Memilih untuk tetap tinggal bersama Yesus atau ‘mau pergi juga?’

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Memilih untuk tetap tinggal bersama Yesus atau ‘mau pergi juga?’

Renungan Hari Minggu Biasa XXI (Minggu, 26 Agustus 2018)

Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih dalam Kristus. Komunitas kami, Skolastikat Xaverian Jakarta, memiliki beberapa medan kerasulan; katekumenat, dialog antaragama, animasi misioner dan panggilan, karya sosial, dan bina iman di sekolah dan paroki. Karya-karya kerasulan tersebut sudah barang tentu mempunyai tantangannya masing-masing. Saya tidak bisa mengatakan kerasulan ini yang lebih menguntungkan dan yang lain tidak, atau ini yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Sikap seperti ini harus saya buang jauh-jauh. Bersama umat sekalian, saya mau merefleksikan karya-karya kerasulan itu, berkaitan dengan Bacaan-bacaan dalam Minggu Biasa XXI. Kita dapat bertanya, bagaimana bisa Kristus dikenal kalau tidak ada yang mewartakanNya? Dan bagaimana mungkin cinta Tuhan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, tetapi tidak kita bagikan kepada sesama kita?

Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih dalam Kristus. Ada dua poin yang ingin saya garisbawahi. Tentu anda sekalian punya garis bawahnya masing-masing, entah berapa banyak. Tapi dari saya ada dua. Pertama, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita. Kedua, mengikuti Tuhan berarti harus nyata dan konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Allah tidak pernah meninggalkan kita

Dalam perjalanan hidup bangsa Israel, kasih Allah sedemikian besar menyertai mereka. Ketika mereka bersungut-sungut pada masa di padang gurun, di Meriba, Allah senantiasa menyertai mereka. Si pemazmur mengatakan kebaikan Tuhan dengan seluruh hidupnya, bahkan memuji Allah dengan panca indranya, “Kecaplah betapa sedapnya Tuhan. Kecaplah betapa sedapnya Tuhan.” Kita mengecap makanan baru kita mengatakan makanan itu enak. Sayang sekali kalau kita mengatakan enak tapi tidak mengecapnya. Saya rasa pemazmur mengajak kita untuk mengingat kembali jejak-jejak kebaikan Tuhan dalam hidup kita. Itulah yang juga dibuat oleh bangsa Israel. Itulah yang senantiasa menyertai menyakinkan mereka bahwa Allah senantiasa menyakinkan mereka bahwa Allah senantiasa menyertai mereka hingga akhir zaman. Itulah yang membuat mereka tetap yakin untuk terus percaya pada Kasih Tuhan.
Kita dalam hidup menggereja, kadang punya kecenderungan juga seperti bangsa Israel. Bersungut-sungut, apapun penyebabnya. Tetapi, bukankah Allah senantiasa menyertai kita meski kita bersungut-sungut? St. Paulus dalam suratnya 2 Timotius 2:11-13 mengatakan bahwa “Benarlah perkataan ini: “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.”

Yang Pedas demi Keselamatan

Bacaan Injil yang kita dengar secara pintas sangat pedas. “Perkataan ini keras! Siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Saya mencoba mengimajinasi kalau-kalau dalam karya kerasulan ada yang mengatakan hal demikian, apa gerangan yang akan terjadi? Bisa jadi ‘mau pergi’. Sejauh pengalaman pribadi, saya belum mengalami hal yang demikian.
Saya rasa, kalau Sang Guru mengatakan hal yang sangat pedas kepada muridNya sudah barang tentu demi keselamatan muridNya. Entah di rumah, sekolah, ataupun dimana kita berada, kadang mendengar kata-kata yang menusuk hati. Spontan timbul rasa marah atau kecewa. Tetapi kalau direnung-renungkan mungkin juga karena kelalaian sehingga kita dicela atau memang hidup harus perlu ada cara yang demikian demi memanusiakan kita.

Apa yang Yesus katakan sangat menantang kita. Iman membawa konsekuensi semakin mengenal yang diimani dan mengikutiNya. Ketidakberanian menanggung konsekuensi itulah yang mendorong para murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus. Mengapa? Karena kecenderungan manusia mencari yang enak dan mudah. Padahal, mengikuti Yesus bukanlah perkara gampang. Untuk sampai pada pengenalan akan Kristus, dibutuhkan usaha pribadi dan yang terutama adalah rahmat Allah. Saya rasa, kita tidak hanya mengandalkan diri kita tetatpi kita mohon kepada Allah supaya Ia berkenan mengaruniakan rahmat itu sehingga kita semakin hari semakin beriman kepadaNya.
Sekarang, kita dihadapkan pada pilihan: memilih untuk tetap tinggal bersama Yesus atau ‘mau pergi juga?’

Fr. Valeri Jan Nahak SX

Leave a Reply

Your email address will not be published.