Kepada siapakah kami akan pergi?
Yos. 24:1-2a,15-17,18b;Mzm. 34:2-3,16-17,18-19,20-21,22-23; Ef. 5:21-32; Yoh. 6:60-69
Saya mengawali renugan ini dengan sebuah refleksi singkat, yang menuntun saya merenungkan sabda Tuhan pada Minggu ini. Di catatan harian, saya pernah menuliskan bahwa panggilan untuk menjadi seorang imam-misionaris-religius Xaverian ini adalah sebuah pilihan. Pilihan itu tentu saja ada banyak hal yang melatarbelakanginya. Selama masa novisiat, saya dibantu oleh para formator untuk menemukan dan menyadari hal apa yang mendasari pilihan saya itu. Dalam proses pencarian itu, saya pun akhirnya memperoleh jawaban bahwa pilihan saya itu ternyata didasarkan pada sebuah pengalaman perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Tentu, bukan sebuah perjumpaan secara fisik-lahiriah, namun melalui peristiwa keseharian. Saya sungguh menyadari bahwa di sanalah Tuhan sungguh menyapa saya. Pengalaman ini menjadi kekuatan saat saya mengalami kekeringan atau krisis. Mengingat kembali pengalaman dasariah itu membuat panggilan saya kembali bersinar.
Dalam bacaan I, kita dapat melihat bagimana pilihan itu berkaitan juga dengan penglaman-pengalaman hidup. Pilihan bangsa Israel untuk hanya beribadah kepada Allah mereka itu didasarkan pada suatu pengalaman mereka bersama, baik secara personal maupun komunal/kelompok bersama Allah. Peristiwa pembebasan dari perbudakaan di tanah Mesir dibaca oleh mereka sebagai suatu karya Allah yang maha agung. Allah telah melindungi dan menyertai sepanjang hidup mereka. Refleksi atas pengalaman itulah yang melahirkan dan menumbuhkan dalam hati mereka kerinduan untuk mengabdi kepada Allah. Karena itu, kembali ke pengalaman dasariah di mana suku bangsa Israel mengalami dan menyadari campur tangan Allah dalam hidup mereka menjadi jalan untuk menemukan titik pijak yang kuat untuk mengabdi Allah.
Kembali ke pengalaman awal menjadi suatu kekuatan ketika mengalami kekeringan. Dalam injil kita mendengar ada murid-murid Yesus yang mengundurkan diri karena perkataan Yesus, yang mengatakan diri-Nya adalah roti hidup. Iman mereka tenrgoncang. Akan tetapi kita melihat figur Petrus, yang kokoh-kuat dan setia bersama Yesus. Walaupun Yesus mengatakan kepadanya, ”apakah kamu tidak mau pergi juga ?”, untuk meninggalkan-Nya, Simon Petrus sungguh menjawab dengan jawaban seorang beriman. ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Pada-Mulah sabda kehidupan kekal”. Jawaban Petrus itu menunjukaan bahwa dirinya punya relasi personal (intimacy) dengan Kristus.
Kalau melihat perjalanan kehidupan Petrus bersama Yesus, ada banyak liku-likunya. Pada pristiwa transfigurasi di gunung, Petrus mengatakan kepada Yesus, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. (Luk 9:33). Ungkapan itu merupakan perwujudan kedekatan relasi antara Yesus dan Petrus dan ekspresi kebahagiaan Petrus kerena bisa mengalami Yesus. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, Petrus justru menyangkal Yesus, gurunya. Meski demikian, toh, ia tetap mau ada bersama Yesus. Perkataan Yesus, yang menyebut diri-Nya sebagai roti hidup yang bisa memberi kehidupan kekal ternyata bagi sebagian murid-Nya menimbulkan suatu krisis iman. Lantas, mereka meninggalkan Yesus. Kenapa demikian? Mungkin saja mereka tidak punya pengalaman dasar selama ada bersama Yesus. Namun, pilihan yang mereka ambil tetap merupakan suatu panggilan. Mereka mengikuti Yesus, bukan lagi sebagai murid yang selalu ada bersama Dia, melainkan sebagai murid yang hanya sekedar mengikuti ajaran dan nasihat Yesus. Lalu, kepada Petrus, Yesus berkata,”Apakah kamu tidak mau pergi juga?”. Bagi Petrus sudah jelas bahwa Yesus telah menjadi orientasi hidupnya. Ia hanya mau menyandarkan seluruh hidupnya hanya kepada Yesus. Ini pun sebagai suatu pilihan.
Pilihan untuk selalu ada bersama Yesus bukanlah pertama-tama berkat usaha kita semata, melainkan atas kehendak Allah sendiri. Allah, melalui Roh-Nya menggerakkan hati kita untuk dengan bebas memilih ada bersama Dia atau meninggalkan Dia. Sebab, “tidak seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakan kepadanya”, kata Yesus. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa pilihan itu adalah sebuah karunia. Tentu saja setiap orang memiliki pilihannya masing-masing. Ada yang memilih menjadi imam, bruder atau suster, ada yang memilih menjadi karyawan swasta, ada yang memilih menjadi dokter, guru, dsb. Namun sebagai orang Kristiani, kita hendaknya memilih Yesus Kristus. Ini tidak berarti bahwa kalau sudah memilih Yesus, pilihan yang lain tidak diperlukan lagi. Kita memilih Yesus sebab Dialah kekuatan kita. Dialah yang memberikan kehidupan kekal kepada kita, dengan tubuh dan darah-Nya sendiri. Kita menempatkan Kristus di atas semua pilihan hidup kita agar hidup kita dijiwai dan disinari oleh cinta-Nya.
(Fr. Bonavantura Kardi, SX)