Saya merasa bahagia mendapatkan kesempatan untuk membagikan kisah panggilan saya menjadi seorang calon Imam Misionaris Xaverian. Kesempatan ini menjadi sangat istimewah karena bersamaan dengan merenungkan tahun Yubileum Konstitusi dan Surat Wasiat Serikat Misionaris Xaverian. Panggilan ini merupakan rahmat yang dianugerahkan Tuhan kepada saya. Benar yang dikatakan Bapa Pendiri Serikat Misionaris Xaverian St. Guido Maria Conforti bahwa panggilan kita tidak mungkin lebih agung dan mulia lagi (surat wasiat 1).
Berawal dari hidup doa yang ditanamkan oleh keluarga saya dan perjumpaan dengan para pastor SVD yang berkarya di Waiklibang, Larantuka, panggilan saya untuk menjadi imam mulai bertumbuh. Saya lahir di Larantuka dan dalam keluarga katolik yang sederhana. Ibu saya sangat berdevosi kepada Bunda Maria. Tidak heran karena memang devosi kepada bunda Maria adalah tradisi orang Larantuka yang mempercayai bahwa Bunda Maria sebagai pelindung kota dan daerah Larantuka. Ayah saya seorang pengurus dewan stasi di stasi Tanjung Bunga kala itu. Aroma gereja dan religiusitas mungkin sangat melekat di dasar sukma saya ketika saya masih mungil yang mulai bertumbuh dalam iman, harapan, dan kasih.
Setiap malam, ibu saya selalu melangitkan pujian kepada Allah bersama Bunda Maria pembantu Abadi. Saya pun turut ambil bagian dalam tindakan suci itu untuk merasakan kesatuan yang mesra dengan Pribadi krsitus. Dalam doa salam Maria, saya mengenal Yesus Kristus sang buah hati Maria. Yesus menjadi sumber semangat saya sehingga ketika berjumpa dengan para pastor dari Serikat Sabda ALlah, saya merasa tertarik untuk menjadi imam.
Bertumbuh tapi tidak saya sadari. Kisah selama masa SD hingga SMP merupakan karya Allah yang tersamar. Ketika pindah ke Nunur, Kota Komba, Manggarai Timur, NTT untuk menjalani pendidikan di sana, saya merasa bahwa semangat panggilan saya menjadi Imam tersamar. Saya lebih suka mengikuti olahraga bola kaki di mana pertandingannya tanpa dibatasi waktu melainkan mengejar jumlah gol yang dicetak ke gawang lawan. Pertandingan ini tidak mengenal hukum cinta kasih karena semua menjaga nama baiknya masing-masing termasuk saya.
Ketika saya tamat dari SMP, ibu saya meninggal dunia. Pengalaman kepergian ibu untuk selamanya merupakan peristiwa hidupnya kembali api misioner yang telah nyala sejak perjumpaan dengan para Misionaris Serikat Sabda Allah. Saat kepergian ibu, saya merasa bahwa hidup ini sangat tidak berarti kendati memiliki apapun dan hanya dalam Tuhan hidup menjadi sukacita. Penginjil Matius menuliskan demikian “apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? (Mat. 16:26)
Masa SMA, bagi saya merupakan masa menentukan pilihan hidup. Berangkat dari refleksi kepergian ibu saya, saya ingin mempersembahkan seluruh hidup saya untuk Allah dan kerajaan-Nya di dunia. Saya merasa dikuatkan dan diteguhkan oleh teman-teman ketika menceritakan kepada mereka tentang niat saya untuk menjadi seorang imam. Kehadiran sosok ibu sebagai pengganti ibu kandung saya juga menjadi tanda cinta Allah kepada saya.
Saya pun memutuskan untuk menjadi seorang Imam Misionaris Xaverian ketika berjumpa dengan P. Manuel Sanchez SX di sekolah saya SMA Katolik Pancasila Borong Manggarai Timur. P. Manuel SX datang ke sekolah saya untuk mennganimasi panggilan dan meceritakan di mana para xaverian berkarya. Perjuangan para Misionaris Xaverian di Brazil yang dengan penuh semangat melewati daerah yang sulit untuk membawa Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya membakar api misioner dalam jiwa saya.
Ketika menjalani tahun pertama di rumah Tunas Xaverian, saya merasakan semangat mencintai keluarga Xaverian. Semangat menjadikan dunia satu keluarga sudah mulai ditanam sejak awal bergabung dengan keluarga Xaverian. Ketika di tahun Pranovisiat dan Novisiat, saya semakin mengenal diri saya, mengenal Serikat Xaverian, dan mengenal Yesus lebih mendalam. Jiwa yang ingin terus berjuang dan tidak patah semangat sangat sesuai dengan wajah manusiawi Xaverian. Belajar dari kisah para martir xaverian yang meninggal di tanah misi demi kerajaan Allah semakin mengobarkan semangat saya.
Di tahun Filsafat, saya semakin merasakan cinta Allah dalam hidup saya. saya merasakan begitu besar rahmat panggilan yang saya terima dari Allah. Dengan demikian, saya mempersembahkan kebebasan, kemerdekaan, seluruh kehendak saya kepada Tuhan. Saya pun terus terbuka pada rahmat Allah dan mau dibentuk oleh –Nya menjadi imam misionaris Xaverian yang mau membawa Kristus kepada dunia dan dunia kepada kristus. Saya tetap memohon doa dari kita semua untuk mendukung panggilan kami menjadi seorang Imam Misionaris Xaverian.