“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaan itu.”( Luk. 12 : 20 )
Saya mengawali renungan ini dengan sebuah kisah. Suatu ketika, saya live in di suatu kampung. Rumah yang saya tinggal bertetangga dengan rumah seorang ibu, yang suaminya merantau. Ibu itu tinggal bersama dengan kedua buah hatinya. Bersyukur karena suami ibu itu mendapat pekerjaan yang baik sehingga setiap bulan selalu mengirim uang untuk kebutuhan mereka. Anehnya, meskipun selalu dikirim uang, mereka tetap hidup apa adanya. Bahkan terkadang mereka makan tanpa ada lauk. Sebab uang yang diterimanya, sebagian besar di simpan di Bank. Ibu itu mempunyai suatu mimpi yang besar yakni menabung sebanyaknya supaya suatu saat nanti bisa mempunyai mobil dan harta benda yang lainnya. Ia juga ingin agar dikenal di masyarakat sebagai orang paling terkaya. Suatu hari, ada tetangganya yang datang ke rumahnya. Oleh karena sangat mendesak, tetangga itu ingin meminjam uang untuk membayar uang sekolah anaknya. Sayangnya, ibu yang kaya itu tidak ingin agar uang yang ada di Bank itu berkurang sedikit pun sehingga ia selalu mengatakan “,,,saya belum ada uang. Bulan ini suami saya belum kirim.” Tidak hanya tetangga itu yang tidak mau dibantu, tetapi saudara-saudara kandung saja pun tidak di-pedulikan oleh ibu itu. Inilah sikap ibu yang kaya itu pasti saja selalu ada alasan untuk tidak mau menolong orang lain. Anaknya yang pertama pun diarahkan olehnya untuk tidak menyelesaikan sekolah, lebih baik pergi bekerja supaya tabungan ibu semakin banyak.
Berbeda dengan sebuah keluarga yang lainnya di suatu tempat yang pernah saya jumpai. Keluarga ini, baik suami maupun istri, memiliki pekerjaan yang cukup baik. Mereka cukup bermurah hati untuk menolong siapa saja yang membutuhkan, bahkan menjadi donatur bagi panti asuhan di sekitar. Meskipun bantuan mereka tidak terlalu besar, mereka tetap berusaha untuk bermurah hati. Ketika saya berbincang-bincang dengan keluarga itu, ada satu kalimat yang menarik, yang dikatakan mereka, yakni “ kami memberi bukan dari sesuatu yang lebih dari kami tetapi dari kekurangan kami.
Ketika saya merenungkan kedua tokoh dalam kisah ini, saya justru lebih banyak bertanya dalam hati mengenai ibu kaya yang kikir itu. Apakah ibu itu tidak memikirkan bahwa umur manusia itu tujuh puluh tahun, jika kuat delapan puluh tahun (Mzr.90:10)? Nanti kalau ia meninggal, Apakah kekayaannya akan besertanya?
Saudari/i yang terkasih dalam Kristus Tuhan, hari ini Yesus menceritakan suatu perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh, yang berpikir bahwa banyaknya harta itu dapat menjamin hidupnya. Seluruh hidupnya seolah-olah hanya tergantung pada kekayaan duniawi yang dimiliki. Tampak jelas bahwa orang ini masih termasuk pribadi yang keliru dalam memandang dan menggunakan harta benda. Ia menggunakan harta benda hanya untuk dirinya sendiri dan menyangka bahwa harta benda itu yang dapat menjamin seluruh hidupnya. Ia lupa bahwa sang pemilik jiwa adalah Allah sendiri dan saat meninggal, ia harus meninggalkan semua kekayaan itu. Melalui bacaan Injil hari ini, Yesus ingin menunjukkan kepada kita sebuah realita kehidupan manusia yang terjadi saat itu dan juga masih aktual sampai zaman sekarang ini. Saya berpikir kita semua dapat menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari pada zaman sekarang ini bahwa orang berlomba-lomba untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyaknya dan merasa itulah yang utama. Hari minggu saja, yang sebenarnya hari untuk Tuhan, dapat dijadikan sebagai hari untuk “lembur”. Dan lebih memprihatinkan lagi, orang memunculkan berbagai macam cara yang tidak baik yang di gunakan maksud itu. Misalnya korupsi, pencatutan nama, pengedar obat terlarang dan sebagainya. Dalam hal ini, bukan saja suatu kebodohan yang terjadi namun juga kesia-siaan hidup. Contoh seorang pengedar obat terlarang, kalau ditangkap ia akan dipenjarakan bertahun-tahun bahkan bisa dihukum mati, seperti beberapa kasus yang telah terjadi di negeri kita tercinta ini. Jika kita lihat secara serius, ternyata di sekitar kita tidak sedikit orang yang hidupnya hancur karena situasi ini. Relasi persaudaraan, persahabatan, juga menjadi hancur berantakan karena adanya persaingan yang kurang sehat.
Apakah ini berarti Yesus menghendaki kita untuk tidak menaruh perhatian pada harta benda? Selama masih berziarah di dunia ini, baik itu kaum awam maupun biarawan/i, semuanya memerlukan uang untuk memenuhi keperluan hidupnya. Uang untuk menjaga kesehatan, membeli kebutuhan ini atau itu dan sebagainya. Jadi, tidaklah salah kalau orang harus bekerja keras untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Yesus ingin mengajarkan kepada kita melalui Injil hari ini agar kita tidak dikuasai oleh harta kekayaan yang akhirnya membuat kita menjadi kikir dan menomorduakan Allah. Hendaknya harta benda itu kita gunakan sebagai suatu sarana dan bukan menjadi tujuan utama hidup. Harta itu menjadi sarana untuk mengasihi Allah yang hadir dalam diri sesama. Kita ingat sabda Tuhan “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku,”(Mat.25:40). Sebab segala sesuatu yang kita terima di dunia ini sesungguhnya berasal dari Allah dan hendaknya dapat kita mensyukurinya serta mempersembahkan pula kepada-Nya (Bdk. Mzr.24). Dengan demikian, kita dapat menjadi kaya di hadapan Allah dalam mempergunakan harta untuk melayani Allah. Sebab kekayaan yang sesungguhnya tidak dihitung berdasarkan berapa banyak harta yang dikumpulkan dan yang dinikmati sendiri, tetapi berapa banyak harta yang digunakan untuk melakukan kehendak Allah. Jangan sampai kita disebut sebagai pendusta seperti yang tertulis dalam surat pertama Yohanes: “,,,barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. ( bdk.1Yoh.4: 20)”. Maka inilah saatnya bagi kita, para pengikut Yesus untuk bertindak mulai dari diri kita sendiri. Hendaknya kita berani keluar dari situasi yang hanya mengejar kekayaan dan menjauh dari Tuhan.
Marilah kita melihat ke kadalaman hati kita, bagaimana sikap kita terhadap harta duniawi? Apakah kita masih cenderung menomorduakan Allah dalam hidup kita?
FR. YEDRIANUS MALI ‘SX