Biara di Lembah
Sebelum seorang pastor memimpin Ekaristi, dirinya harus melalui sebuah proses formasi yang panjang, berliku, dan tak menentu. Proses itu berlangsung bertahun-tahun dalam keseharian yang seakan tak berkesudahan. Melalui proses itulah, anak lelaki badung berubah menjadi pria dewasa, kemudian pastor yang berwibawa. Semua pastor mengalaminya dan pasti bersyukur karenanya.Dalam tahap formasi Serikat Xaverian provinsi Indonesia, terdapat tahun introduksi bernama pra-novisiat. Formandi dalam tahap ini mempunyai tujuan untuk mengenal. Pranovis diajak mengenal Tuhan yang hanya bisa dilakukan setelah mengenal diri dan perlahan mengenal konggregasi. Formasi ini berlatar di sebuah biara di Bintaro. Ini adalah kisahku selama enam bulan dalam alur formasi.Aku tidak menyangka akan berada di biara ini dan aku bersyukur. Enam bulan sudah terlewati dan semua itu tidak terasa. Kubuka jurnal yang kuisi setiap hari. Kembali kunikmati pengalaman dan perasaan dalamnya. Baik pengalaman kemarin maupun 180 hari yang lalu, semua masih terasa segar.Aku senang menyebut biara ini sebagai lembah. Setiap Kamis kami harus mendaki bukit untuk mengikuti perayaan Ekaristi di paroki. Rasanya aku seperti tinggal di lembah. Bagiku, kata lembah menggambarkan rumah sekaligus perjalanan. Aku senang membayangkan rumah dan desa di sebuah lembah dengan latar belakang pegunungan dan perbukitan di sekitarnya. Rasanya damai. Pemazmur juga menggambarkan lembah sebagai jalan yang harus ditempuh. Demikianlah diriku selama enam bulan ini: Tinggal sekaligus berjalan dalam formasi.
Banyak hal yang kudapat di lembah ini. Visiku yang salah tentang berbagai budaya diluruskan. Aku pun mendapat pengenalan dengan budaya-budaya yang baru. Rasanya, kalau aku tidak masuk Xaverian, aku tidak akan tahu ada tempat bernama Mentawai di Indonesia ini. Tak hanya mengenal, aku juga banyak belajar dari mereka. Aku belajar untuk menjadi orang yang terus terang dari orang Batak. Aku belajar untuk menjadi orang yang totalitas dan bekerja keras dari orang Flores dan Timor. Aku belajar untuk menjadi orang yang sopan dan lemah lembut dari orang Jawa. Aku belajar untuk menjadi orang yang kreatif dan terbuka pada hal baru dari orang Mentawai. Dari semua itu, budaya Xaverian-lah yang paling berkesan bagiku.
Dalam komunitas ini, aku merasakan wujud dari “Menjadikan dunia satu keluarga.” Perjumpaan dengan konfrater dari berbagai belahan dunia membuatku melihat dan merasakan secara langsung bagaimana orang-orang dengan kebudayaan yang berbeda tetap dapat bercengkerama tanpa ada batasan. Perbedaan justru memberi warna pada kebersamaan sehingga terlihat lebih indah. Melalui hal ini, aku benar-benar merasakan suasana kekeluargaan.
Motto “In Omnibus Christus” memberi makna pada perjalananku. Dengan bantuan refleksi, selama enam bulan ini, aku sering berjumpa dengan Yesus. Aku berjumpa dengan Yesus dalam keseharian. Aku berjumpa dengan Yesus dalam diri anak-anak yang kulayani saat kerasulan. Aku berjumpa dengan Yesus dalam peregrinasi. Aku berjumpa dengan Yesus dalam acara khas Xaverian seperti pesta Conforti dan Fransiskus Xaverius. Aku berjumpa dengan Yesus dalam diri para konfrater yang berdinamika bersama denganku. Aku berjumpa dengan Yesus dalam diri para konfrater yang singgah dan berbagi. Aku berjumpa dengan Yesus dalam suka dan duka formasi. Refleksi membantuku untuk berjumpa dengan Yesus sekaligus menjadikan semua yang berlalu tidaklah sia-sia.
Enam bulan sudah berlalu dan perjalanan masih panjang. Segala yang telah kudapat menjadi bekal bagiku untuk berjalan. Setelah berjalan selama enam bulan ini, aku sadar, Tuhan selalu besertaku. Proses formasiku masih panjang dan tidak berkesudahan. Aku pun yakin, Tuhan akan selalu besertaku dalam proses formasiku sampai selamanya. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” (Mzm 23:4)
Bernardus Bimo – Frater Pranovisiat Xaverian