Menjadi Saksi Kristus di ‘Padang Gurun’
Yes 61:1-2a;10-11 | 1 Tes 5:16-24 | Yoh: 1:6-8;19-28
Lagi-lagi kita dihadapkan dengan tokoh Yohanes Pembabtis, sosok yang membuka jalan bagi kedatangan Allah di dunia ini. Rupanya sosok satu ini memiliki kekayaan yang tak pernah habis untuk digali.Dalam renungan kali ini, saya mau mengangkat dua aspek dari kehidupan Yohanes Pembabtis yang dapat dijadikan pedoman bagi kita semua dalam mengisi masa adven ini. Dua aspek yang cukup penting, terutama untuk menyadari identitas kita sebagai murid-murid Kristus. Yang pertama menarik untuk dilihat bahwa penginjil Yohanes memperkenalkan Yohanes Pembabtis sebagai saksi cahaya. Yohanes sendiri tidak memiliki cahaya atau tepatnya bukanlah cahaya. Kita tahu cahaya itu sendiri adalah Yesus Kristus.
Mungkin sedikit mendekati kebenaran kalau kita menganalogikan Yohanes Pembabtis sebagai bulan. Seperti yang kita ketahui bahwa bulan tidak mempunyai cahayanya sendiri. Dia hanya memantulkan cahaya dari matahari, sebagai sumber cahaya. Meskipun sekedar memantulkan cahaya dari matahari, namun cahaya pantulan itu sangat bermanfaat di tengah gelapnya malam hari. Demikian juga Yohanes Pembabtis yang memantulkan Yesus Kristus kepada semua orang.
Penggambaran diri Yohanes Pembabtis sebagai saksi cahaya mengingatkan kita akan kodrat kita sebagai nabi atas dasar babtisan yang kita terima. Sama seperti Yohanes, kita juga dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia sekarang ini. Menjadi saksi Kristus di dalam tugas dan kehidupan harian kita masing-masing.
Hal kedua yang menarik untuk kita lihat bersama adalah pengidentifikasian diri Yohanes Pembabtis. Ketika para utusan dari orang-orang Yahudi itu menanyakan kepadanya akan siapakah dia, Yohanes memberikan sebuah jawaban yang menarik. Dia menjawab dengan mengatakan bahwa “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun…” (ayat 23). Mungkin sebagian dari kita akan beranggapan bahwa berseru-seru di padang gurung untuk memberikan kesaksian tentang Yesus merupakan sesuatu yang sia-sia. Pekerjaan itu tidaklah masuk akal, kalau kita melihat dari kaca mata sekarang ini. Kita dapat membayangkan situasi di padang gurun: di mana-mana hanya ada padang pasir yang luas, gersang, mungkin beberapa ditumbuhi pepohonan, panas terik, sepi tak ada orang, dan hampir pasti tidak ada harapan untuk hidup. Mengapa tidak memilih bersaksi di tengah-tengah kampung atau kota yang paling tidak ada orangnya. Bukankah lebih efektif dan efisien kalau kita bersaksi di tengah perkampungan atau perkotaan dari pada di tengah padang gurun?
Sah-sah saja kita berpikir seperti itu. Kalau kita mendalami lebih jauh, ideologi dibalik cara berpikir seperti itu adalah ‘ideologi marketing’, yang dilihat hanyalah untung dan ruginya saja. Cara pikir seperti itu bukanlah cara pikir seorang murid Kristus yang dipanggil untuk menjadi saksi-Nya.
Dari pribadi Yohanes kita menjadi tahu bahwa menjadi saksi Kristus mesti berani untuk memberikan kesaksian di tempat-tempat yang jauh, di pinggiran, yang tidak kemungkinan akan penerimaan Kristus di sana. Di tempat yang kasat mata tidak ada kemungkinan bertumbuhnya iman. Singkatnya kita mesti berani untuk bersaksi di ‘padang gurun’ yang gersang itu. Hal ini tentunya mengingatkan kita akan seruan dari Paus Fransiskus, dalam seruan apostoliknya, untuk melayani dunia ini yang dianggapnya sama seperti padang gurun, dimana ada sikap skeptisme, individualisme narsis, sinisme terhadap Gereja dan iman. Kepada dunia inilah kita diutus, dunia yang di sana-sini ditandai oleh kemerosotan moral, untuk tetap lantang mewartakan Kristus.
Siapkah kita menerima tantangan ini? Semoga!
(Fr. Onci Natan, SX)