By: Fr. Adrianus Aditia Mbangga, SX
Gabriel Marcel Tentang Cinta
“Rasa itu, benar-benar sulit digambarkan. Katanya, seperti rasa langit dan bumi…seperti itulah adanya. Bahkan jika kamu merasakannya dengan seluruh panca inderamu, kamu tetap kesulitan menggambarkannya….”
Kutipan di atas merupakan sebuah penggalan teks novel yang isinya sederhana, bahwa cinta tidak mudah untuk didefinisikan. Lantas, apa itu cinta? Menurut Gabriel Marcel cinta mustahil dapat dipahami manusia. Cinta bukanlah sesuatu yang objektif, sehingga ti- dak dapat dianalisis secara ilmiah. Bagi Marcel cinta adalah misteri. Sebagai misteri cinta melibatkan secara aktif orang atau pihak yang saling mencintai. Hanya orang yang pernah terlibat dalam pengalaman mencintai dan dicintai sajalah yang bisa memahami dengan sepenuh- nya apa itu cinta. Pengalaman ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang tidak bisa dimasuki orang lain dan sifatnya eksistensial.
Saya tidak bisa mengatakan, misalnya, “Radit mencintai Aman- da, pacarnya. Akan tetapi, Radit berniat menghentikan cintanya kepada Amanda hanya untuk beberapa jam ini saja.” Pernyataan ini mustahil terjadi dalam kehidupan nyata. Alasannya, selama saya men- cintai seseorang, sepanjang waktu itulah saya tidak henti-hentinya mencintai orang itu. Kalau misalnya saya mencintai ibu saya, maka selama masih ada rasa cinta itulah saya tidak berhenti sedetik pun dalam mencintai ibu.
Karena cinta merupakan sebuah misteri, maka hanya dengan melibatkan diri ke dalamnya, kita bisa memahami misteri cinta. Itu berarti, saya harus (pernah) me- ngalami sendiri apa itu cinta dalam hidup saya. Tidak mungkin saya bisa menangkap kekayaan misteri cinta, kalau selama hidup saya sama sekali belum pernah merasakan pengalaman akan cinta.
Dengan demikian, pengalaman akan cinta menjadi prasyarat bagi kita untuk memahami misteri cinta secara benar dan dengan sepenuhnya.
Cinta Sebagai Penemuan Diri; Belajar dari Yesus Sang Guru
Aristoteles dalam bukunya Etika Nikomacheia mengungkap- kan bahwa cinta hanyalah sejati apabila tujuannya tidak demi perkembangan diri sendiri, tetapi tulus demi sahabat. Itulah dialek- tika cinta. Dalam cinta orang berani melepaskan diri demi sahabat, bahkan berani mati bagi dia. Hal ini tidak berarti kita kehilangan diri, tetapi justru dalam melepaskan diri lah kita menemukan diri.
Uraian Aristoteles di atas sepadan dengan apa yang diung- kapkan penginjil Yohanes tentang perintah supaya saling mengasihi; “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang mem- berikan nyawanya untuk sahabat- sahabatnya” (Yoh 15:13). Perintah kasih ini diterjemahkan dengan sempurna dalam kehidupan Yesus Kristus, Sang Guru. Dengan memberikan diri-Nya di salib, Yesus menunjukkan cinta yang sejati. Dalam penyerahan diri itu, Yesus melibatkan diri sepenuhnya dalam misteri cinta dan terungkaplah se- luruh pribadi Yesus Kristus. Melalui salib Yesus, kita manusia melihat betapa sempurnanya cinta Allah bagi kita.
Akhirnya, Hanya dengan menghidupi cinta, kita akan mampu mengerti misteri cinta. Dalam hal ini, pengalaman akan cinta mengajarkan kita untuk setia, sebagaimana setianya sentuhan kasih Allah dalam hidup kita sehari-hari.
Tugas kita sekarang adalah meneladani sikap hidup Yesus dengan mewujudkan cinta dalam keseharian hidup kita. Berani me- lepaskan diri bagi sesama sebagai saudara yang kita kasihi, memam- pukan kita mengerti misteri cinta. Semakin kita mencintai dengan tulus, kita harus siap untuk terluka karena semakin besar pengorbanan yang dituntut dari kita.