Yosua, sebagai pemimpin Bangsa Israel, penerus Musa, memberikan kebebasan bagi Bangsa Israel untuk memilih Allah mana yang mereka ikuti, apakah Tuhan Allah yang selama ini membimbing mereka keluar dari Mesir ataukah kepada Allah-Allah lain. Demikian pula dapat kita lihat dalam Bacaan Injil bagaimana Yesus pun memberikan kebebasan kepada para pengikut-Nya untuk tetap mengikuti Dia atau pergi meninggalkan Dia.
Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah Tuhan kita senantiasa memberikan kepada manusia, kebebasan yang besar untuk memilih. Kebebasan ini dimaksudkan agar kita memiliki kesempatan untuk menunjukkan cinta kita kepada-Nya. Sebab seperti bagaimana banyak kisah perjodohan mengajarkan kepada kita, cinta sejati adalah cinta yang bebas dan tanpa paksaan. Atas cinta Allah kepada kita, kita diciptakan tidak seperti robot yang tanpa perasaan dan tanpa kebebasan. Sebuah robot mungkin akan selalu melakukan pekerjaannya dengan baik sebab telah diprogram sedemikian rupa namun tidak akan pernah memiliki cinta kepada manusia yang menciptakannya. Demikian pula Allah tidak menginginkan kita menjadi robot yang hanya taat kepada Dia tanpa dilandasi oleh cinta.
Kebebasan ini memang seringkali disalahgunakan. Banyak orang yang dalam kebebasannya justru menjauh dari Tuhan, Allah yang benar, dan memilih Allah-Allah lain yang membuat kita senang. Terkadang, seperti seorang anak kecil, kita bersungut-sungut ketika diberi makan sayuran yang sehat karena terasa pahit. Demikianlah murid-murid Yesus dalam bacaan Injil bersungut-sungut atas Tubuh Kristus sendiri, Sang Roti Hidup, Sabda-Nya, yang dikatakan mereka sebagai ‘perkataan yang keras’. Sama seperti kita pun seringkali menolak firman Tuhan yang berat dan memilih melakukan yang kita senangi saja.
Kita selalu dapat memilih, apakah pada hari Minggu kita ingin pergi Misa atau main game di kamar. Kita selalu dapat memilih, apakah di tengah situasi pandemi yang sulit ini, kita akan membantu saudara-saudara kita yang kesulitan atau hanya berdiam diri saja dan takut mengulurkan tangan kita karena takut virus. Semoga kita berani untuk menerima Sabda-Nya yang membebaskan dan sama seperti Petrus mengatakan, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”.