Dialog Seputar Kemerdekaan Timor Leste
Komunitas Skolastikan Xaverian kembali mengadakan kegiatan dialog antaragama pada Sabtu, 21 Desember 2013. Dialog ini mengangkat tema tentang masalah Timor-Timur, “Penjajahan Portugis, Integrasi, dan Kemerdekaan Timor-Timur.” Pembicara utama dalam diskusi kali ini adalah bapak Francisco Xavier Lopes da Cruz. Beliau adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam memperjuangkan integrasi Timor-Timur ke Indonesia dengan menjadi ketua partai UDT. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai wakil Gubernur Timor-Timur, Anggota MPR-RI, Anggota DPR-RI, dan menjadi Duta Besar untuk beberapa negara tetangga seperti Yunani dan Portugal.
Seperti biasa dialog dimulai pukul 17.00 dan dihadiri oleh sekitar 40-an peserta dari berbagai lintas agama. Pada sesi pertama yakni presentasi dari Bapak Francisco, dengan lugas dan runtut, beliau memaparkan bagaimana perjalanan rakyat Timor-Timur memperjuangkan nasib mereka sejak penjajahan Portugis, integrasi dengan Indonesia, hingga kemerdekaannya. Diselingi dengan canda, beliau mensharingkan pengalaman keterlibatannya dalam berbagai perjuangan bagi kehidupan masyarakat Timor-Timur hingga akhirnya ia sendiri diusir dari tanah kelahirannya. “Politik memang kotor, namun di atas semua itu kita harus saling memaafkan,” ujarnya.
Beliau pun mengatakan bahwa,“Bumi Timor-Timur hampir tak pernah tenteram. Konflik terus terjadi dari waktu ke waktu. Pada masa kolonial, Ia dijajah oleh bangsa Portugis selama 465 tahun (1512-1975).” Semboyan Portugal adalah Salib dan Pedang, maka tujuan menjajah Timor-Timur adalah ingin menyebarluaskan iman dan kekuasaan. Selama masa penjajahan Portugis, banyak terjadi pergolakan di Timor-Timur melawan kekuatan kolonial. Sayangnya, perjuangan itu selalu gagal karena mampu diredam oleh tentara Portugis dan juga tidak adanya persatuan diantara rakyat Timor-Timur.
Sedangkan dalam era integrasi, Timor-Timur resmi menjadi propinsi yang ke-27 pada tanggal 17 Juli 1976. Namun, PBB tidak mengakui proses integrasi Timor-Timur dan menuntut self-determination (penentuan nasib sendiri) dengan segala konsekuensinya, termasuk kemerdekaan sepenuhnya. Pada tahun 1982 diadakan voting di PBB dengan menghasilkan selisih 2 suara, yaitu 50:48. Akhirnya debat-debat di PBB sudah selesai. Akan tetapi, Portugal merasa gelisah dan mengajak Indonesia untuk berdialog. Akhirnya Indonesia menerima ajakan tersebut sehingga secara tidak langsung diakui bahwa integrasi Timor-Timur ke pangkuan Indonesia belum tuntas.
Ketika Indonesia masuk dalam suasana reformasi/demokrasi, Presiden Habibie mengusulkan referendum di Timor-Timur untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan PBB mengadakan sebuah forum yang membahas status otonomi khusus bagi Timor-Timur yang dapat diterima secara internasional. Dalam pelaksanaan referendum terjadi banyak kecurangan, namun Indonesia tidak mempedulikan hal tersebut. Akhirnya Timor-Timur pun merdeka.
Menarik bahwa dalam pemaparannya, Bapak Francisco mengungkapkan bahwa sesungguhnya, secara tidak langsung, Indonesia telah mempersiapkan Timor Leste untuk kemerdekaan, melalui berbagai pembangunan yang telah dilakukan. Oleh karenanya hubungan kedua negara ini semestinya perlu dibangun dengan lebih erat sebagai saudara. Masalah krusial yang perlu diperhatikan Indonesia dan Timor-Leste sekarang adalah bagaimana mengurusi kehidupan warga Timor-Timur, yang karena kekerasan pasca-referendum mengungsi ke Indonesia. Jumlah mereka sekitar 200 ribu orang, dengan nasib dan kesejahteraan yang tidak menentu.
Setelah break 15 menit, acara pun dilanjutkan pada sesi diskusi. Suasana pun menjadi semakin hangat dengan beberapa pertanyaan dari para pendengar seputar berbagai peristiwa yang terjadi di Timor-Timur tersebut. Bapak Francisco, sebagai narasumber, menjawab berbagai pertanyaan dengan cukup memadai. Demikianlah suasana yang tercipta pada sesi diskusi.
Sebuah ungkapan mendiang Paus Yohanes Paulus II yang dikutip oleh mc Fr. John Taninas, menjadi pesan penutup yang cukup bermakna bagi kita dalam membangun kehidupan bersama, “Dunia akan menjadi damai dengan sendirinya jika setiap orang maupun negara mengutamakan saling menghormati, menghargai, memaafkan, dan mencintai.”