Renungan Th.B Minggu Biasa XXVII

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Kembali ke Permulaan Penciptaan

Kej. 2:18-24Mzm. 128:1-2,3,4-5,6Ibr. 2:9-11Mrk. 10:2-16 (Mrk. 10:2-12)

11880617_464848927026400_2509629954087686902_n

Fr.Leary Nahak

Kasak-kusuk tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ada dalam hidup berumah tangga. Sekarang, isu ini membuat Gereja mengambil sikap yang bijak untuk mengatasi persoalan hidup bekeluarga. Apa solusinya: mempertahankan hidup berumahtangga dengan situasi KDRT, memaafkan yang bersalah tapi toh jatuh lagi? Inikah yang namanya sikap bijak?

Saya setiap hari Jumat merasul di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Di sana yang saya lakukan adalah dialog dan diskusi tentang kasus-kasus yang menimpa perempuan juga dalam membela kasus pekerja migran. Lalu saya ditanya soal pandangan gereja Katolik tentang KDRT oleh seorang teman yang beragama muslim. Bagaimana sikap Gereja akan hal ini, apakah ada kemungkinan bisa cerai dengan alasan bahwa KDRT yang dialami oleh seorang istri sudah 10 tahun berlangsung. Gereja memang tidak menghendaki perceraian. Sikap Gereja ini didasarkan pada perhatian khusus pada yang lemah, yakni anak. Anak sering kali menjadi korban dari perceraian. Berarti anak adalah pemersatu bagi kedua orangtuanya. Hal lain juga, pada dasarnya perkawinan adalah hidup bersama, maka suami-istri memiliki kewajiban dan hak membina hidup bersama. Kewajiban ini tidak mutlak. Hukum Gereja mengakui ada alasan legitimasi yang membebaskan suami-istri dari kewajiban hidup bersama yaitu karena zinah, ada bahaya yang serius, dan tidak tertahankan. Tentu ini menyangkut moral hidup seseorang.

Kasus semacam ini sudah lama terjadi, sejak zaman Musa. Dalam kitab Ulangan 24:1-5, dikatakan bahwa perceraian itu terjadi kerana seorang perempuan didapati tidak senonoh, laki-laki tidak cinta lagi kepadanya, atau laki-laki yang menjadi suaminya meninggal. Bila melihat secara sekilas, kita dapat menilai bahwa wanita yang selalu dipersalahkan. Dengan kata lain, keputusan untuk bercerai itu berdasarkan ‘kesenangan’ hati laki-laki. Akan tetapi, Yesus membela pernyataan Musa dengan berkata, “ Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menulisakan perintah ini untuk kamu”(Mrk. 10:5). Tegar hati bararti keras hati, keras kepala, dan tidak mau menurut. Sikap inilah yang pada zaman Musa selalu menghantui umat Israel. Dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya baik Musa maupun Tuhan tidak menghendaki laki-laki dengan semaunya menceraikan istrinya, apalagi alasan-alasan dalam perceraian itu  dikarenakan istri hanyalah ‘barang mainan’. Inilah yang ditentang oleh Yesus. Yesus mengatakan hal ini karena pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan (Mrk.10:6), karena itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (Mrk.10:7), sehingga keduanya menjadi satu daging (Mrk.10:8). Dengan kata lain kalau seorang pria yang tidak berani hidup bersama dengan istrinya, apalah gunanya menikah? Menikah pada dasarnya adalah berkomitmen untuk membangun hidup bersama. Penting juga diingat bahwa dalam membangun hidup bersama, buanglah jauh-jauh sikap tegar hati, karena tegar hati memperburuk keadaan. Untuk itulah dengan berani dalam kitab Mazmur berkata, “Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur subru, di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun di sekeliling mejamu.”

Persoalan perceraian menjadi satu paket dengan sikap Yesus yang memberkati anak-anak. Bacaan hari Minggu Biasa XXVII Sungguh sangat menarik. Hal yang menarik adalah anak-anak menjadi pahlawan bagi kedua orangtuanya. Dalam situasi tegar hati yang dialami oleh kedua orangtua mereka, anak-anak hadir membawa berkat bagi kedua orangtuanya. Namun ada hambatan bahwa orang memandang kehadiran anak-anak mereka dapat memperparah keadaan. Yesus menyikapi sikap orang yang menolak kehadiran anak-anak dengan hal sebaliknya. Ia malahan memberi kesempatan pada anak-anak untuk datang bermain bersama dia, membelai rambutnya, bercanda bersama mereka, dan memberkati mereka. “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Mrk. 10:15). Sikap Yesus  ini mau menunjukkan bahwa “sekalipun Anak Allah, Yesus merendahkan diri dengan rela menderita dan wafat demi keselamatan manusia. Dengan jalan ini, Yesus dapat membebaskan manusia dari perhambaan Iblis yang menguasai maut. Dan dengan demikian pula Yesus memimpin semua manusia kepada keselamatan, kembali kepada asal yang sama, yaitu Allah.” (Bdk Ibr 2:9-11).

Kita harus berusaha untuk kembali kepermulaan penciptaan. Bahwasannya Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, supaya laki-laki tidak hidup seorang diri dan ada penolong yang sepadan dengan dirinya. Penciptaan ini menegaskan bahwa laki-laki  dan perempuan mempunyai kedudukan yang setara. Karena itu laki-laki akan meninggalkan orangtuanya untuk hidup bersama perempuan, teman hidup dan penolongnya yang baru. Jadi tidak ada kata tegar hati karena jika demikian laki-laki merusak tulung rusuknya sendiri. Ia justru menghancurkan hidupnya sendiri. Ia justru melawan bagian dari hidupnya sendiri. Artinya ia melawan kedirinnya.

Mengakhiri renungan ini saya mau menceritakan pasangan suami-istri yang kulihat langsung ketika berumur sepuluh tahun. Ketika itu, saya melihat mereka begitu mesra, ya romantisnya serasa dunia hanya milik mereka berdua. Lalu saya bertanya pada seorang bapa yang berada disampingku, “Mengapa istrinya terus  berada disampingnya?”. “Oww,, tahukah kamu, bahwa dalam kisah penciptaan, Tuhan mengambil tulang rusuk pria untuk menciptakan wanita. Karena itu, wanita akan selalu berada samping pria idamannya, dan bukan dibelakang atau pun didepan, bukan dibawah kaki atau pun di atas kepala.”

(Fr. Leary Jan Nahak)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: