Renungan Minggu Prapaskah III

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Minggu Prapaskah III

Lukas 13:1-9

Keluaran 3:1-8a,13-15

IKor. 10:1-6

 

Pertobatan dan Belas Kasih Allah

 

Kenyataan saat ini

Akhir-akhir ini kita sering banyak memperoleh informasi dari media massa mengenai para imigran dari negara Timur Tengah yang menjadi akibat dari peperangan yang tak kunjung damai. Kita tahu banyak dari antara mereka yang meninggal , baik anak-anak maupun orang dewasa, selama perjalanan mereka menuju negeri impian. Tak kala terkenalnya juga masalah kekejaman ISIS yang telah menewaskan begitu banyak manusia di dunia, khususnya di daerah Timur Tengah juga.

Kalau kita memosisikan diri sebagai imigran ataupun korban dari kekejaman ISIS, mungkin bertanya, Tuhan, kenapa peristiwa/malapetaka ini menimpa diri kami? Kenapa bukan yang lain saja? Apa salah kami, Tuhan? Di hadapan penderitaan manusia memang lebih cenderung untuk cepat-cepat lari kepada Allah dan mengeluh kepada-Nya. Allah seolah-oleh menjadi sumber dari segala persoalan di dunia. Itulah sikap manusia. Ketika ia tak sanggup lagi menghadapinya atau berada di luar kekuatannya, ia langsung mencari Allah.

 

Ulasan Injil dan Refleksi

Dalam Injil (Lukas 13:1-9) yang kita renungkan pada Minggu Prapaskah III digambarkan bagaimana orang-orang memandang penderitaan itu sebagai akibat dari perbuatan dosa manusia. Penderitaan yang dialami oleh beberapa orang Galilea (bdk. Luk.13:2) yang menghantar mereka kepada kematian bukan merupakan efek dari dosa. “…sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu…”(Luk. 13:14-15). Orang-orang yang datang kepada Yesus (bdk. Luk 13:1) memiliki pemahaman bahwa kematian itu merupakan akibat langsung dari dosa. Apakah kematian dan penderitaan itu hanya dialami oleh orang jahat? Bukankah kematian dan penderitaan dialami oleh semua manusia sebagai suatu siklus hidupnya? Kutipan di atas justru mau menegaskan hal ini bahwa orang-orang yang mengalami penderitaan itu tidak disebabkan oleh karena mereka berdosa atau tidak, kesalahannya besar atau tidak, orang baik atau orang jahat. Di balik itu, Yesus juga secara tidak langsung mau menegaskan bahwa penderitaan itu bukan berasal dari Bapa-Nya. Allah tentu saja juga tidak menghendaki agar umat-Nya menderita. Allah hanya menghendaki agar manusia bertobat dan selamat. Ia mengecam mereka yang tidak mau bertobat, “…jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”

Yesus Kristus menderita karena manusia tidak punya perasaan malu. Manusia selalu jatuh, jatuh dan jatuh lagi dalam lubang dosa. Kendati demikian, Allah tak pernah menghukum manusia. Sebaliknya, Ia selalu memberikan ruang dan kesempatan bagi manusia untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Ia memberi kesempatan kepada manusia untuk berbuah dan mengubah diri. Sebab, jikalau tidak demikian, untuk apalah dia hidup. Pohon anggur yang tidak berbuah, sebagaimana yang dikisahkan dalam Injil hari ini melambangkan diri kita. Tuan kebun anggur tidak langsung menebang pohon-pohon anggur yang tidak berbuah itu, namun masih diberi kesempatan untuk berbuah (bdk. Luk. 13:8). Agar pohon anggur itu berbuah, maka para pengurusnya harus merawat, mencangkul tanah di sekelilingnya dan juga memberi pupuk.  Manusia pun demikian halnya. Kalau mau berbuah ia harus bertobat. Pertobatan itu memang perlu suatu pengorbanan, seperti halnya pohon yang rela mengalami “derita” karena ada yang mesti dipangkas dari dirinya supaya ia dapat berbuah.

 Manusia tidak akan mengalami indahnya kehidupan dan besarnya cinta Bapa kalau manusia tidak mau bertobat. Pertobatan bagi kita orang Kristiani adalah mutlak. Allah kita adalah Allah yang berbelas kasih. Allah tidak membiarkan kita menderita. Kita menderita karena kalau kita selalu menyimpang dari jalan-Nya. Ia tidak pernah mengingat kesalahan kita. Dengan  kita menyadari bahwa kerahiman Allah itu memerdekakan kita (Tema APP KAJ 2016) dan membebaskan kita, seharusnya kita dengan cepat mengambil langkah untuk bertobat. Sebab, pertobatan itu mesti lahir dari suatu sikap batin yang bebas alias tanpa tekanan apa pun. Pertobatan kita harus mampu berbuah dalam kehidupan harian kita. Pertobatan itu mesti juga disertai dengan suatu perubahan dalam sikap hidup.

 

 

Bonaventura Kardi

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: