15 Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. 16 Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. 17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” 18 Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? 19 Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. 20 Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?”21 Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”22 Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.
***
Bacaan Injil pada hari ini sudah sering kita dengar dan renungkan bersama, terutama dibacakan sebagai bacaan votif perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ayat utama yang diambil juga sama: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat. 22:21) Gambar Kaisar menjadi satu refleksi bagi umat Yahudi yang mengalami penjajahan untuk tetap membayar pajak sesuai dengan kewajibannya. Sebenarnya, Yesus secara eksplisit tidak menjawab pertanyaan orang-orang suruhan Farisi. Yesus hanya menegaskan kewajiban warga negara yang taat dengan pimpinan. Lantas, ada satu hal yang tidak ditanyakan orang-orang Farisi, namun dijawab sekaligus oleh Yesus sebagai nilai Injili yang baru: “…dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat. 22:21b) Apa yang wajib bagi Yesus untuk diberikan kepada Allah? Untuk menjawab ini, maka pertanyaan baru boleh kita tawarkan bersama: Gambar Allah yang mana perlu kita berikan kepada sesama?
Saya memiliki pengalaman mengenai gambar Allah ini. Suatu ketika, saya melaksanakan karya kerasulan di Sekolah Dasar (SD) Bintang Timur, Sunter. Tema pembelajaran pada saat itu adalah “Aku dan Allah yang Menciptakanku”. Kepada anak-anak kelas VI, saya menawarkan tugas sederhana kepada mereka: menggambar wajah Allah! Lantas, reaksi mereka cukup unik, yaitu ada yang kaget, ada yang langsung menggambar, dan juga ada yang masih meraba-raba bagaimana wajah Tuhan itu. Singkat cerita, ada yang menggambar Allah seperti hantu ataupun malaikat. Adapula yang tidak menggambar karena masih bingung. Saya akhirnya mengajak mereka untuk diam dan menutup mata sejenak sambil membayangkan wajah Allah. Lalu, saya mengambil cermin dan menaruh di depan kelas. Saya memanggil mereka satu per satu, lalu menyuruh anak tersebut membuka matanya. Dorr! Mereka kaget, senyum-senyum sendiri dan akhirnya ada meminta untuk menggambar ulang. Setelah semua dapat kesempatan untuk melihat dirinya dalam cermin, saya mengajak mereka menggambar ulang wajah Allah dan menukar satu sama lain. Intinya, mereka melihat wajah Allah dalam diri sesama.
Belajar dari pengalaman sederhana ini, saya merefleksikan bahwa Gambar Allah sepenuhnya adalah manusia itu sendiri, ciptaan-Nya yang paling agung dan mulia. Memberikan diri kepada Allah dengan cara menjalin relasi dengan manusia lain sebagai satu ikatan kasih. Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, sabda Yesus, menjadi satu bayaran yang diwajibkan bagi manusia untuk tahu siapa Allah mereka. Allah adalah Kasih, maka mencintai Allah adalah wajib seperti kita mencintai sesama dengan cinta yang tak terbatas. Wajah Allah ini tentunya menjadi perhatian kita di kala pandemi COVID-19 dan problem-problem lainnya yang terjadi di Indonesia. Ketegangan antar manusia dan perjuangan untuk kembali kepada situasi yang normal sungguh menjadi tantangan tersendiri dalam mengupayakan semangat cinta kasih. Rasa solider dengan sesama dengan karya karitatif dan berdoa secara khusus kepada mereka yang berjuang dalam situasi sulit ini menjadi satu langkah pasti untuk mencintai sesama. Bukan hal yang mudah, namun terlihat sederhana sebenarnya. Memberi kesempatan kepada sesama manusia untuk hidup adalah memberi kesempatan bagi diri kita untuk diberkati oleh Allah. Kita mohon rahmat dari Roh Kudus agar sampai kepada kesempurnaan cinta kasih ini!