubungan seks. RA sempat melapor kejadian ini kepada salah seorang staf. Akan tetapi, laporan tersebut diabaikan dan dianggap sebagai pembawa keributan dalam dewan dan justru diminta meninggalkan pekerjaannya. Pelecehan atas dirinya tidak langsung dilaporkannya kepada polisi karena takut kehilangan pekerjaan. Pada akhirnya RA berani mengadu pelecehan yang dialaminya kepada pihak yang berwenang. Ini hanyalah salah satu bentuk kejahatan dari sedemikian kejahatan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Semua kita tentu memahami situasi atasan-bawahan sebagaimana yang dialami oleh RA. Bertindak jujur dan berani tentu mendatangkan segala resiko dan mengorbankan banyak hal bahkan hal yang paling dicintai. Akan tetapi sikap jujur dan berani bersuara pada akhirnya selalu membawa pada pembebasan entah dari perbudakan seksual maupun berbagai bentuk tindakan ketidak-adilan dan kejahatan lainnya. Orang Katolik pun diajak untuk tidak diam bila mendapat perlakuan seperti yang dialami oleh RA. Berani mengatakan yang sebenarnya. Satu lagi, kita sebagai orang Katolik dituntut untuk tidak mengabaikan begitu saja setiap curahan hati atau pengakuan dari orang yang mau mengungkapkan kebenaran—dalam hal ini korban pelecehan atau korban ketidak-adilan. Kita tidak diharapkan untuk bersikap seperti staf yang mengabaikan pengakuan korban. Yang paling penting lagi adalah kita tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan kekuasaan secara sewenang-wenang serta tidak menghargai harkat dan martabat orang lain. Sebagai orang Katolik, kita mesti berani melawan segala bentuk kejahatan yang tidak mengindahkan manusia lain. Pembaptisan dengan demikian menuntut kita untuk bertindak lebih manusiawi dan lebih mneyerupai Kristus.
Lian Agung, SX