“Tantangan akan kehidupan iman kita merupakan kesempatan yang baik untuk semakin menegaskan identitas kita sebagai murid Kristus yang inklusif-misioner”
Sepenggal kalimat di atas barangkali menjadi insight yang dapat saya petik dari sharing pengalaman iman seorang ibu dan keluarganya. Sharing itu disampaikan dalam kesempatan live in minggu panggilan, April 2013 yang lalu, di salah satu wilayah paroki St. Nikodemus, Cipu- tat, Tangerang. Masih segar dalam ingatan ibu itu, bagaimana pengalaman “indah” yang dialami keluarganya ketika pertama kali pindah ke Ciputat beberapa puluh tahun yang lalu.
“Frater,” demikian ibu itu mengawali sharing pengalamannya, “kami adalah keluarga Katolik pertama yang tinggal di wilayah ini. Ketika pertama kali pindah, hampir semua masyarakat di sini beragama Islam. Ada banyak tantangan yang kami hadapi dalam bulan-bulan pertama di sini. Sebagai keluarga Katolik, ada kecemasan dan ketakutan tersendiri dalam diri kami. Jangan-jangan masyarakat di sini tidak bisa menerima kehadiran kami sebagai orang yang mengimani Yesus Kristus. Tetapi benar bahwa Yesus tidak pernah membiarkan kami terlarut dalam kecemasan dan ketakutan. Beberapa tetangga kami justru sangat senang dengan ke- hadiran kami. Bahkan merekalah yang memperkenalkan kami kepada masyarakat yang lain. Ternyata Yesus telah mendahului kami di sini. Ia ha- dir dalam diri tetangga kami. Namun demikian, tidak bisa kami pungkiri bahwa ada juga tetangga yang kurang menerima kehadiran kami. Kami pernah diajak untuk pindah keyakinan. Ada yang membuang muka ke- tika bertemu di jalan, diam ketika disapa, cuek ketika diberi selamat, dan bahkan ada yang secara eksplisit menyebut kami sebagai orang kafir. Tapi, entahlah, kami tetap menganggap mereka sebagai saudara”.
Di akhir sharing, ibu itu mengungkapkan sikapnya (dan keluarga) sebagai murid Kristus dalam menanggapi tantangan yang dihadapi. Ia pun berujar, “Frater, kami melihat pengalaman yang kami alami itu se- bagai anugerah Tuhan. Pengalaman tersebut justru semakin mendorong kami untuk terus berpegang teguh pada Yesus dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Tidak sedikit pun rasa benci timbul dalam diri kami. Bahkan, dengan cara hidup kami sehari-hari, kami justru semakin terbuka untuk menerima saudara-saudari kami dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Kami semakin pro-aktif untuk terlibat dalam kegiatan bersama masyarakat dan mengunjungi rumah-rumah tetangga sekitar. Mungkin melalui pengalaman ini, Tuhan menghendaki kami untuk memperkenal- kan-Nya sebagai Allah yang penuh kasih. Itulah yang kami hayati. Dan memang, hingga kini nyaris tidak ada kesulitan yang berarti bagi kami untuk hidup berdampingan secara damai, penuh kasih, dan persaudaraan”.
Ketika sharing ibu itu selesai, saya langsung disadarkan dan seka-li- gus terdorong untuk merefleksikan realitas hidup manusia. Sulit disangkal bahwa hidup penuh persaudaraan merupakan idaman setiap pribadi ma- nusia. Kebaikan yang merupakan kenyataan eksistensial manusia, sejati- nya menjadi keutamaan dalam membangun persaudaraan yang universal. Perwujudan dari keutamaan kebaikan itu selalu atas dasar pertimbangan moral, religius, dan sosial. Kebaikan pada dirinya tidak pernah bersifat ambigu dan paradoks. Itulah mengapa dapat kita pahami bahwa kebai- kan, hidup penuh persaudaraan, perdamaian, dan cinta kasih tidak pernah diperoleh dengan membangun tembok pemisah antara yang satu dengan yang lain dan dengan mengutuk yang lain.
Membuka mata pada zaman ini, kita dapat melihat dan bahkan mengalami bagaimana persaudaraan, perdamaian, dan hidup penuh cin- ta kasih itu dirongrong dan dikaburkan oleh sikap egoisme manusia. Hal yang mudah dapat kita lihat adalah dari sudut kehidupan manusia sebagai orang yang beragama. Sekurangnya ada dua dampak bagi sikap manusia yang memeluk suatu keyakinan atau agama tertentu. Di satu pihak, dengan beragama manusia bisa menjadi semakin bersikap inklusif dan opti- mis serta dapat melihat realitas dunia secara objektif dan positif. Namun di sisi lain, dapat saja membuat manusia semakin bersikap eksklusif dan melihat realitas secara subjektif dan negatif. Fakta pluralitas seringkali dili- hat sebagai ancaman, ketimbang sebagai wadah untuk membangun per- saudaraan, perdamaian, dan cinta kasih. Hal ini bisa terjadi bagi siapa saja, dari agama apa saja. Namun demikian, sebagai orang beriman saya yakin bahwa kita semua sepakat kalau hal yang positif, baik, dan benar itu se- lalu menang atas hal-hal buruk. Pengampunan dan cinta kasih pasti selalu menang atas kebencian dan permusuhan. Kebaikan dan kebenaran bukan jalan buntu, melainkan jalan tanpa batas yang menuju kepada kehidupan. Menuju kepada kesatuan atas dasar kasih. Jalan itulah yang mesti kita lalui sebagai orang beragama dan beriman.
St. Guido Maria Conforti, pendiri Serikat Xaverian, memiliki cita- cita luhur, “Menjadikan Dunia Satu Keluarga”. Keluarga yang diidamkan St. Conforti (secara lebih luas) tentu yang melampaui sekat-sekat yang di- bangun oleh manusia. Keluarga itu dibangun atas dasar kasih. St. Conforti sadar bahwa pembangunan keluarga itu merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentikan terjadi dengan sendirinya. Ia mengguna-kan kata “menjadi”, becoming. Ini berarti kita seharusnya memposisikan diri sebagai pelaku aktif yang dengan ketulusan dan kerendahan hati terlibat penuh dalam membangun keluarga yang universal itu. Tentu saja kita se- lalu berkaca pada pribadi Yesus Kristus.
Maka dari itu, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh ibu itu dan keluarganya, kita semua dipanggil untuk melihat segala realitas dan menghadapi tantangan dengan kacamata Yesus Kristus sendiri. Kita semua adalah saudara. Cara kita bertindak mesti dapat menggambarkan identi- tas kita sebagai murid Kristus. Itulah kesaksian kita. Cara hidup kita yang inklusif-misioner jauh melebihi kecakapan kita dalam berkata-kata dan berkhotbah tentang Yesus Kristus. Kita pun selalu berharap, “alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan ru- kun.” (Mzr. 133:1).