Aku Menjadi Anak Kecil

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Aku Menjadi Anak Kecil

Selama kurang lebih satu setengah tahun di Xaverian, karya kerasulan saya tidak jauh dari yang namanya anak-anak. Tahun ini pun saya diutus untuk merasul di tengah anak-anak kecil yang notabene tinggal di pinggiran rel kereta api Senen. “Kenapa anak-anak lagi?” pikirku dalam hati. Pasti ada sesuatu yang ingin Tuhan ajarkan kepada saya dengan terus mengutus saya ke tengah anak-anak.

Siapa itu anak kecil ?
Yesus suatu ketika pernah memberitahu murid-Nya bahwa jika me-reka tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, mereka tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga (bdk.Mat 18:3). Ini berarti menjadi seperti anak kecil adalah syarat yang tidak bisa dinomor duakan (penting) untuk masuk kedalam Kerajaan-Nya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa harus menjadi anak kecil dan apa kelebihan mereka.

Lemah dan tak punya kuasa
Saya mendapat kesempatan untuk merasul di RBS (Rumah Bimbel Senen) selama satu tahun ke depan. RBS merupakan tempat bagi anak-anak marjinal untuk mendapatkan pelajaran tambahan dari usia 5 tahun—14 tahun. Komunitas RBS ini beranggotakan kakak-kakak yang berasal dari berbagai kalangan; ada yang sedang bekerja maupun yang masih kuliah (termasuk kami berdua). Selain itu, kakak-kakak RBS juga mempunyai latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda.

Fr.Ivan (baju biru pojok kiri) bersama kakak-kakak dan adik-adik RBS

Setiap Sabtu sore tepat jam 13.00 WIB, waktu di mana teman-teman yang lain sedang melaksanakan meditasi horizontal [Baca:Tidur], saya berangkat ke RBS dengan mengayuh sepeda Onthel. Komunitas RBS mengontrak salah satu rumah yang terletak pas di samping stasiun Senen. Tugas kami di sana adalah mengajar anak-anak mulai dari kelas TK hingga 6 SD; mengajar kesenian, berhitung dan membaca.

Bersama kakak-kakak dan adik-adik RBS seusai belajar kesenian

Sebelum memulai pelajaran, saya biasa duduk di teras kontrakan tempat kami mengajar sambil menunggu anak-anak datang. Pada saat itu, Rachel, salah satu anak pemilik kontrakan, sering menemani dan bermain bersama kami. Rachel baru berumur 6 tahun, mukanya cantik bagaikan putri Tiongkok, kurus dan terlihat sa-ngat imut. Jelas bahwa dia memang keturunan orang Tionghoa. Rachel dan juga beberapa kakak kandungnya memiliki kelainan fisik, yaitu gagap ketika berbicara. Sehingga tidak jarang kami ketawa dan bengong ketika mendengar dia berbicara karena bicaranya yang gagap.

 “Wawa bia mai ni?” tanya Rachel sambil memberikan jari manis, telunjuk dan jempolnya.
“Apa Rachel? Spiderman? Tanyaku heran. “Buan, mai mai…na,,,mati..ha…”ujarnya sambil menunjuk jari telunjukku.
“Oh…main gajah, semut, manusia…bilang dong hahaha…”ujarku baru sadar apa yang ia maksud.

Melihat sosok Rachel dan semua anak kecil di RBS membuat saya bertanya sebetulnya kenapa Yesus mengajak saya untuk menjadi seperti mereka (anak kecil). Mereka itu kecil, lemah (dalam hal fisik dan mental), dan tidak berdaya bila tidak ada orang tua. Bukannya orang yang ahli kitab suci, mempunyai nama besar, dan dihormati di mana-mana, melainkan mereka yang seperti anak kecil inilah yang berkenan masuk kerajaan Surga.

Bersama empunya kerajaan surga

Terlihat bahwa Yesus tidak pernah mencari orang besar, orang yang punya kuasa dan terhormat. Yesus ingin para murid-Nya untuk berhenti mengingini kedudukan yang tinggi. Menjadi anak kecil tidak berarti bersikap kekanak-kanakan, melainkan memperoleh suatu kematangan yang benar. Sepertinya saya harus mencontoh Yesus yang mampu merendahkan dan menempatkan diri-Nya bersama yang terkecil dalam masyarakat.

Yesus pernah berkata,”…barangsiapa merendahkan diri dan menjadi anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga”(Mat.18:4).

(Fr.Alexander Ivan Pasca Putra)

Leave a Reply

Your email address will not be published.