Yesus Mengadili Pilatus

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Yesus Mengadili Pilatus

Bacaan I Dan 7:13-14
Bacaan II Why 1:5-8
Bacaan Injil Yoh 18:33b-37

Judul di atas mungkin terkesan vulgar dan berlebihan, tapi kita coba lihat apa maksudnya. Injil hari ini mengisahkan percakapan antara Pilatus dengan Yesus di dalam gedung pengadilan. Kisahnya singkat, hanya 5 ayat, tetapi justru karena itu pesannya cukup padat. Saya mengajak anda sekalian untuk menggaris bawahi pertanyaan Pilatus di akhir injil tersebut, yaitu “Apa itu kebenaran?” Hal ini hanya tawaran sifatnya, Anda sendiri bisa mengambil stabilo lalu membuat coretan kecil di kitab suci anda bagi anda sendiri. Kisah ini berkabut dan sulit dipahami untuk logika berpikir biasa. Tetapi pendasaran saya ialah dasar teologis injil Yohanes. Yohanes selalu ingin menunjukkan kebenaran justru dengan paradox, suatu antinomi terus menerus (terang/gelap, Roh/daging/dunia dan bukan dunia) agar orang bisa mengambil suatu keputusan iman akan Yesus yang adalah jawabnnya. Jadi, kisah ini pun dapat dibaca dalam kerangka itu.

Pertanyaan Pilatus bermula dari kebingungannya akan jawaban Yesus. Yesus mengatakan bahwa dirinya Raja, tetapi bukan dari dunia ini, lagi bahwa Ia mewartakan Kebenaran. Bagaimana menghubungkan Raja (kekuasaan), Kebenaran, dan yang bukan dari dunia inilah yang memicu pertannyaan Pilatus tentang kebenaran. Ketiga unsur ini saling mengikat dan yang satu tidak bermakna tanpa yang lain (satu paket). Akan tetapi, Pilatus lebih tertarik dengan satu unsur yang mengikat kedua unsur lain, yaitu kebenaran. Apa itu kebenaran? Apakah kebenaran sama dengan kalau kita bicara 0,2=2/10 (urusan matematis/presisi?) Saya kira pertannyaan ini cukup mendalam. Ada beberapa kemungkinan.

Mengapa Justru Yesus yang mengadili Pilatus?
Pertama, jika Yesus ialah kebenaran, Pilatus merasa lucu sendiri sebab lalu akan muncul pertannyaan demikian, apa yang harus diadili dari kebenaran? Jadi, Pilatus justru harus mempertannyakan kekuasaannya sendiri di hadapan Yesus yang adalah kebenaran itu. Kedua, pertanyaan ini bisa berarti sebuah sindiran balik kepada paham kekuasaan Pilatus yang dipakai Yohanes. Bagi Yohanes, Kebenaranlah yang kiranya berkuasa, bukan kekuasaan menentukan kebenaran. Dan kebenaran itu tidak bisa datang dari dunia, sebab tidak seorang pun dapat menjadi ukuran bagi dirinya sendiri. Seorang ahli geografi misalnya tidak bisa menentukan dengan persis di mana letak Indonesia di antara daratan lain di bumi kecuali ia mengambil jarak dari bumi dan memotret dari ketinggian. Dalam arti inilah kekuasan Pilatus diadili, bahwa ia merasa dapat menentukan keadilan (kebenaran), bahwa ia memiliki kuasa atasnya, dan kekuasaanya itu mutlak, sementara ia tidak memiliki gambaran yang benar tentang semua itu.

Kebenaran: Soal kemanusiaan
Hari ini Kita memperingati Hari Raya Kritus Raja Semesta Alam. Perayaan ini merupakan puncak liturgi satu tahun yang dimulai sejak masa adven sampai Hari raya ini. Menghayati perayaan ini, baik kirannya jika Yesus yang adalah kebenaran merajai dan menguasai diri kita. Kebenaran mestinya mengendalikan nafsu kuasa, ketamakan, yang melulu persoalan perut sebab manusia identik dengan urusan kepala (berpikir, menemukan kebenaran). Pembicaraan tentang kebenaran relevan bagi manusia justru karena kita memiliki rasio yang membuat kita unggul dari makhluk lain. Jika hewan bekerja melulu atas dorongan hasrat tak teratur, manusia mestinya berlaku atas prinsip rasio yang maksimalitasnya ialah keterhubungan dengan kebenaran. Maka tunduk pada kebenaran ialah keberhasilan menjadi manusia dan percaya pada kebenaran ialah suatu lompatan iman. Sebaliknya, hanya berkutat pada soal perut ke bawah merupakan kegagalan eksistensial. Semiga kita bisa menjadi pembawa kebenaran.

Selamat merayakan hari Datangnya Raja kebenaran.

Fr. Patris, sx #paes

Leave a Reply

Your email address will not be published.