Natal Harus Membekas
Salah satu cacat modernitas ialah kedangkalan. Dan kita kini menjadi bagian dari zaman yang menjunjung tinggi keterserakan, variasi, dan kemajemukan itu. Semua hal ini bermuara pada jumlah, banyak, namun lalai terhadap kedalaman. Situasi ini membuat kita mengalami setiap peristiwa sering kali hanya di permukaan saja, berupa kesan, hasrat sesaat. Oleh sebab mentalitas ini merongrong berbagai taraf kehidupan, tak terkecuali kehidupan religius, maka kehidupan religius pun perlu kita curigai.
Hal ini diperparah misalnya dengan berkembang pesatnya teknologi informasi yang dengan aplikasi-aplikasi canggihnya memudahkan orang berelasi dengan orang lain dalam jumlah yang banyak pada saat bersamaan. Akan tetapi, hal seperti ini selalu punya efek samping misalnya orang mulai menjadi sefl-oriented, pamer foto, atau koleksi barang mewah, dll. Orang jatuh cinta pada penampilan (suatu tampakan saja). Bahayanya, gaya hidup seperti ini masuk dalam penghayatan kehidupan religius yang justru menolak kedangkalan dengan berupaya masuk pada semangat spiritual yang menekankan kedalaman refleksi.
Kalau mau jujur, saat ini, bisa kita lihat sendiri bagaimana perayaan-perayaan keagamaan dimanipulasi sedemikian rupa menjadi komoditas pasar. Anak-anak bahkan orang dewasa kini mengidentikkan natal dengan Sinterklas, pohon natal, kado, pesta-pestaan, dll., yang sebenarnya tidak mempunyai korelasi langsung dengan makna natal yang kita rayakan. Makin buruk lagi jika karena konsentrasi yang banyak pada hal-hal tersebut, kita menjadi lupa akan pentingnya persiapan secara rohani untuk menyambut natal, suatu penggalian akan makna dan pesan natal yang mendalam.
Natal: Ajakan untuk Peduli
Dalam Fil. 2:5-8, Paulus menjelaskan makna kelahiran Kristus menjadi manusia sebagai pernyataan cinta Allah yang “melupakan” diriNya sendiri dan menjadi sama seperti manusia. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Tersirat di sini bahwa Allah menghargai kemanusiaan kita, bahwa kepenuhan cinta Allah harusnya membentuk kita menjadi orang. Pertanyaannya ialah menjadi orang seperti apakah yang membuat kita benar-benar menghayati natal? Kita bisa langsung meniru putra natal (baca: Yesus) yang menjadi pusat perhatian kita dalam perayaan sukacita ini.
Allah yang memilih lahir sebagai manusia dalam diri Bayi Yesus tersebut tidak hanya memutuskan untuk menjadi manusia, Ia juga memilih dari siapa di mana dan bagi siapa kabar gembira kelahiran-Nya ditujukan. Yesus pertama memilih Maria, wanita sederhana, sebagai ibu-Nya, memilih para gembala—orang yang tidak diperhitungkan dalam tatanan masyarakat Yahudi dan oleh sebab itu kesaksian mereka tidak pernah dipercaya—sebagai saksi Kelahirannya. Hal ini hampir tidak masuk akal jika kelahiran itu kemudian dituntut untuk dipercaya. Selain itu, Ia juga memilih tempat makan lembu sebagai palungan-Nya, suatu simbol bahwa Ia akan menghabiskan dirinya sebagai makanan, suatu tanda pemberian diri.
Semua hal ini lalu dapat dipadatkan sebagai suatu bentuk “kepedulian” dengan hadir bagi sesama terutama mereka yang kecil, yang sering bungkam oleh struktur dunia ini. Kepedulian menuntut pemberian diri dan pemberian diri tidak berdamai dengan sikap self-oriented tadi, egoisme, dll. Sebaliknya, pemberian diri justru menuntut pengorbanan, penyangkalan diri, keluar bagi orang lain, menjadi sesama yang empati yang hadir membawa sukacita. Itulah pesan natal, yaitu kesediaan seperti Maria yang menjawab “Ya” untuk mengandung dan pada saatnya melahirkan Yesus. Setiap jawaban “Ya” kita untuk memberi diri bagi orang lain, setiap itu juga kita merayakan natal.
Fr. Patris Arifin, sx