Sains dan Agama: Tanggapan Terhadap Tulisan Ioanes Rakhmat

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Sains dan Agama: Tanggapan Terhadap Tulisan Ioanes Rakhmat

Fr. Patritius Arifin sx

Pengantar
Tulisan ini membahas beberapa pokok pikiran dalam sebuah tulisan ilmiah karangan Ioanes Rakhmat. Dalam sebuah artikel yang ditulis pada Titik-Temu, Vol. 7, no 2, (Januari-Juni 2015), ia mengutarakan beberapa pokok pikiran tentang “Bagaimana seharusnya memperlakukan agama di era sains modern”. Dalam pembahasannya, ia mengemukakan beberapa kesalahan pemuka agama dalam mencampuri urusan sains dan pencocok-cocokan pandangan agama pada lowong tertentu “Kebuntuan” sains yang untuk sementara waktu jawabannya menunggu penemuan lebih lanjut. Secara garis besar, ia memberi penegasan terhadap sains dan agama sebagai ranah yang berbeda dan menjadi bumerang jika yang satu [terutama agama] dengan percaya diri mencampuri yang lain. Lagi pula, Allah yang dijelaskan dalam agama-agama baginya, tidak masuk akal.

Garis Besar Pembahasan Penulis
Saya mengambil beberapa penyataan kunci yang dititikberatkan kepada agama-agama sebagai basis argumen penulis. Pertama, penulis mengutip pernyataan Paus Fransiskus menanggapi teori big-bang. Ia menulis demikian, “…Paus Fransiskus menyatakan bahwa teori evolusi dan big-bang keduanya benar sebagai fakta sains, dan bahwa Tuhan itu bukan seorang penyihir yang dengan tongkat sihirnya bimsalabim menjadikan segala sesuatu dari ketiadaan, sebagai peristiwa-peristiwa gaib dan magis.” Penulis juga menyatakan bahwa pandangan Paus Fransiskus sedikit lebih maju dari pada pendahulunya yaitu Paus Benedictus XVI yang mempertahankan cerita alkitab bahwa manusia pertama diciptakan langsung oleh Allah sendiri.

Lantas, pernyataan Fransiskus dianggap sebagai sebuah kemajuan walapun tidak begitu jauh berbeda dengan pendahulunya sebab Paus Fransiskus tetap memasukkan sosok Allah yang menyundut sudut bom big-bang. Penulis mengatakan dengan cukup berani bahwa Paus Fransiskus menolak paham creationism dan intelligent design dalam Gereja Katolik. Kedua, sebagai sanggahan terhadap creationism dan intelligent design, penulis mengutarakan teori kuantum dan big-bang sebagai fenomena yang mengungkap asal usul alam semesta dan dengan itu menolak [secara sepihak] klaim agama mengenai Allah sebagai pencipta alam semesta. Berikut, saya akan memulai dengan ulasan singkat tentang apa yang dimasud dengan teori kuantum dan big-bang.

Kuantum
Dalam ilmu sains, segala sesuatu menaati hukum sebab akibat. Oleh karena itu, tidak ada akibat tanpa sebuah sebab . Dalam teori evolusi, kita mengenal apa yang disebut kuantum. Kuantum memberi penekanan pada faktor kebetulan dalam proses terbentuknya alam semesta. Kuantum merupakan bagian elementer terkecil—seperti elektron, proton, foton, positron, dll—yang bersifat seperti gelombang energi atau partikel zat. Dalam teori kuantum, kevakuman dapat menghasilkan sesuatu melalui apa yang dinamakan fluktuasi kuantum. Dalam medan vakum 1 cm3 terdapat energi sejumlah 1 per triliun erg. Pada medan ini terjadi gerakan muncul dan lenyapnya pertikel-partikel secara bersamaan dalam waktu yang sangat pendek dan tak terdeteksi yang disebut fluktuasi kuantum. Teori ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu muncul dari kevakuman itu mungkin. Pertanyaan dari teori ini ialah di mana tempat bagi Allah agama-agama?

