RENUNGAN MINGGU BIASA XXI
“memang tiap-tiap hajaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan sukacita melainkan dukacita. Namun kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”(Ibr. 1:5-7,11-13)
Saudara/i yang terkasih dalam Tuhan. Bacaan-bacaan yang kita dengar pada hari ini, sangat menggembirakan jiwaku. Yesus hari ini menceritakan kepada kita tentang kerajaan Surga dan bagaimana harus masuk ke dalamnya. Surat kepada orang-orang Ibrani menceritakan bagaimana cara Allah memperlakukan orang yang dikasihi-Nya. Dan hari ini, saya ingin memusatkan perhatian pada teks dari kitab ibrani itu.
Saat saya merenungkan surat ini, saya merasa diteguhkan dan dikuatkan. Dalam hidup sehari-hari, kita seringkali mengalami apa yang dikatakan kepada jemmat di Ibrani itu. Ada banyak pengalaman yang “kurang menyenangkan/menyedihkan” yang menerpa perjalanan hidup kita, yang membuat kita selalu bertanya, di manakah Tuhan? Mengapa Tuhan meninggalkan saya? Apakah Tuhan tidak lagi mencintai saya? Dan banyak pertanyaan lain yang sejenisnya. Saya mempunyai suatu pengalaman yang kurang mengenakkan saat novisiat.
Suatu hari, saya mengadakan colloquium (bicara berdua) dengan pastor rektor. Saya menceritakan semua yang saya alami selama satu bulan di situ, baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang menyedihkan. Di akhir pembicaraan itu, Pastor rektor memberikan beberapa poin negatif yang perlu saya perhatikan untuk diperbaiki dalam menjalani panggilan saya. Dia mengatakan begini “ saya melihat kamu angkuh. Hal ini nampak dari pembicaraanmu. Saat kamu masuk di sini, kamu menempatkan dirimu sebagai yang superior, karena kamu sudah belajar filsafat. Apa artinya filsafat. Filsafat yang kamu pelajari selama dua tahun itu tidak ada artinya apa-apa. Kamu itu sama saja dengan yang lain yang belum belajar filsafat ini”. Mendengar penjelasan itu, saya menjadi lesuh. Beribu-ribu pertanyaan berkeliaran di kepalaku. Saya menjadi tidak semangat, bahkan dalam hati ada kebingungan dan kebimbangan. Namun, saya tidak terbawa dengan perasaanku.
Selama beberapa hari gairahku hilang (tidak bersemangat). Meski begitu, saya berusaha untuk tetap setia dalam menjalani kegiatan harian di komunitas. Sampai suatu saat dalam doa, saya merenungkan lagi apa yang dikatakan oleh pastor rektorku. Suatu pertanyaan dari saya saat itu adalah apakah motivasi dari pastor rektor ini sehingga ia memberi penilaian sedemikian menusuk hatiku? Apakah ia membenci aku? Jika ia benci denganku, mengapa ia tidak mengeluarkan aku dari sini? Dalam renunganku saat itu, saya menemukan bahwa pastor menegur saya, menasihati saya, menunjukkan kelemahan saya, bukan atas dasar kebencian, melainkan atas dasar cinta yang besar supaya hidup saya dari hari ke hari semakin baik dan terutama supaya terarah kepada Tuhan. Di situ saya sadar bahwa Allah dengan cara “yang tidak” saya pahami membentuk dan mendidik saya. Ia sungguh mencintai saya yang hina ini. Aku melihat campur tangan Allah dalam kata-kata pastor itu.
Pengalaman kecil ini, mungkin juga dialami oleh semua orang. Para rasul mengakui bahwa sebagai manusia biasa saat menerima teguran, nasihat, koreksi, yang datang bukanlah sukacita melainkan dukacita “memang tiap-tiap hajaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan sukacita melainkan dukacita. Namun kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”(Ibr. 1:5-7,11-13). Akan tetapi, bagi mereka yang rendah hati, teguran dan nasihat adalah sebuah rahmat untuk semakin bertumbuh dalam kebenaran dan kasih Allah. Dalam kaitannya dengan Injil, saya memaknai bahwa pintu yang sesak yang dicerikan oleh Yesus hari ini merupakan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan yang datang silih berganti dalam hidup saya. Dan jika saya tetap setia dan rendah hati, saya yakin, saya akan masuk dalam kerajaan surga itu. Besar harapan saya bahwa kita semua mampu melewati pintu yang sesak itu ….Semoga!!!
Fr. Kampianus Ordin Jemanu, SX