Sukacita yang dirasakan mendalam oleh seseorang biasanya berimbas pada tindakan setelahnya. Realitas seperti inilah yang terjadi pada Maria, gadis lugu nan elok yang dilirik oleh Yosep. Ia mendapat kabar dari Malaikat Gabriel tentang Putra Tercinta dan itu mendorongnya untuk bersimpati kepada saudarinya Elisabet. Seberapa besar dorongan dari sukacita yang dialaminya itu?? Hal ini dijawab langsung oleh kesediaan Maria yang mau berangkat dan tinggal di rumah Elisabet. Dorongan ini memintanya untuk melayani orang lain, “secara” waktu itu saudarinya itu sedang hamil tua.
Dalam Kitab Wahyu, pengorbanan sang ibu yang bertahan di bawah tekanan kegelisahan akibat kehadiran sang naga pun menjadi gambaran imbas dari rasa sukacita. Ibu yang bersukacita atas kehadiran sang Putra tampak terstimulus untuk melakukan segalanya demi sang putra. Konon katanya dan sampai sekarang juga sepertinya, kelahiran sang buah hati merelativisir seluruh kesakitan yang dialami sang ibu saat melahirkan, dasarnya sama.
Belajar dari Sang Gadis yang dikemudian hari digelari Sang Ratu Surgawi, tampak bahwa sangat penting menumbuhkan sukacita dan memaknai sukacita dengan melakukan tindakan imbasnya. Peka terhadap sesama yang membutuhkan dan membantu mereka yang berkekurangan atau tidak mampu sejatinya menjadi kaharusan bagi yang memiliki kelebihan dan keberlimpahan rahmat. Kaya bukan hanya tentang mendatangkan kesenangan atau semacamnya melainkan pemaknaan kaya dan keberlimpahan dengan tepat tentu akan menimbulkan sukacita yang besar. Sebaliknya, kekurangan juga bukan hanya tentang menderita. Bersyukur, mencari solusi dan melakukan yang seharusnya menjadi dasar dari pemaknaan. Selanjutnya, kesadaran dan konkretisasi dari kesadaran ini kemudian membawa berkat bagi sesama.
Lantas, bagaimana rasa sukacita hadir setiap waktu atau bagaimana aku di kala merasa tidak sukacita? Perhatikanlah kemanusiawian kita ini, “merasa tidak sukacita”. Tidak menjadi masalah jika ini tidak mendeterminasi dinamika hidup harian, sebab toh kita punya kehendak bebas. Merasa tidak enak, tidak layak, tidak sanggup dan tidak sukacita sejatinya tidak bisa mendeterminasi seorang manusia.
Teladan bunda Maria menejelaskan bahwa hampir di setiap waktu, kita bisa merasa sukacita. Ia sendiri mengungkapkannya dengan kidung yang saat ini dinamakan Kidung Maria. “Allah penyelamatanku” menjadi sebuah frasa yang menarik untuk ditelisik lebih jauh dari Kidung Maria. Iman kepada Allah yang mendalam senantiasa membuat Maria merasa sukacita. Segala peristiwa yang dialaminya dilihat sebagai bagian dari rahmat Tuhan, Allah yang menyelamatkan. Hal ini tampak jelas pada jawabannya, “terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Sukacita yang selalu ada bersamanya mendorong Maria menjawab dengan sukacita kepada tawaran dari Allah.
Pemaknaan situasi dengan berpedoman pada rasa percaya kepada Allah mestinya mengakar pada pribadi yang beriman. Ia mesti yakin bahwa keyakinannya menyelamatkan. Namun tidak berhenti di situ, kenyataan ini pun kemudian mengesahkan bahwa tindakan cinta kasih semacam peka, menolong, menyapa dan menghibur yang menderita sekiranya menyertainya. Yakin, percaya mendatangkan sukacita. Selalu belajar dan mempraktekan pemaknaan yang benar atas situasi pasti menyelamatkan. Selamat Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga.