Pengalaman panggilan Tuhan yang kutanggapi memiliki rasa yang unik. Salah satu pengalaman yang menarik adalah pengalaman panggilanku di balik dukungan keluarga kecil. Inspirasi yang boleh kurenungkan adalah peristiwa murid yang dikasihi oleh Yesus (Yohanes 21:20-23).
Murid yang dikasihi Yesus, begitulah perikop Injil Yohanes yang membantu saya untuk merenungkan misteri panggilan ini. Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: Ikutlah Aku, sabda Yesus. Saya berasal dari keluarga yang harmonis dan yang pada akhirnya menerima keputusan saya untuk menjadi seorang Xaverian semenjak saya mengikrarkan kaul perdana pada tanggal 29 Juli 2018. Penerimaan yang rela dari kedua orangtua adalah buah dari doa dan harapan yang saya persembahkan kepada Tuhan. Intinya adalah supaya saya dapat menjalani panggilan suci ini dengan iman yang teguh, lepas bebas dan bertanggung jawab atas pilihan yang saya ambil ini. Inilah yang ingin saya renungkan, bahwa segala hal yang melekat pada hati dan pikiranku tidak mudah untuk dilepaskan, namun harus dipertegas bahwa Tuhanlah yang mengurusi segala sesuatu dari hidupku yang telah kupersembahkan bagi-Nya. Tetapi engkau: ikutlah Aku, sabda Tuhan.
Setelah menyelesaikan masa formasi awal di Seminari (Program KPA), saya diminta untuk menyelesaikan segala berkas dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan baru di Pranovisiat-Novisiat Bintaro. Saat itu (masa liburan), ayah saya bertanya mengenai keseriusan saya untuk menjalani proses formasi ini. Apakah kamu serius ingin menjadi seorang misionaris? Apakah benar panggilan Tuhan untukmu ada disana? Bagaimana dengan kami yang nanti kamu tinggalkan? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya merasa jengkel. Dalam hati kubertanya, apakah orangtuaku tidak percaya padaku? Apakah mereka tidak tau bahwa inilah pilihanku; pilihan yang semestinya sama seperti pilihan mereka untuk merantau dan meninggalkan kedua orang tua mereka? Tetapi, kataku kepada mereka, doakanlah saja anakmu ini, sebab doa kalian adalah berkat bagi langkahku. Setelah itu, saya berangkat ke Jakarta dengan satu semangat baru, aku harus bisa menggapai masa depanku, kataku dalam hati.
Setelah menyelesaikan masa Pranovisiat dengan baik, saya diizinkan untuk libur dan kembali ke rumah untuk bercengkerama bersama orang tua. Sesekali aku membantu pastor paroki untuk melayani umat dalam doa lingkungan dan kunjungan-kunjungan lain ke rumah umat. Selebihnyam saya bersama keluarga di rumah. Sesekali kami bercerita mengenai pengalaman ayah dan ibu yang meninggalkan kedua orangtuanya untuk bekerja di kota. Pengalaman mereka menjadi satu motivasiku untuk menggapai cita-cita misioner yang sedang kugeluti. Namun, tetap saja, namanya orangtua punya sebuah kekhawatiran tersendiri mengenai mas adepan anaknya. Pertanyaan yang sama saat aku berangkat ke Pranovisiat diulangi lagi, dan kekhawatiran mereka adalah soal daerah misi yang begitu sulit, penuh derita dan berbagai macam penyakit. Tetapi, saya juga mengulangi perkataan yang sama, yakni minta doa dari mereka agar Tuhan memberkati saya dalam menjalani panggilan ini. Saya tidak pernah ragu akan pilihan yang telah saya buat, sebab dari pilihan itu saya belajar untuk bertanggung jawab dan menanggung resiko dengan rela hati. Pilihan itu membantu saya untuk mengenal diri sendiri dan memurnikan pilihan saya bersama dengan Tuhan yang memberi rahmat kepadaku.
Benar saja, saat saya tiba di Novisiat, saya jadi teringat dengan kedua orangtua saya. Bayangan yang muncul adalah bagaimana kedua orangtua saya bekerja sendiri dan tidak ada yang menemani di rumah, bagaimana mereka nanti dijahati oleh orang-orang yang benci pada mereka dan pikiran-pikiran lain yang membuat saya tidak tenang. Hati saya yang begitu yakin akan pilihan panggilan ini perlahan luntur dengan ketakutan yang menyerang pada saat itu juga. Saya sempat berpikir untuk pulang kembali dan menarik kata-kata optimistis yang pernah kuucapkan kepada mereka.
Tetapi, saya merasa bahwa Tuhan memberi satu peneguhan yang sangat berarti bagi saya, yakni kedua konfrater saya yang pada saat itu mensharingkan pengalaman-pengalaman liburan mereka. Saya menangkap kesan-kesan mereka mengenai orangtua yang sudah meninggalkan mereka sejak kecil. Saya menangkap bahwa mereka bersyukur atas liburan yang meneguhkan semangat mereka untuk melanjutkan panggilan ini. Mereka membantu saya untuk melihat secara jernih setiap konsekuensi yang harus ditanggung oleh karena pilihan ini. Dari sharing itu, kami membawanya dalam doa bersama dan mencari perikop Injil yang sesuai dengan suasana hati masing-masing. Dari doa itu, saya dituntun untuk merenungkan bacaan Injil Yohanes ini. Saya disadarkan untuk memilih bagian yang terpenting dari pilihan-pilihan yang ada, yakni mengikuti Yesus dan menanggung konsekuensi dari pilihan tersebut, yakni meninggalkan kedua orangtua dan segala sesuatunya. Meninggalkan kedua orangtua berarti mempercayakan sepenuhnya kepada Tuhan, sebab dengan itu Tuhan yang mengurus segala sesuatu yang terjadi pada hidup orangtuaku. Maka, saya mencoba menimba semangat kembali dan rasa optimistis dalam menjalani panggilan suci ini.
Sampai saat ini, saya bersyukur bahwa persembahan total yang kuberikan dalam panggilan Tuhan ini mulai berbuah baik, salah satunya adalah kerelaan masing-masing pribadi (saya dan orangtua) untuk menerima rencana Tuhan dalam berbagai macam hal. Saya merasa senang ketika orangtua saya yakin akan pilihan yang telah saya ambil dalam jalan Tuhan ini. Mereka yakin karena pilihan untuk menjadi seorang misionaris adalah dorongan dari Allah yang ingin semua orang mengenal Dia secara lebih mendalam. Dengan motto menjadikan dunia satu keluarga, maka saya yakin bahwa apa yang direncakan oleh Allah bagi saya dalam Xaverian adalah satu rencana yang terus-menerus menjadi sebuah doa dan usaha baik. Saya tetap mohon rahmat Tuhan agar diberi hati yang rela dan semangat iman yang teguh, sehingga bisa menjalani masa formasi ini dengan lebih baik.