Dalam pengalaman saya, hal yang berbeda ini dapat dilihat baik sebagai berkat atau sebagai hal yang memperkaya satu terhadap yang lain, ataupun sebaliknya, dapat menimbulkan kesalahpahaman dan krisis iden- titas. Selama setahun tinggal di komunitas teologi internasional, saya be- lajar banyak hal dan menerima banyak hal baru dari konfrater-konfrater non-Indonesia. Misalnya, sekali sebulan kami mengadakan “serata del paese di origine” yang bisa diartikan sebagai malam atau kesempatan di mana kami memperkenalkan kekhasan dari negara asal kami. Misalnya kami dari Indonesia, pada malam tersebut harus memasak makanan khas Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan mempresentasikan salah satu hal khas Indonesia.
Tahun lalu kami, para frater Indonesia, mempresentasikan bagaimana orang Indonesia menerima Yesus Kristus, sejarahnya dan per- gulatan aktual sampai sekarang. Lalu, salah satu hal khas Indonesia yang sempat kami buat adalah memasak nasi tumpeng. Sebelum makan kami harus menjelaskan mengapa bentuknya kerucut,mengapa harus berwar- na kuning, dan lain sebagainya. Ketika tiba giliran konfrater dari Congo atau negara lain, mereka menjelaskan hal yang khas dari mereka: makanan, pakaian, adat tertentu, dll. Ketika mengikuti serata ini, saya tentu di- perkaya oleh kekhasan yang mereka presentasikan dan sekaligus kami menawarkan sesuatu yang baru kepada mereka. Jadi, perbedaan dapat sa- ling memperkaya.
Perbedaan juga dapat menimbulkan hal sebaliknya. Dalam interaksi atau komunikasi antarpersonal, perbedaan dapat menimbulkan salah paham. Hal itu muncul dengan spontan dan kadang menyangkut hal yang sangat sederhana. Salah satu penyebabnya adalah adanya absolutisme personal dan juga nasional. Ada saja teman yang selalu membanggakan diri-nya dan membanggakan negaranya. Hanya dia saja yang benar dan rasional, budaya bangsanya saja yang paling baik sementara orang lain dan budaya lain diremehkan. Menjadikan budaya asal sebagai referensi kultu- ral untuk menilai baik buruknya budaya orang lain menunjukkan ketidak- matangan diri seseorang. Jadi, masalahnya bukan terletak pada perbedaan budaya, melainkan pada orang yang menilai dan memahami budayanya sendiri dan budaya orang lain secara keliru atau secara tidak lengkap.
Kecenderungan absolutisme ini tentu saja menghambat terwujud- nya cita-cita untuk menjadikan dunia satu keluarga. Dalam kesombongan kultural, tidak ada sikap rendah hati dan tidak ada keterbukaan untuk be- lajar dari orang lain dan budaya lain. Sikap yang seharusnya dikedepankan di hadapan perbedaan ini adalah mencaritahu atau berusaha mengerti mengapa cara berpikir orang dari budaya lain, berbeda dari cara saya ber- pikir dan bertindak. Sikap ini mengembangkan kepribadian dan mem- perkaya diri karena menunjukkan keingintahuan untuk belajar dari orang lain serta budayanya.
Hal yang sama
Selain hal yang membedakan di mana dalam situasi tertentu dapat menimbulkan salah paham, ada juga hal yang sama yang dapat memper- satukan, menjembatani/melampaui salah paham, serta dapat mendamai- kan mereka yang salah paham. Hal yang sama ini merupakan hal yang sangat esensial atau fundamen, karena mendasari baik hidup personal maupun hidup bersama dalam komunitas Kristiani.
Hal yang sama itu adalah Allah yang telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus, Allah menjadi Bapa (Mat 6:7-13; 7:7-11; Luk 11:2-11) bagi semua manusia di dunia dan melalui Yesus Kristus pula semua manusia menjadi anak dari Bapa yang adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Di dalam Yesus Kristus kita semua adalah saudara satu terha- dap yang lain (Mat 23:8). Merasa sangat yakin dengan kasih Bapa yang tak bersyarat kepada semua manusia, Conforti mencari para pemuda untuk dididik dan dibentuk dalam semangat kasih Kristus yang berkobar untuk kemudian diutus guna membagikan dan memberikan kesaksian tentang kasih Bapa yang menjadi nyata dalam diri Putera-Nya. Kasih Kristus men- dorong kami (2 Kor 5:14) adalah motto formatif dan apostolis yang dipi- lih Conforti untuk hidup seorang Xaverian sekaligus menjadi pengalaman mendasar serta unsur esensial yang memungkinkan terwujudnya cita-cita luhur bapa pendiri.
Dengan demikian, kasih Kristus adalah tolok ukur utama relasi personal saya dengan para konfrater saya. Kasih Kristus adalah barometer untuk menilai perbedaan-perbedaan asal, karakter, kultural, cara berpikir yang ada pada diri setiap Xaverian dalam komunitas. Kesalahpahaman dapat diselesaikan ketika masing-masing pihak mencontohi Yesus Kristus dalam cara berpikir dan bertindak serta dalam cara mereka menilai per- bedaan budaya. Kesombongan kultural dapat diubah menjadi kerendahan hati dan penghargaan timbal balik ketika budaya kasih diutamakan.
Kongkretnya kasih Kristus memungkinkan saya, orang Indonesia, tinggal bersama atau sekomunitas dengan konfrater saya yang berasal dari Congo, Peru, Meksiko, Brasil, dll. Kasih Kristus memungkinkan saya menjadi saudara bagi mereka dan menjadikan mereka sebagai saudara saya. Ketika hal yang berbeda (asal-usul, budaya, cara pikir) dinilai dan dilihat serta dihidupi dari sudut pandang kasih Kristus, maka terciptalah persauda-raan. Terciptalah satu cita-cita, yaitu menjadikan diri saya dan menjadikan orang lain sebagai saudara saya, sebagai keluarga saya. Di dalamYesus kita bersaudara.
Aktualisasi dari Cita-Cita Conforti
Mengakhiri kisah ini saya akan mengutip 2 poin dari hasil kapitel jenderal Xaverian XVI, yang telah dilaksanakan di Tavernerio, Italia dari tanggal 15 Juni-15 Juli 2013. Kedua poin ini menurut saya dapat menun- jukkan relevansi dari cita-cita Conforti. Menjadi saudara dalam perbedaan itu sangat mungkin untuk dihidupi. Pertama, In a world where conflicts, wars and xenophobia threaten peaceful coexistence among the peoples, the evangelical witness of our international communities becomes a sign of the transforming power of the Spirit, which makes friendship and universal brotherhood possible (no.84).
Kedua, The positive effects of the international and intercultural composition of our communities are visible in the witness of evangelical fra- ternity as an effective response to the ethnic, ideological or xenophobic op- position that can be found in the contexts in which we are living, together with a greater openness and enriching comparison regarding the different visions and ways of living the charism and the mis- sion. Internationality has also encouraged to us strive more and more for acculturation in the cultural milieu in which we are inserted (no.19).
Parma, 02 Oktober 2013