“Aku tidak berlaku tidak adil terhadapmu. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?”
Gaji/upah di dalam dunia pekerjaan adalah sesuatu yang sifatnya confidential, tidak boleh diceritakan kepada pekerja lain. Alasannya adalah karena sesuatu yang persis dengan yang ada dalam bacaan injil hari ini yaitu bahwa masing-masing karyawan telah memiliki kesepakatan sendiri mengenai gaji yang akan diberikan sebelum menandatangani kontrak kerja. Maka dapat terjadi bahwa gaji karyawan yang sepekerjaan dengan kita akan berbeda besarnya.
Upah yang confidential ini jarang sekali kemudian menyebabkan permasalahan. Akan tetapi, di era sekarang ini ada masalah yang lebih besar namun tidak disadari yaitu media sosial. Media sosial sekarang ini jadi ajang memamerkan kebahagiaan hidup masing-masing. Kehidupan kita, yang seharusnya justru lebih bersifat confidential malah dipamerkan tanpa batasan di media sosial. Hal ini akan menimbulkan masalah iri hati yang jauh lebih besar dari gaji. Apalagi melalui media sosial, kita hanya melihat bagian senangnya, upahnya. Kita tidak dapat melihat kesulitannya, kinerjanya.
Hal ini menimbulkan sungut-sungut bahkan sampai pada depresi. Ketika melihat keberhasilan orang lain dan membandingkannya dengan diri sendiri dengan kegagalannya, bisa jadi kita akan berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Mengapa saya yang waktu di sekolah adalah juara kelas tidak lebih sukses daripada teman yang lain. Atau, mengapa saya yang punya banyak uang tidak dapat memiliki banyak bakat seperti yang ditunjukkan teman saya di Instagram. Atau, mengapa saya tidak seganteng/secantik dia. Media sosial yang hanya menampakkan bagian menyenangkannya, akan dapat sangat menipu. Kita tidak pernah menyadari bahwa dibalik kebahagiaan tersebut ada kerja keras, ada kesulitan-kesulitan hidup yang lain.
Suatu kali, ketika tinggal selama satu bulan di sebuah Yayasan anak berkebutuhan khusus, saya melihat suatu hal yang menarik. Anak-anak ini sekolah di sebuah SLB milik Yayasan. Saat itu anak-anak sedang pelajaran olahraga dan harus berlari keliling koridor sekolah. Anak-anak ini memiliki kekurangan yang berbeda satu sama lain. Ada yang memiliki kekurangan secara fisik, kecerdasan, atau kedua-duanya. Beberapa di antara mereka sangat sulit untuk berjalan, apalagi berlari. Maka dapat dibayangkan bahwa ada anak-anak yang sudah berlari 2-3 putaran sedang yang lain belum pernah mencapai satu putaran. Yang menarik bagi saya adalah fakta bahwa anak-anak ini, yang tertinggal sangat jauh dari temannya, tetap berusaha berlari. Sungguh mengherankan bahwa ternyata mereka dari dirinya sendiri tidak pernah merasa tertinggal. Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak pernah membandingkan kekurangan mereka satu sama lain.
Hal inilah yang sebetulnya diminta Tuhan dalam Injil hari ini. Seharusnya kita tidak pernah membandingkan diri, baik dari kekurangan kita ataupun berkat atau upah yang kita terima dari Tuhan dengan yang diterima oleh orang lain. Kalau saja kita melihat ke dalam hidup kita masing-masing, kita akan menyadari akan betapa banyak berkat yang kita terima dari Tuhan, pun kalau kita belum melakukan sesuatu yang layak untuk berkat itu. Tuhan tidak menjadikan kita pekerja dan “membayar” kita. Tuhan mengundang kita untuk masuk dan menjadikan kebun anggurnya sumber kehidupan bagi semua orang. Masing-masing diberikannya berkat dan kasih yang sama besar tanpa syarat kinerja atau prestasi apapun. Segala kerja yang kita lakukan untuk Tuhan hendaknya menjadi bukti syukur dan kasih kita kepada Tuhan tanpa mengharapkan “upah” yang tidak mungkin lebih besar dari berkat yang telah kita terima.