Terus Berubah Tetap Setia: Pekan Doa Ekumene & Dialog Antaragama
“Satu kata dalam budaya berbeda akan memuat pemahaman berbeda dalam budaya lain. Begitu juga agama. George Lindback mengatakan bahwa agama lahir dari bahasa dan budaya berbeda-beda. sebab itu, pengungkapan Allah disaring dan lahir dari bahasa dan perasaan budaya setempat. Dengan demikian, agama tidak dapat disamakan,” demikian diungkapkan M. Nova Katuuk dalam Dialog Antaragama, 25 Januari 2014, di Wisma Skolastikat Xaverian Jakarta.
Acara dialog antaragama yang rutin dilaksanakan setiap bulan ini, dijalankan bersamaan dengan Pekan Doa Untuk Persekutuan Umat Kristiani Sedunia. Tema yang diambil pun relevan dengan hajatan besar itu. Mbak Nova Katuuk diundang sebagai narasumber utama untuk menggali pemahaman teologi agama-agama terutama dari sudut pandang GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat).
Pemaparan mahasiswi teologi semester 8 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta ini, diperhatikan secara seksama oleh anggota komunitas Skolastikat Xaverian dan para tamu undangan lintas agama. Acara dibuka pada pukul 17.00 oleh moderator Fr. Robertus Kardi, SX yang disambung oleh presentasi Mbak Nova.
Tentang Gereja Protestan Indonesia, Mbak Nova kenyataan pluralitas bukanlah hal yang baru. Perjumpaan dengan keberagamaan memang sebenarnya sudah terjadi sejak sejarah Gereja Awal. Pengalaman perjumpaan itu mendorong Gereja dan juga agama-agama lain untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dialog kemanusiaan demi menjembatani keragamaan itu.
GPIB, demikian Nova, berdiri pada 31 Oktober 1948. Aliran GPIB diwariskan oleh Nederlands Zendling Genootschp (NZG). Salah satu ciri aliran ini, yang dianut oleh kaum konservatif, adalah fundamentalisme ekslusif. Meskipun begitu dalam Pengakuan Iman GPIB, sudah dinyatakan dalam poin 7, “Bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat di muka bumi yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dalam kasih-Nya yang tiada tara Allah mengaruniakan keselamatan-Nya.”
Pengakuan Iman GPIB itu, lanjut Nova, memberikan suatu posisi yang lebih baik dalam hal teologi agama-agama. Gereja yang dulunya tinggal dalam eklusivisme akhirnya membuka diri dan memberi tempat bagi pandangan inklusif. Perkembangan berbagai pandangan yang lebih positif tentang agama lain ini sebenar turut didorong oleh pandangan para pemikir kaliber tinggi semacam Rahner, Alan Race, dan lainnya.
Akan tetapi dalam ranah praktis, Nova menemukan bahwa pandangan yang lebih inklusif mengenai relasi dengan agama-agama lain, ternyata tidak sejalan dengan realitas konkret hidup jemaat. Kecendrungan ekslusivisme tetap dominan. Oeh karena itu, Nova mengembangkan suatu refleksi yang diberi judul Moving, Not Removing. Refleksi Nova yang diinspirasikan oleh pemikiran Donald E. Messer ini, memuat suatu pemikiran dengan metafora pagar. Untuk dapat menjalin suatu relasi yang inklusif dengan tetap menjaga ortodoksi, kita dituntut untuk menurunkan ketinggian “pagar” kita (doktrin dan sikap praktis) sehingga bisa melihat dengan jelas apa yang ada dalam agama-agama lain. Demikianpun berkat pagar yang lebih rendah ini, agama lain dapat melihat apa keutamaan dalam agama kita dan belajar menghargainya tanpa kecurigaan.
Acara penuh persaudaran ini, disemarakkan juga oleh sharing peserta dialog tentang relasi dan pentingnya keterbukaan dengan orang-orang beragama lain. Sesi foto dan makan malam bersama menambah keakraban para peserta seminar lintas agama ini. Sampai jumpa pada kesempatan dialog bulan Februari. Selamat menghargai pluralitas keyakinan.
Foto-foto dapat dilihat di link Facebook berikut: