Gereja dan Tantangannya

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Gereja dan Tantangannya

Renungan sabtu 10 Februari 2018
Mrk. 8:1-10

Dalam majalah hidup edisi 12-17 Februari dikisahkan perbincangan hangat yang berawal dari kebingungan umat dengan perayaan imlek yang jatuh pada hari jumat dalam masa prapaska. “Perdebatan” berkisar antara pantang atau pesta. Dikisahkan bahwa seorang ibu mengeluh demikian, “semua keluarga saya Tionghoa dan pasti berpesta serta makan daging saat sincia. Jangan sampai hal ini menimbulkan perpecahan dalam keluarga.” Ada pula yang mengatakan, “Sincia selalu identik dengan makan daging, mari kita hormati mereka yang sudah memasak.” “Pas sincia, ibu mertua dan ipar saya yang bukan Katolik datang ke rumah, masak saya harus usir mereka?” Meskipun demikian, ada pula yang mengatakan sebaliknya bahwa Imlek tidak identik dengan makan daging, melainkan saat pemurnian diri, pemulihan kembali, jadi tidak perlu dipertentangkan dengan aksi puasa dan pantang pada masa prapaskah. Menjaga tegangan seperti ini merupakan realitas yang dihadapi Gereja hari ini. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh Yesus dan para murid sebagaimana dikisahkan dalam injil hari ini. Oleh karena itu, baiklah kita sekali lagi meneladani Yesus dalam mengambil jalan tengah.

Terdapat beberapa hal penting berupa keutamaan yang patut dimiliki dan relefan dengan perutusan Gereja saat ini.

Tanggap Terhadap Tantangan (Ketergerakan)

Peristiwa penggandaan roti yang dikisahkan dalam injil hari ini terdapat pula dalam injil Matius bab 14:13-21. Dalam kisah ini, kedua penginjil mengungkapkan dengan cara dan penekanan masing-masing. Misalnya, dalam injil Matius, para muridlah yang menghampiri Yesus dan mengusulkan agar lebih baik orang-orang itu disuruh pulang saja supaya bisa makan. Akan tetapi, Yesus kemudian menegaskan bahwa orang-orang itu tidak perlu pulang. Konsekuensinya menjadi jelas ketiak Yesus mengatakan demikian, “Kamulah yang harus memberi mereka makan”. Berbeda dengan yang dikisahkan Matius, Markus menulis bahwa Yesuslah yang pertama kali mengambil inisiatif “tergerak hati” melihat orang banyak yang lapar itu dan mengungkapkannya kepada para murid. Sebuah kisah yang dikisahkan dengan cara masing-masing oleh kedua penginjil ini tetap saja memberi kepada kita gambaran tentang apa yang dimengerti sebagai tantangan. Tantangan berarti di satu pihak kita mau tidak mau harus melakukannya, tetapi juga sekaligus tidak tahu mau berbuat apa.

Dalam kisah tadi sangat jelas bahwa Yesus menyuruh para murid memberi makan orang-orang yang mengikutiNya meskipun di satu sisi Ia sadar betul mereka berada di mana saat itu dan seberapa banyak orang yang harus mereka layani, sedangkan menyuruh orang-orang tersebut pergi juga merupakan pilihan berresiko “Mereka akan rebah di jalan”. Itulah tantangan. Sesuatu menjadi tantangan jika seseorang mempunyai kepentingan untuk mencari solusi. Tentu saja persoalan pelik yang dihadapi Yesus tidak menjadi tantangan bagi para murid jika para murid merasa tidak memiliki kewajiban bertanggungjawab atas permasalahan tersebut.

Sebagaimana contoh kasus di atas tadi (imlek & puasa) yang merupakan realitas yang dihadapi Gereja hari ini, kita menjadi sadar bahwa Gereja selalu berada pada tegangan menjaga jati dirinya (tradisi, hukum-hukumnya) sekaligus terbuka dan murah hati terhadap kemajemukan budaya yang dijumpainya, atau dalam konteks lain, Gereja mesti setia pada sifat universalitasnya, tetapi sekaligus menegaskan bahwa GK berpartisipasi penuh dalam kebijakan pemerintah atau negara. Menjadi tantangan sebab kita bertanggungjawab agar kedua sisi ini tidak saling mendominasi satu dengan yang lain. Kesadaran (ketergerakan) akan kenyataan ini perlu dibangun dan dibiasakan.

Sebagaimana Markus menonjolkan sisi manusiawi Yesus yang peka terhadap lingkungan, keadaan orang dan situasi yang sedang diahadapiNya, sebagai warga Gereja, kita mesti meneladani sikap ini. Tantangan perlu ditanggapi, tantangan bukan sesuatu yang terlalu buruk untuk dihadapi. Gereja dalam sejarahnya justru tumbuh dewasa karena menerobos tantangan yang dihadapinya. Hal ini tentu saja selalu merupakan tanda kehadiran Kristus yang selalu memiliki jalan tengah dalam setiap persoalan tanpa terlalu menyudutkan kedua sisi yang ekstrim di sampingnya. Eksistensi Gereja ialah sebuah jalan tengah atau keseimbangan yang secara lebih terjangkau kita pahami sebagai tantangan.

Memandang Keluar

Tentu saja ketika hidup menjadi perlu bertanggungjawap pada orang lain, berbelaskasih, murah hati, tantangan selalu muncul bahkan cenderung terlampau banyak dan rumit. Akan tetapi, bukankah sebuah masalah besar justru ketika kesadaran akan adanya orang lain, penderitaan, tanggungjawab akan komunitas manusia dan lingkungan ditutupi oleh kepentingan diri yang berlebihan? Injil hari ini menunjukkan bagaimana Yesus justru mendesak kita untuk sadar akan dua hal. Pertama, Gereja selalu merupakan sebuah persekutuan, dan oleh karena itu hal kedua yang Yesus tekankan ialah bahwa tantangan Gereja selalu merupakan tegangan antara prisip kolektif dan individual.

Mengenai hal pertama, semua warga Gereja mesti sadar bahwa tugasnya ialah untuk bertanggungjawab atas seluruh bagian yang lain sebagai tuntutan imannya dalam segi apapun. Persoalan Gereja universal ialah persoalan Gereja lokal, dan begitu pula sebaliknya. Menurut Yesus, sumbangsih setiap warga Gereja bahkan tidak bergantung pada jumlah yang bisa bisa diberikan sebab pemberian yang kurang akan selalu digandakan. Sedangkan mengenai hal kedua, Yesus mengajak semua orang untuk berani mengambil jarak dari dirinya, kepentingan individualnya, dan mengambil bagian dalam misi Allah di dunia ini dengan berpartisipasi dalam gerakan Gereja sebagai persekutuan. Orang seperti inillah harapan Gereja.

Dengan demikian, Gereja yang selalu merasakan adanya tantangan ialah Gereja yang dapat dipastikan sedang bertumbuh dan terus maju, yang terbuka sekaligus berpendirian. Sebagai anggota keluarga Gereja, kita mesti sadar akan hal ini bahwa tantangan adalah jalan satu-satunya dan bahkan cara berada Gereja. Sebab hanya dengan demikian, Gereja mampu hidup dengan saling memberi antarumatnya dan menyumbangkan ketujuh bakul roti yang lebih itu bagi dunia dan masyarakat umum.

Fr. Patris, SX

Leave a Reply

Your email address will not be published.