Devosi, Pengembang Spiritualitas Umat Beriman
Oleh: Alexander Ivan P.P,dkk.
Pengantar
Tentu kita tidak asing lagi dengan istilah ‘devosi’. Sejak kecil secara tidak sadar kita telah diajarkan untuk berdevosi baik itu kepada Yesus, Bunda Maria atau pun orang kudus. Dalam devosi kepada Yesus, para kudus atau Santa Maria, kita biasanya diajak untuk memohon pertolongan seperti antara lain: penyembuhan , keberhasilan pekerjaan, jodoh, lulus ujian, tambahan penghasilan, pertobatan, bebas dari hama, wabah, perang dan bencana alam. Akan tetapi, apakah kita mengetahui makna sesungguhnya dari devosi ini? Bagaimana menyikapi kebiasaan-kebiasaan devosional yang sering dilakukan apabila berhadapan dengan liturgi Gereja? Paper ini akan secara ringkas menjawab dua pertanyaan tersebut.
Pengertian Devosi
Devosi itu berasal dari bahasa latin yang berarti penghormatan. Dalam Direktorium Tentang Kesalehan Umat Dan Liturgi. Asas-Asas Dan Pedoman, yang diterbitkan Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen no 8, istilah devosi digunakan untuk melukiskan “aneka kebiasaan eksternal (misalnya doa, madah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, atau kebiasaan. Dijiwai oleh sikap iman, kebiasaan-kebiasaan eksternal seperti ini mengungkapkan hubungan khusus kaum beriman dengan ketiga Pribadi Ilahi; juga hubungan mereka dengan Santa Perawan yang mendapat karunia istimewa dan gelar-gelar yang mengungkapkan karunia itu, orang-orang kudus yang sudah berbahagia seperti Kristus yang memiliki peran khusus dalam kehidupan Gereja”.
Sejarah Perkembangan Devosi[1]
Devosi tampaknya sudah berkembang dalam Gereja sejak awal. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kita dapat melihat kegiatan devosional seperti kisah perziarahan umat Israel ke Bait Allah. Sekitar tahun 150, umat mulai menyertakan para martir dalam kebaktian. Bahkan sejak abad II, patung dan gambar Kristus dipasang pada kuburan dan tempat berdoa. Selanjutnya sekitar tahun 200, berkembang devosi rakyat secara khusus kepada para martir, yang rupanya semakin kurang tertuju kepada Allah. Selama abad IV sampai dengan abad VI, muncul kebiasaan ziarah ke makam para martir. Patung dan gambar orang kudus semakin besar peranannya dan dihormati. Sejak abad VII sampai zaman pertengahan, devosi berkembang pesat, bahkan tanpa kendali. Secara khusus sejak abad XIII, devosi kepada Santa Maria cenderung menjadi liar.
Macam-macam Devosi
Hingga saat ini, kita dapat melihat banyak macam devosi yang biasanya dikelompokkan dalam dua jenis menurut objek yang didevosikan yakni, devosi kepada Yesus Kristus dan kepada Orang Kudus termasuk Maria. Walaupun begitu ada pula macam devosi di luar dua kelompok besar tersebut. Antara lain: devosi kepada Tritunggal Mahakudus, devosi kepada Roh Kudus, devosi kepada Para Malaikat, devosi kepada jiwa-jiwa di api penyucian, devosi kepada Gereja dan Bapa suci.[2]
Kita dapat melihat tiga kelompok besar devosi dalam Puji Syukur.[3] Devosi kepada Yesus, jika kita hitung di dalam Puji Syukur jumlahnya sembilan buah. Devosi kepada Orang Kudus ada sepuluh buah. Itu pun belum termasuk doa-doa yang diletakkan di luar kelompok tersebut, seperti doa Malaikat Tuhan dan Ratu Surga yang biasa didoakan 3 kali sehari (setiap jam enam pagi, siang dan sore).
Kesalehan yang Merakyat
Devosi merupakan salah satu sarana selain Liturgi yang bertujuan untuk meningkatkan spiritualitas umat beriman. Spiritualitas umat beriman itu adalah suatu kesadaran akan kehadiran Roh Allah dalam diri orang beriman, dengan demikian batin orang terarah kepada Allah dalam melaksanakan panggilan hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil. Di sini terlihat sisi religiositas dari kegiatan devosional. Dengan melakukan kegiatan devosional dalam bentuk ulah kesalehan seperti yang telah ditunjukkan macam-macamnya di atas, kehidupan spiritualitas umat mendapat tempatnya untuk bertumbuh selain dalam liturgi.
Di dalam SC. art. 12-13 dijelaskan bahwa hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi. Oleh karena manusia Kristiani, yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa ditempat yang tersembunyi. Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus), umat beriman harus berkanjang dalam doa (1Tes.5:17). Oleh karena itu, di luar liturgi, seluruh umat Kristiani hendaknya mengembangkan ulah kesalehannya. Dalam melaksanakan ulah kesalehannya umat Kristiani juga perlu menyesuaikannya dengan dengan hukum-hukum dan norma-norma gereja; hal ini sangat dianjurkan terutama bila dijalankan atas penetapan takhta apostolik.
Devosi merupakan gerakan yang merakyat karena telah berkembang pesat di kalangan umat beriman khususnya para awam. Timbulnya gerakan kesalehan ini tidak terlepas dari refleksi iman umat akan karunia Allah dalam hidup mereka. Melalui gerakan devosional ini umat beriman berupaya untuk menerjemahkan karunia Allah ke dalam hidupnya sendiri sekaligus mewartakannya. Umat berupaya memberikan kesaksian tentang iman yang telah diterimanya dan memperkayanya dengan ungkapan-ungkapan baru dan fasih. Dapat dikatakan bahwa gerakan kesalehan yang merakyat ini merupakan ungkapan sejati kegiatan perutusan yang spontan dari umat Allah yang didorong oleh Roh Kudus; Roh Kuduslah pelaku utamanya. Inilah yang menurut Paus Fransiskus I sebagai usaha umat beriman di suatu bangsa untuk terus menerus mengevangelisasi dirinya sendiri.[4]
Dijiwai sikap iman, kebiasan-kebiasaan ulah kesalehan seperti ini mengungkapkan hubungan khusus kaum beriman dengan Ketiga Pribadi Ilahi; juga hubungan mereka dengan Santa Perawan Maria juga orang-orang kudus yang sudah berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari macam-macam devosi yang telah ditunjukkan sedikit di atas. Melalui devosi, umat secara terus-menerus memperdalam iman kepercayaan mereka dan mempererat hubungan mereka dengan Tritunggal Mahakudus. Lagi pula, dengan berdevosi kepada para kudus dan Santa Perawan Maria, umat beriman memperoleh rahmat untuk mempererat hubungannya dengan Allah Tritunggal; sesuai dengan gelar Maria sang pengantara (mediatrix) kita diantar kepada Putranya Yesus Kristus dalam persekutuannya dengan Bapa dan Roh Kudus.
Begitu pula ulah kesalehan lain yang khas bagi gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa bila dilakukan atas penetapan para uskup menurut adat kebiasaan buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan perlu diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan liturgi suci, sedikit banyak harus bersumber pada liturgi dan mengantar umat kepada liturgi sebab menurut hakekatnya liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu.
Walaupun banyak manfaat yang diperoleh umat dengan berdevosi, tidak sedikit pula kritik ditujukan kepada kegiatan devosional. Pertama, banyak umat tidak dapat membedakan doa rosario dengan ekaristi. Barangkali umat tidak sadar bahwa Ekaristi nilainya lebih tinggi dibanding doa rosario. Kedua, kita diajak untuk waspada terhadap praktek-praktek ziarah dan novena yang sering bergandengan dengan turisme. Berikut ini akan kita lihat bagaimana seharusnya gerakan devosional yang kita lakukan di hadapan Liturgi dan bagaimana kita seharusnya merefleksikan kegiatan ziarah agar terhindar dari turisme semata.
Keunggulan Liturgi dari Devosi
Devosi, dapat dikatakan sifatnya turunan dari Liturgi. Dengan demikian, devosi haruslah seolah-olah mengantar umat kepada Liturgi. Hal ini dikarenakan Liturgi adalah puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serentak sebagai sumber asal semua kekuatan Gereja. Oleh karena itu, devosi haruslah ditata sedemikian rupa agar terlihat perannya sebagai pengantar umat kepada Liturgi; menunjukkan hakekat liturgi yang jauh mengungguli devosi dan tidak sebaliknya.
