Renungan Minggu Biasa XXVI Th.A

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Renungan Minggu Biasa XXVI Th.A

Kita memasuki Hari Minggu Biasa XXVI, bacaan-bacaan yang dikumandangkan, sebenarnya kalau mau jujur, dapat ‘menelanjangi’ kita. Pertanyaan yang menarik, “Tindakan Tuhan tidak tepat! Dengarlah dulu, hai kaum Israel, apakah tindakan-Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat? Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh. 18: 25-28). Ini dialektika yang baik, yang mana Tuhan melalui nabiNya, Yehezkiel, tidak menyalahkan orang-orang Israel, tapi membimbingnya dengan cara berdialektika agar dapat menemukan duduk perkaranya.

Persis, Yesus pun mengajak kita untuk tidak cepat-cepat mengatakan bahwa yang berkata ya akan melakukan, pasti dia baik, dan yang berkata tidak tapi ia menyesal lalu melakukannya sesuai apa yang diminta, lalu dikatakan apa tentang anak ini? Dia juga baik-kan? Yesus sebenarnya sedang bertanya kepada kita, apa pendapat kita tentang seorang yang mempunyai dua anak laki-laki tersebut.

Sapaan, “Anakku”, secara mendalam menunjukkan bahwa kita bukan lagi hamba, pesuruh, atau pembantu. Kita diminta untuk “pergi dan bekerja hari ini dalam kebun anggur.” Hari ini berarti segera, tidak tunda-tunda, apalagi alasan aku masih muda, aku masih ada tugas. Pokoknya, panggilan Tuhan pada diri kita mempunyai tujuan agar kita merayakan pesta kemenangan bersamaNya di kebun anggurnya, tanpa paksa, tanpa merasa tidak dicintai, tanpa menghitung-hitung berapa banyak yang telah kita lakukan, tapi tanpa menghitung pengorbanan; berjuang tanpa ingat akan luka-luka, bekerja tanpa mencari istirahat; berusaha tanpa minta ganjaran apapun kecuali dapat mengetahui bahwa kami telah melakukan kehendak-Mu, demikian doa termasyur St. Fransiskus Xaverius, Pelindung Misi, dan misionaris bangsa Timur, yang dapat kita hanyati dalam kehidupan kita sehari-hari.

Mungkin kita kadang seperti anak sulung, “Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.” (Mat. 21:28-29). Jadi, anak ini tidak mau mendengarkan bapanya. Ia terbagi: ia mengatakan ya karena tidak mampu mengatakan tidak: ia takut melawan bapanya. Sebenarnya, mengungkapkan ketidaksetujuan merupakan hal yang positif: mengandaikan bahwa bapa menghormati kebebasan anaknya. Mengatakan ya berdasarkan ketakutan mengandaikan bahwa bapa tidak membenarkan kebebasan dan menolak anak yang memberontak. Suatu “ya” yang tulus dapat diucapkan dengan memproseskan “tidak” itu. Dalam ungkapan “tidak”, saya menerima bahwa diriku beda dari yang lain, berikutnya saya akan mampu berelasi. “Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.” (Mat. 21:30) Buah penyesalan adalah pertobatan; kembalinya kepada Dia yang dari-Nya kita telah melarikan diri. Tujuan perumpamaan ini, dan setiap nubuat, adalah membongkar semua “tidak” kita, supaya kita sampai kepada “ya” terhadap Dia, yang seutuhnya dan selalu adalah “YA” (bdk. 2Kor 1:19-20). “Ya” kita terutama bermakna: Benar, biasanya saya berkata tidak kepada sang Ya! Dari dua sosok manusia ini, apa pun alasannya, kita bisa merenung dan melihat ke dalam hati kita masing-masing, kita yang mana? Menyesal yang adalah buah pertobatan, atau menuduh?

Fr.Valerius Jan Nahak,SX

Leave a Reply

Your email address will not be published.