Big-bang
Satu klaim spektakuler dari teori ini ialah bahwa big-bang menjawab pertanyaan manusia sepanjang masa mengenai asal-usul alam semesta. Apa itu big-bang? Pada tahun1994, Edwin Hubble menyaksikan bahwa selain bimasakti kita, masih ada ratusan miliar galaksi dengan ratusan miliar bintang. Galaksi-galaksi tersebut terus bergerak menjauh dari bumi. Diperkirakan, pada sekitar 15 miliar tahun yang lalu, galaksi-galaksi tersebut pernah menyatu di tempat yang sama dalam keadaan fisik yang paling padat dan energi yang meluap-luap. Pada gilirannya, materi padat itu meletus dengan kekuatan dahsyat sehingga gumpalan-gumpalan gas dan debu menjauh dengan kecepatan tak terhingga. Letusan inilah yang disebut big-bang. Peristiwa ini menjadi permulaan dunia. Sebelum big-bang tidak ada waktu. Keadan ini disebut singularitas (keunikan). Hal ini menjadi tidak mungkin dipahami karena tidak dapat diukur . Keberatan teori ini terhadap kisah penciptaan ialah tak adanya waktu bagi sang pencipta untuk mungkin ada sebelum big-bang.

Pokok Persoalan
Dari argumen-argumen fantastis pada tulisan Yoanes Rahmat, beberapa hal akan menjadi titik tolak kritik saya. Pertama, penulis jatuh pada apa yang disebut saintisme. Sains pada dirinya saya pikir tidak pernah menjadi sebuah keberatan berlebihan bagi agama. Akan tetapi, saintisme jelas ditolak. Saintisme adalah musuh besar termasuk bagi para saintis profesional yang benar-benar memahami substansi sains dan agama yang menjadi pemicu ketegangan selama berabad-abad antara kedua bidang tersebut. Saintisme meruapakan sebuah paham yang menganggap sains sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran segala sesuatu, padahal tidak ada tolok ukur yang menjamin bahwa semua kebenaran yang diklaim sains sebagai benar adalah benar.

Hukum yang dipakai sains ialah klausalitas (sebab akibat), pembuktian fisik, data, dll., yang dengan demikian menunjukkan batas jangkauannya pada hal-hal yang terukur saja. Sebetulnya pada titik ini saja, argument sains yang mengkalim tidak adanya Allah karena tidak bisa dibuktikan sudah bisa dibantah, sebab jika Sains mengklaim tidak mungkinnya Allah karena tidak dapat dibuktikan ada, seharusnya sains juga tidak bisa membuktikan Allah tidak ada. Kedua, penulis tidak mampu membedakan apa yang menjadi pokok bahasan pada masing-masing bidang yang ia kontraskan. Kesalahan ini berujung pada kesimpulan yang kurang tepat. Ketiga, penulis membuat klaim-klaim sempit terhadap kisah-kisah alkitab yang kemudian di-ribut-kannya sendiri. Praktisnya, penulis tidak pernah sampai tujuan penulisannya sebab semua kritik yang ditulis nyaris bukanlah yang dimaksudkan dalam kitab suci.

Kritik Praktis
Pernyataan Paus Fransiskus
Pernyataan Paus Fransiskus yang dipersoalkan oleh penulis ialah mengenai pandangan bahwa big-bang masih memerlukan Sang Aktor ilahi yang memungkinkan terjadinya big-bang. Hal ini melatarbelakangi pandangan penulis tentang God of The Gaps. Maksud dari pernyataan ini ialah bahwa big-bang yang terjadi tanpa sebuah sebab sebelumnya—di satu sisi sains dengan berani mengklaim bahwa hukum sains selalu konsisten merupakan sebab-akibat/pasti, dan oleh karena itu menolak semua yang bertentangan—langsung diisi dengan sosok ilahi oleh agama. Akan tetapi, kritik ini tidak tepat sasaran sebab substansi dari pernyataan Paus dipahami secara keliru. Pernyataan paus tidak bermaksud mengisi ‘kebuntuan’ sains, tetapi menegaskan apa yang jauh lebih substansial, yakni pada persoalan berbeda yang digeluti oleh masing-masing bidang, agama dan sains. Hal tersebut ialah bahwa agama tidak berbicara sebuah pembuktian metodologis empiris semata, melainkan sebuah pertanyaan tentang [mengapa].