Devosi yang benar seharusnya mengantarkan umat kepada penghayatan yang mendalam akan tujuh sakramen Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. Melalui devosi ini, umat dibantu dalam menghayati makna simbolis dari sakramen-sakramen. Melalui devosi, umat diajak untuk terus menggali makna yang terdalam dari sakramen-sakramen khususnya sakramen Ekaristi. Oleh karena itu penting untuk diketahui, “kegiatan adorasi di luar misa memperpanjang dan mengintensifkan segala yang terjadi dalam perayaan Ekaristi sendiri.”[5]
Makna ziarah dan tempat ziarah
Ziarah merupakan fenomena religius yang umum. Ziarah dipandang umat beriman sebagai jalan pemenuhan iman rohani pada dirinya sehingga ziarah merupakan bagian yang paling penting untuk dijalankan. Dalam sejarahnya gereja memahami bahwa ziarah merupakan jalan tobat, olah askes, dan puasa.[6] Ziarah dipandang umat beriman sebagai ungkapan iman akan makna gereja yang harus berjalan ke tanah air surgawi.
Dalam berbagai kesempatan, umat beriman memiliki cara pandang yang berbeda tentang ziarah. Umat beriman berpandangan bahwa tempat-tempat ziarah memiliki sesuatu yang paling bermakna yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan camping-camping rohani. Tempat-tempat ziarah seperti merupakan tempat yang keramat bagi umat beriman yang dikuduskan bagi umat kristiani, seperti tanah suci (tempat di mana Yesus lahir, hidup dan wafat), Roma (tempat Paulus menjadi martir) dan Santiago de Compostella (tempat makam Santo Jakobus berada). Sekarang pun telah berkembang tempat-tempat ziarah lokal seperti sendang sono, sriningsih dan sebagainya. Sama seperti bentuk devosi yang lain, ziarah merupakan suatu ulah kesalehan yang dilakukan umat beriman untuk mengembangkan spiritualitas mereka. Seperti yang dikawatirkan Romo Jacobus, kita harus waspada kalau-kalau suatu ziarah merupakan kegiatan turisme biasa. Kadang kala kita dapat terjebak dalam pelbagai macam maniulasi ziarah; di mana nilai dari kegiatan ziarah hanya dirasakan sebagai rekreasi semata bahkan hanya dimaknai sebagai sumber penghasilan ekonomi.
Penutup
Devosi sebagai sarana untuk meningkatkan spiritualitas umat telah hidup dan berkembang sejak awal sejarah kekristenan. Devosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan refleksi umat atas imannya akan Allah. Melalui gerakan devosional ini umat beriman berupaya untuk menerjemahkan karunia Allah ke dalam hidupnya sendiri sekaligus mewartakannya. Oleh karena itu, devosi haruslah mengantarkan umat kepada liturgi dimana karunia Allah Tritunggal dihadirkan dalam sakramen-sakramen khususnya sakramen Ekaristi. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa kegiatan adorasi di luar misa memperpanjang dan mengintensifkan segala yang terjadi dalam perayaan Ekaristi sendiri.
Daftar Pustaka
Martasudjita, E. Pr. Pengantar Liturgi:Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi. Kanisius:Yogyakarta, 1999
Tarigan, Jacobus, Pr. Ritus Kehidupan. Cahaya Pineleng: Jakarta, 2011.
Harun, Martin, OFM., T.Krispurwana Cahyadi, SJ. (editor). Evangelii Gaudium. Edisi Indonesia. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI:Jakarta. 2014.
Joseph Ratzinger. Sacramentum Caritatis. Edisi Indonesia. Komisi Liturgi KWI:Jakarta. 2007.
[1] Lih. Tarigan, Jacobus, Pr., Ritus Kehidupan, (Cahaya Pineleng: Jakarta, 2011), 99.
[2] Lih. Tarigan, Jacobus, Pr., Ritus Kehidupan, 101.
[3] Lih. Daftar isi Puji Syukur, Komisi Liturgi KWI (penyusun), Puji Syukur, (Penerbit OBOR:Jakarta, 2008), xiii-xiv.
[4] Evangelii Gaudium no.122-123.
[5] Sacramentum Caritatis, no.66.
[6] Martasudjita, E. Pr., Pengantar Liturgi:Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, (Kanisius:Yogyakarta, 1999), 156.