“Dengarkanlah Aku dan camkanlah ini! Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia! Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia!”(Markus 7: 14-15)
Dari kutipan di atas, kita bisa melihat sikap tegas Yesus yang ingin mengungkapkan suatu kebenaran, terutama sikap otentik sebagai seorang yang beriman kepada-Nya. Ada pemahaman yang lebih mendalam diberikan Yesus mengenai makna dari kata “najis”. Ada beberapa contoh najis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya dijilat anjing dan menyentuh hal-hal yang kotor. Akan tetapi, menurut Yesus hal-hal itu tidaklah menimbulkan kenajisan.
Dengan tegas Yesus mengatakan bahwa yang dapat menajiskan seseorang adalah perbuatan jahat yang berasal dari hati yang jahat. Perbuatan percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kebebalan menyebabkan kenajisan. Dengan kata lain, apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia.
Di masa pandemi ini, cuci tangan menjadi hal yang wajib kita lakukan apalagi setelah pulang dari luar seperti pasar, kantor, sekolah dll. Membersihkan diri sangat berguna untuk menghindarkan kita dari serangan covid. Tindakan ini tentunya adalah suatu hal baik yang baik. Merawat diri atau menghindarkan diri dari suatu penyakit adalah suatu yang baik dan patut kita pertahankan.
Yang ingin dikritik Yesus adalah tindakan orang Farisi dan beberapa ahli taurat yang mengabaikan perintah Allah untuk berpegang pada adat istiadat manusia. Mereka berpegang teguh pada adat istiadat nenek moyang mereka. Di dalam Injil dijelaskan bahwa mereka tidak makan tanpa membasuh tangan terlebih dahulu. Masih banyak lagi warisan lain yang mereka pegang seperti hal mencuci cawan, kendi, dan perkakas tembaga.
Orang Farisi dan beberapa ahli taurat yang terlalu berpegang teguh pada adat istiadat nenek moyang membuat mereka menjadi pribadi yang menghakimi dan mengabaikan perintah Allah. Mereka mempersoalkan tindakan murid Yesus yang tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang mereka. Mereka lebih menaati perintah manusia dari pada perintah Allah, yaitu saling mengasihi.
Orang Farisi dan beberapa ahli taurat hanya berfokus pada kebersihan luar dirinya, namun lupan membersikan bagian dalam diri, yaitu hati. Dalam Injil, Yesus ingin kita semua pertama-tama membersihkan hati kita dari sikap-sikap negatif seperti yang telah disampaikan oleh Yesus dalam Injil. Sikap negatif yang keluar dari hati kitalah yang membuat kita najis. Kita diajak untuk lebih mengutamakan ajaran kasih Kristus dari pada sibuk dengan ritus-ritus ibadat yang amat sepele.
“Jangan biarkan Yesus Kristus ada di bibirmu dan dunia dalam hatimu”, St. Ignatius dari Antiokhia. Seperti orang Farisi dan beberapa Ahli taurat, kita juga sering memuliakan Allah hanya sampai pada sebuah kata-kata indah dan mengeluarkan rasa benci dari hati yang ingin menghakimi perbuatan orang lain. Pada kesempatan ini kita perlu melihat kembali sejauh mana sikap keotentikan iman kita kepada Allah. Apakah kita sudah memuliakan Allah dengan perbuatan yang berasal dari hati yang baik? Atau malahan kita hanya berfokus untuk menghakimi orang lain dari pada terus-menerus memperbaiki diri dan melakukan perintah Allah, mengasihi semua orang dengan tulus hati?