Salib Sebagai locus Revelasi Kasih Allah
Yes 50:4-7, Fil 2:6-11, Luk 23:1-49
Dalam pengalaman sehari-hari, kita tak jarang menjumpai pribadi-pribadi yang kerap tidak setia entah pada tugas, maupun pada panggilan hidup yang ia jalani. Dalam waktu sekejap saja, orang bisa berubah-ubah pikiran dan sikapnya. Pengalaman orang-orang seperti ini sudah ada sejak zaman Yesus. Pengalaman orang-orang Yahudi dalam Injil pada hari ini memperlihatkan kecenderungan dasariah manusia untuk tidak setia. Hal ini tampak secara gamblang ketika orang-orang Yahudi bersuara keras memuji Yesus di Gerbang Yerusalem ketika Yesus masuk ke Yerusalem. Mereka menyambut kehadiran Yesus dengan sorakan penuh kegembiraan sambil melambaikan tangan. Namun tidak lama berselang, orang-orang Yahudi itu tidak membela Yesus ketika Dia dihadapkan ke Pilatus untuk diadili. Bahkan besar kemungkinan bahwa orang-orang yang tadinya bersukacita oleh karena kedatangan Kristus malah ikut menyorakan Yesus untuk disalibkan. Mereka lebih memilih kematian, dengan meneriakkan pembebasan Barabas seorang pembunuh dan pemberontak, daripada Sang Kehidupan.
Pengalaman orang-orang Yahudi yang tidak setia kepada Allah juga merupakan gambaran perjalanan iman kita pada Allah yang dapat kita lihat dari buah-buahnya. Ada kalanya kita merasa menggebu-gebu menjalankan kehendak Allah, namun ada kalanya juga kita kehilagan daya Roh Kudus untuk berbuat baik sehingga jatuh dalam hal-hal yang bertentangan dengan Kehendak-Nya. Dinamika seperti itulah yang membuat perjalanan iman manusia menjadi dinamis dalam hal penghayatannya.
Dihadapan penghayatan iman yang dinamis itu rasanya mustahil bagi manusia untuk memperoleh keselamatan dari Allah. Manusia yang rapuh menjadi menjadi alasalan bagi Allah untuk memikirkan jalan lain agar manusia yang Ia kasihi itu tetap bisa merasakan keselamatan dari Allah. Maka Allah memilih jalan kesetiaan. Allah memilih untuk tetap setia kepada rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia sehingga Dia berani mengosongkan diri-Nya (Fil 2:7) bahkan harus mengorbankan Diri mati di salib demi manusia. Di sinilah letak kebenaran kasih setia Allah pada manusia. Benarlah yang dikatakan Jürgen Moltmann bahwa salib merupakan locus (tempat) revelasi Allah. Dan di sana Ia menyatakan Diri-Nya sebagai Yang Mahakasih. Kasih yang memberikan diri bagi yang lain. Sehingga bagi kita salib merupakan sebuah dialektika radikal akan kasih Allah yang mendalam terhadap manusia.
Keselamatan bagi manusia merupakan rahmat belaka dari Allah. Ketika manusia melakukan dosa pun Allah sudah mengampuni manusia pada saat itu juga. Hal ini terlihat jelas ketika Yesus mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya (Luk 23:34). Sehingga bagi kepala pasukan yang terlambat menyadari kebesaran Allah dalam diri Yesus serta bagi mereka yang pulang sambil memukul-mukul diri sendiri sebagai tanda penyesalan atas apa yang mereka buat terhadap Yesus (Luk 23:47-48), Yesus yang tersalib merupakan keselamatan bagi mereka; meskipun penyesalan yang mereka alami datangnya terlambat. Dengan demikian, sesungguhnya mereka pulang sebagai anak-anak yang sudah dimerdekakan oleh tindakan pengorbanan diri Yesus di atas salib. Tindakan patriotisme Yesus yang Ia tunjukkan lewat pemberian diri (nyawa) demi menebus ketidaksetiaan manusia inilah yang bagi santo GUido Conforti merupakan tindakan kebesaran Allah. Sehingga santo Guido Conforti mengatakan bahwa Yesus merupakan pribadi terbesar yang pernah ditampilkan sejarah kehidupan manusia.
Fr. Onci Natan