Agama mencoba memahami mengapa segala sesuatu yang dibutuhkan dan yang memungkinkan sebuah pembentukan, keteraturan semesta (apa yang disebut sebagai kebetulan oleh teori evolusi ) tersedia sesuai kebutuhan, mengapa kevakuman mungkin bagi fluktuasi kuantum, mengapa segala yang ada mungkin untuk big-bang, dll. Bagi agama, semua hal ini hanya memiliki makna sejauh alam semesta diterima dalam sebuah konteks tujuan. Kiranya, hal inilah yang dimaksud jika paus mengatakan bahwa big bang masih memerlukan aktor. Dan saya pikir, sains tidak akan pernah masuk dalam ranah ini sebab ia hanya menjelaskan apa yang “ada”. Inti pernyataan paus lebih lanjut akan dibahas dalam poin berikut ini.

Substansi Pertanyaan Agama dan Sains
Saya memulai sub judul ini dengan mengutip pernyataan dari seorang fisikawan Niels Bohr. Ia mengatakan demikian, “Salah jika orang berpikir bahwa tujuan fisika ialah menemukan bagaimana alam itu ada. Fisika berkaitan dengan apa yang dapat kita katakan tentang alam.” Pernyataan ini merupakan bentuk lain dari masud pernyataan Paus Fransiskus. Pembicaraan tentang Allah merupakan pertanyaan-pertanyaan bagaimana alam itu ada, tentang apa yang oleh sains hanya dilihat sebagai sesuatu yang kebetulan [mungkin dengan maksud menghindari adanya yang Ilahi]. Klaim sains mengenai keadaan tanpa waktu—dan oleh karena itu tidak dapat dipahami dan tidak memungkinkana adanya pencipta di dalamnya—sebelum big-bang menjadi dasar penolakan akan adanya sosok ilahi sebagai sebab pertama dengan pertimbangan bahwa ia pun harus memiliki sebab. Hal ini menjadi wajar jika sains menemukan bahwa Allah [alah sains] tidak ada. Pembuktian semacam itu [sebab-akibat] hanya mungkin jika Allah hanyalah sesuatu yang 1000 kali lebih hebat dari manusia. Artinya, Allah masih suatu “apa” dan oleh karena itu terbatas. Hal ini tentu bukan sebagaimana yang dipahami dalam agama [terutama Katolik]. Allah adalah yang ‘lain’ yang juga bukan kontradiksi dari apa yang kita pahami sekarang di dunia ini.

Allah Bukan Pengisi Gaps
Penulis mengatakan bahwa di mana pun, sains tetap menyisahkan misteri sebagai gap atau celah. Gap dan celah itu langsung diisi dengan sosok Allah. Ia mengutip pernyataan Stephen Hawking demikian, “Kita akhirnya menemukan sesuatu yang tidak memiliki sesuatu penyebab karena tidak ada waktu bagi suatu penyebab untuk ada di dalamnya. Bagiku, ini berarti tidak ada kemungkinan bagi adanya suatu pencipta ilahi berhubung tidak ada waktu bagi sang pencipta untuk dulu ada. Karena waktu itu sendiri dimulai pada momen big-bang, maka big-bang itu sendiri adalah suatu kejadian yang tidak dapat disebabkan atau diciptakan oleh seseorang atau sesuatu apa pun.” Klaim ini tampak begitu super. Akan tetapi, saya akan berbicara bukan apa yang dibicaraka oleh penulis, melainkan tentang apa yang belum ia tulis [baca: lupa] dalam teorinya.

