Renungan Minggu Biasa XXIV

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Renungan Minggu Biasa XXIV

Luk 15 : 1-10

Tahun ini merupakan tahun penuh rahmat, mengingat secara khusus Paus Fransiskus mengundang kita sekalian untuk bersama-sama menikmati rahmat kerahiman yang senantiasa Allah berikan dalam hidup kita. Bacaan-bacaan yang Gereja tawarkan pada minggu biasa ke-24 ini merupakan bacaan yang tidak asing lagi di Tahun Kerahiman Allah ini.

Ketiga perumpamaan mengenai kerahiman Allah yang Tuhan Yesus tujukan kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini mengundang kita untuk melihat diri kita masing-masing. Barang kali kita adalah bagian dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tersebut, maka jika demikian berarti Tuhan Yesus ingin menujukan perumpamaan ini pada diri kita juga.

Seringkali kita merasa lebih baik dari orang-orang di sekitar kita. Ketika menghadapi sebuah konflik atau permasalahan, bukankah hal pertama yang kita lakukan biasanya menyalahkan orang lain, atau paling tidak kita terlebih dahulu melihat ke luar. Apa yang salah di luar diri kita sehingga menyebabkan masalah ini hadir dalam hidup saya. Daripada lebih dahulu melihat ke dalam diri dan mempertanyakan apa yang salah dengan pribadi kita dan mencoba untuk menemukan sudut pandang yang lebih baik, kita malah langsung melihat sesuatu di luar kita bahkan seperti yang saya katakan tadi, kita kemudian cenderung menyalahkan orang lain. Daripada mengambil langkah untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik, kita lebih sering menuntut agar orang lain berubah menjadi sesuatu yang kita mau.

Tuhan Yesus sendiri pernah mengundang kita untuk mengeluarkan dulu balok di mata kita sebelum kita mengeluarkan selumbar di mata orang lain.  Seringkali kita merasa diri benar sehingga tidak lagi memerlukan pertobatan. Mungkin tidak jarang kita mendengar saudara-saudari kita saat hendak menerima sakramen tobat mengatakan, “Mau ngaku apa ya? Aku bingung apa dosaku.” Hal ini terdengar lucu tapi sebenarnya mau melukiskan bahwa sebenarnya banyak dari kita yang sudah sampai pada titik ini; titik di mana kita sudah tidak menyadari lagi bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah dosa. Sikap penjustifikasian diri yang terjadi secara tidak langsung ini sebenarnya membuat kita jauh dari Tuhan.

Tuhan Yesus meminta kita untuk menjadi seperti anak kecil sebenarnya pertama-tama bukan untuk menjadi pribadi yang polos, tetapi bersedia menjadi pribadi yang selalu berpegang, bersandar dan mengandalkan-Nya. Penting sekali menyadari diri kita dalam keadaan dosa, karena sebenarnya inilah syarat dasar untuk menikmati kerahiman Allah. Orang yang tidak merasa bahwa dirinya berdosa, tidak mungkin akan merasakan kerahiman Allah karena untuk merasa diampuni dari dosa berarti orang itu sudah lebih dulu merasa bahwa dirinya pernah melakukan perbuatan dosa.

Setiap manusia pasti memiliki dosa. Seringkali kejatuhan pada dosa yang sama membuat orang berpikir untuk apa bertobat, toh nanti jatuh lagi. Hal ini tidak bisa dibenarkan. Kita percaya bahwa Tuhan Yesus selalu hadir di tengah-tengah kita dan Ia sendiri mengatakan bahwa Ia datang untuk kita yang berdosa seperti seorang tabib yang datang untuk menyembuhkan yang sakit, sebab yang sudah sehat tidak lagi memerlukan penyembuhan. Oleh karena itu, kejatuhan kita yang terus menerus ke dalam dosa seharusnya menjadi alasan untuk kita semakin dekat dengan-Nya.

Seberapapun besarnya dosa kita, percayalah bahwa kerahiman-Nya jauh lebih besar dari dosa kita. Dalam pertobatan sebenarnya bukan kita yang pertama-tama datang dan menemui Tuhan, tetapi Ia sendiri yang lebih dahulu menemui kita, menghampiri pintu hati kita dan menunggu apakah kita bersedia membuka pintu untuk menerimanya. Rahmat kerahiman itu gratis tapi tidak otomatis. Jika kita melihat judul dari ketiga perumpamaan yang Gereja tawarkan minggu ini dalam Injil Lukas, sebenarnya akan lebih tepat jika judul itu diubah dari “Perumpamaan tentang Domba yang Hilang” menjadi “Perumpamaan tentang Gembala yang Menemukan Domba yang Hilang” begitu pula dengan dua perumpamaan lain. Dengan judul yang lebih menekankan bahwa subyek utama adalah Allah, akan membuat kita lebih menyadari bahwa kita benar-benar memiliki Allah yang luar biasa. Allah yang datang menghampiri kita pribadi lepas pribadi, Allah yang membopong kita di pundak-Nya di kala kita dalam kondisi tak berdaya, Allah yang tak peduli seberapa besar dosa kita sebab Cinta-Nya lebih besar dari semua dosa kita, Dialah Allah Kristiani.

Allah kita bukan Allah yang menuntut kita untuk melakukan sekian banyak kebajikan demi membayar kerahiman yang Ia berikan. Kita diselamatkan bukan karena sekian banyak kebajikan yang kita buat, tapi karena Ia cinta pada kita. Segala hal yang baik yang bisa kita buat sebenarnya merupakan buah dari penyelamatan kita, bukan sarana untuk memperoleh keselamatan. Kita sudah lebih dulu diselamatkan maka marilah kita hidup sebagai orang yang diselamatkan.

Fr. Ambrosius R. Agung, SX

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.