Masyarakat Adat Karuhun (AKUR) Sunda Wiwitan
CPR42-Sabtu (19/03), komunitas Skolastikat Xaverian kembali mengadakan dialog interaktif dengan tema ‘Mengenal Masyarakat Adat Karuhun (Akur) Sunda Wiwitan’. Acara dialog kali ini dihadiri kurang lebih 50 peserta dengan latar belakang yang berbeda-beda. Hadir beberapa teman mahasiswa STF Driyarkara, teman-teman santri dari Pesantren Gus Dur Ciganjur, beberapa siswa SMA, beberapa orang dari lingkungan dan beberapa aktivis ICRP. Acara dialog kali ini terasa istimewah karena hadir juga P. Anton sebagai Provinsial Xaverian yang kebetulan sedang berada di Jakarta.
Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan merupakan suatu komunitas kecil yang menghidupkan kembali ajaran spiritual leluhur yang sudah lama ditinggal. Kekayaan spiritual ini digali kembali pertama kali oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Wijayaningrat, yang kerap dipanggil Pangeran Madrais, setelah sekian abad lamanya hilang di bawah politik adu domba penjajahan bangsa kolonial. Komunitas yang berkembang di Cigugur, Jawa Barat ini memiliki dua ajaran utama, yakni kesadaran diri sebagai pribadi manusia dan kesadaran diri sebagai bagian dari bangsa. Kedua ajaran ini menjadi landasan bagi komunitas Sunda Wiwitan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Welas asih merupakan salah satu ajaran yang diwariskan oleh leluhur mereka menjadi dasar relasi dan penghormatan pada keberagaman yang ada di bangsa Indonesia ini.
Ibu Dewi Kunti yang hadir sebagai pembicara dalam acara ini menceritakan perjalanan masyarakat Sunda Wiwitan yang kerap kali mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah. Sulitnya mendapatkan akta kelahiran bagi masyarakat Sunda Wiwitan merupakan salah satu bentuk perlakuan diskriminatif yang mereka alami. Dalam berbagai urusan administratif, komunitas ini kerap dilecehkan dan tidak dihargai. Bahkan komunitas ini kerapkali disamakan dengan agama Islam, Kristen, dan Hindu, sehingga dalam berbagai urusan administratif salah satu dari ketiga agama tersebut dipakai dan dicantumkan dalam kolom agama sehingga segala urusan administrasi lancar. Dalam perjalanannya, komunitas masyarakat Sunda Wiwitan ini pernah memeluk agama Katolik dan Hindu, namun karena perbedaan ajaran dan tradisi membuat komunitas ini keluar dari kedua agama tersebut dan membentuk suatu komunitas sendiri.
Perlakuan diskriminatif yang dialami kelompok masyarakat Sunda Wiwitan ini menimbulkan simpati dari berbagai kalangan. Salah seorang santri dari pesantren Ciganjur yang hadir sebagai peserta dalam acara ini mengungkapkan rasa keprihatinannya atas apa yang dialami masyarakat Sunda Wiwitasn ini.
Ibu Dewi Kanti mengungkapkan bahwa sampai sekarang ini komunitas masyarakat Sunda Wiwitan ini masih berjuang untuk mendapat pengakuan dari pemerintah. Perjuangan yang mereka lakukan bukan pertama-tama agar masysarakat Sunda Wiwitan dijadikan sebagai agama resmi. Masyartakat Sunda Wiwitan tidak mau terjebak dalam tindakan legalitas belaka. Tapi perjuangan mereka yang utama adalah agar negara sungguh-sungguh hadir di tengah masyarakat, sebaliknya bukan terjebak dalam apa-apa yang formal.
Komunitas yang mulai terbentuk di akhir abad 19 ini tidak melakukan penyebaran ajaran. Namun, komunitas masyarakat ini mengaku diri sebagai komunitas yang inklusif. Mereka selalu terbuka dengan berbagai budaya, agama, dan ideologi manapun. Hal ini sesuai dengan pandangan filosofis yang mereka anut yaitu damai. Damai yang bisa memeluk dengan rasa persaudaraan semua orang melampaui batas-batas geografis, suku, agama, dan ideologi yang ada. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh P. Rubi selaku rektor komunitas Skolastikat Xaverian yang mengatakan bahwa acara dialog yang dibuat oleh Komunitas Skolastikat Xaverian ini bertujuan untuk menjaring semakin banyak orang yang mencintai kebenaran berkehendak baik.
Acara dialog ini diakhiri dengan fobar (foto bareng) dan diteruskan dengan makan malam bersama.