Pertama, tidak bisa dikatakan atau dengan lugu memahami Allah sebagai pencipta seperti ibu yang melahirkan yang keduanya berada dalam suatu konteks waktu, tertentu, dan historis. Seandainya demikian, tentu klaim penulis benar. Lalu, bagaimana Allah dibayangkan? Persisnya, Allah tidak dapat kita bayangkan. Kedua, Kita semua terikat pada waktu dalam segala pikiran kita . Allah tidak bisa dibayangkan sebab Ia sendiri tidak masuk dalam waktu. Keadaan tak terbayangkan ini pun tidak kontradiksi dari seandainya sesuatu dapat dibayangkan. Andaikata Allah masuk dalam waktu, sebuah keharusan bangi-Nya untuk berkembang atau berubah, dan itu bukan sifat Allah. Sekali lagi Allah merupakan yang jika dijelaskan dengan cara kita, bukan Dia. Oleh karena itu, pertanyaan agama-agama mengenai bagaimana alam ini terjadi jelas bukanlah gap yang tidak bisa dijawab oleh sains dan salah jika sains menganggap penjelasan agama mengenai Allah merupakan usaha untuk memberikan jawaban pada gap-gap itu. Jika demikian, penjelasan itu hanya merupakan bentuk kontradiksi dari apa yang diterangkan sains. Allah seolah sesuatu yang ‘lain’ sebagai kontradiksi dan oleh karena itu masih terbatas. Gap-gap sains tersebut tetaplah urusan sains yang belum selesai dengan dirinya, sedangkan agama selalu berbicara melampaui itu.

Meskipun demikian, dalam memahami kemahakuasaan Allah yang begitu kompleks, akal budi tidak begitu diremehkan. Segala klaim sains yang mengarah pada penciptaan merupakan paham dari cara yang berbeda yang tetap saja mengarah pada suatu kenyataan bahwa alam emesta merupakan sebuah karya maha agung, tetapi bukan satu-satunya. Oleh karena itu, agama menerima sains dengan tetap menyadari sesuatu yang berbeda bahwa Allah tidak akan pernah bisa didefinisikan sebagai sebuah akibat sebagaimana hukum sains sebab Ia sandiri bukanlah sesuatu atau “apa”. Maka, jawaban yang diberikan agama pun bukan sebagai usaha untuk membuktikan adanya Tuhan, melainkan mencoba memberi pertimbangan rasional yang wajar dalam terang akal budi [fides quaerens intellectum] . Jika demikian, apakah klaim penulis bahwa “Ihwal bagaimana jagat raya itu ada kini bisa sepenuhnya dijelaskan oleh sains” bisa dipercaya?

Kitab Suci Sebagai Refleksi Iman, Bukan Laporan Sejarah.
Bagian terakhir dari tanggapan ini ialah mengenai perbandingan antara kitab suci dan fakta sains yang menjadi salah satu titik pemberatan oleh penulis. Ia menulis demikian, “Bagaimana pun kita semua bisa memaklumi Paus Fransiskus, sebab Gereja (dan komunitas keagamaan apa pun) tidak ingin teks-teks kitab suci mereka tidak terpakai lagi…. Bayangkan, apa yang terjadi atas teks-teks kitab Kejadian dalam Tanakh Yahudi yang mengisahkan penciptaan langit dan bumi dalam hitungan hari jika big-bang terjadi dengan sendirinya sebagai suatu peristiwa fisika?”

Klaim ini keliru karena seolah menempatkan kitab suci sebagai laporan sejarah terbentuknya jagat raya. Inilah kesalahan paling besar yang sudah lama disadari oleh para saintis maupun Gereja, namun belum bagi Ioanes Rakhmat. Tafsiran secara historis-harafiah belaka akan menemukan kebingungan dan kerap kali tidak masuk akal. Hal ini lalu diambil untuk dicela. Orang yang melakukan ini lupa bahwa kejanggalan bisa saja menunjukkan maksud lain. Ia seharusnya sadar bahwa kejanggalan atau sesuatu yang tidak masuk akal bisa saja berarti bahwa bukan itu yang dimaksudkan kitab suci. Alkitab merupakan kumpulan tulisan, refleksi iman dan pengalaman akan Allah dengan pengarang dan jenis sastra yang berbeda. Untuk itu, membaca alkitab yang cukup baik mesti mencakup kompleksitas berikut, seperti nama pengarang, konteks budaya, situasi politik, tujuan penulisan, dll. Hal inilah yang dilupakan penulis. Dengan demikian, ia tidak pernah sampai pada kritik teks yang sesungguhnya dan dengan sendirinya seluruh pernyataan terkait kebenaran alkitab bersifat asumsi subjektif.

Daftar Pustaka
Dahler, Franz, dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Leave a Reply

Your email address will not be published.