By: Fr. Yanuarius J. Parung, SX
Ketika hendak mendirikan Serikat Xaverian, Santo Guido Conforti menyadari bahwa karakter dari para anggota yang akan hidup dalam seri- kat tersebut sangatlah kompleks. Setiap orang mempunyai watak dan ka- rakter yang berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk menyatu- kan setiap anggota yang mempunyai watak dan karakter yang berbeda itu.
Dalam rangka itu, melalui konstitusi no. 35 yang membahas tentang kehidupan bersama, Conforti menekankan akan pentingnya me- mahami serikat sebagai keluarga. Memang wacana menjadikan serikat se- bagai keluarga tidak menghilangkan dan menghapus perbedaan karakter- karakter tersebut sepenuhnya. Namun, dengan menjadikan serikat sebagai keluarga, perbedaan karakter tidak dilihat sebagai potensi terjadinya kon- flik dalam serikat, tetapi sebagai benih dari kekayaan serikat.
Dalam gambaran idealnya, keluarga menjadi tempat bagi se- seorang untuk merasakan cinta kasih. Keluarga menjadi tempat bagi sese- orang untuk tumbuh dan berkembang serta menyadari dirinya berharga di mata Tuhan dan sesama. Dalam keluarga, seseorang tidak merasa terasing dan sendiri. Kasih sayang yang dirasakan dalam keluarga menjadi kekua- tan bagi seseorang untuk menentukan arah dan langkah hidupnya untuk bergerak menuju cakrawala yang lebih luas.
Dengan mengatakan serikat sebagai keluarga, secara tersirat St. Guido Conforti mengharapkan serikat dapat menjadi wadah bagi setiap anggotanya untuk merasakan cinta kasih. Berangkat dari kasih yang dira- sakan dalam serikat, seorang misionaris bergerak menuju dunia dan menjadi saksi akan kasih Tuhan yang dirasakannya dalam serikat.
Serikat Xaverian sebagai serikat misioner mengemban misi mewartakan Kabar Gembira ke- pada orang-orang yang belum me- ngenal-Nya. Misi ini menyajikan sebuah tantangan tersendiri bagi para misionaris Xaverian karena harus berhadapan dengan kebuda- yaan yang berbeda dari kebuda- yaan asalnya. Namun, tantangan tidaklah menjadi penghalang untuk melaksanakan misi ini. Hidup pada zaman modern yang ditandai de- ngan berbagai perkembangan yang terjadi di segala bidang, menjadikan misi perwartaan Kabar Gembira ini semakin mendesak.
Ketika mendirikan Serikat Xaverian, Santo Guido Maria Con- forti mempunyai mimpi: ‘Menjadi- kan Dunia Satu Keluarga’. Mimpi ini menjadi sinergis dengan misi pewartaan Kabar Gembira dan se- bagai suatu tindak lanjut dari gaga- san serikat sebagai keluarga. Hal ini berarti bahwa dalam pewartaan Kabar Gembira, para misionaris tidak hanya me-wartakan Kristus, tetapi juga me-ngajak orang-orang untuk hidup dan bersatu dalam Kristus layaknya sebuah keluarga. Berkaitan dengan hal ini, komunitas-komunitas yang menjadi tempat tinggal para Xaverian hendaknya menjadi modeling atau gambaran dari keluarga Kristus sendiri. Cinta kasih yang dirasakan dan dihayati dalam serikat menjadi bekal dan kekuatan untuk mewujudnyatakan mimpi menjadikan dunia satu ke- luarga. Mimpi tersebut dimulai di dalam serikat itu sendiri.
Kehidupan manusia seka- rang semakin dinamis dan kompkes. Integritas tidak hanya melulu soal agama, ras, suku bangsa, tetapi juga kepentingan masing-masing pihak. Berhadapan dengan situasi ini, muncul sebuah pertanyaan: apakah mimpi untuk ‘Menjadikan Dunia Satu Keluarga’ masih rele- van? Bagaimana mewujudnyatakan mimpi itu di tengah bangsa-bangsa yang semakin majemuk? Tidak hanya itu, tantangan juga datang dari perkembangan zaman yang semakin mengarah pada individua- lisme. Pertanyaan yang sama patut diajukan: apakah mimpi ‘Menja- dikan Dunia Satu Keluarga’ masih cukup realistis?
Kenyataan ini menjadi tan- tangan tersendiri bagi para misio- naris untuk setia dan tetap ber- pegang teguh pada mimpi Santo Guido ‘Menjadikan Dunia Satu Keluarga’. Sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun, mimpi ‘Menjadikan Dunia Satu Keluarga’ masih tetap relevan dan realistis.
Lantas, bagaimana mewu- judkannya? Sikap-sikap seperti mengasihi tanpa pamrih, menolong sesama, dan menunjukkan keber- pihakan kepada orang yang lemah adalah beberapa langkah konkret untuk mewujudnyatakan mimpi ini. Maksudnya, dengan mempraktek- kan sikap ini dan menjadikan per- buatan ini bagian dari kehidupan para misionaris, perlahan ‘Mimpi Menjadikan Dunia Satu Keluarga’ perlu dimulai dengan suatu tindakan kasih yang konkretisasi- nya bisa dilakukan dalam bentuk- bentuk sederhana yang telah dita- warkan tadi.
Lebih dari itu, mengingat bahwa setiap manusia mengingin- kan hidup dalam kedamian dan dalam persaudaraan, maka mimpi Menjadikan Dunia Satu Keluarga’ sebenarnya menjadi tanggung jawab semua manusia. Dengan demikian, persoalannya bukan pada mimpinya yang terlalu besar atau terlalu ideal, tetapi apakah kita mau mewujudkannya?