“Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!”Mat 27:42.
Kutipan ini bagi saya sangat menggelitik rasa. Orang yang meragukan Yesus sebagai Tuhan toh justru orang yang mengakui-Nya menyelamatkan orang lain. Mereka adalah orang Farisi dan Ahli Taurat. Saya juga geram!! Toh mereka sungguh sadar akan kuasa dan kebaikan Yesus, masih menguji juga. Paradoks tetapi juga sarat akan makna. Sikap receh yang didasari rasa takut akan kenyataan hidup. Mereka ragu dalam kepastian.Ya, memang begitulah mereka.
Bicara tentang rasa takut akan kenyataan hidup sedikit relevan dengan situasi kita. Bagi saya, tidak menjadi masalah jika rasa takut memang hadir. Pada hakikatnya kita memiliki bagian kerapuhannya juga. Namun, tidak menjadi alasan untuk tidak berharap, apalagi tidak percaya akan rencana indah-Nya. Saya mengajak kita untuk realistis sekaligus optimis. Hemat saya, kita toh tetap harus melangkah dalam situasi tergelap sekalipun, untuk menunjukkan bahwa hidup kita tidak ditentukan oleh keadaan.
Sengsara Tuhan, yang pada Minggu Palma dikenangkan, dasarnya telah dibenarkan juga oleh orang Farisi dan ahli taurat, kita hidup dalam penyelenggaran-Nya, “Orang lain Ia selamatkan”. Seyogyanya ini pun menjawab pertanyaan naluriah kita tentang sengsara. Masa Yesus dikhianati oleh murid-Nya, disangkal oleh muridnya atau kok murid yang lain lari tak karuan, entah apa yang merasuki mereka, dll. Namun, maksudnya jelas, jangan terlalu takut akan kenyataan hidup, termasuk penderitaan, sengsara. Sengsara selalu menjadi bagian dari kenyataan harian kita. Benar dan inilah konsep mutlak dan visioner para pengikut Kristus.
Desahan nafas orang Farisi dan para ahli Taurat menjadi pengingat kebenaran dan makna sengsara. Dalam konteks apa? Bagaimana bersikap? Demi cinta kepada sesama dan kebaikan orang lain dan tanggung jawab perutusan, “orang lain ia selamatkan”. Kita diminta untuk berkorban demi kebaikan orang lain. Contoh sederhana: memberi bantuan kepada yang sakit meski dengan resiko tinggi, dll. Bertanggungjawab, kita sadar akan hakikat kebaikan bersama dan bertindak berdasarkan kemampuan kita, misalnya tetap menjual harga bahan pangan pada harganya aslinya. Bersikaplah seharusnya sebagagai pedagang, karyawan, siswa dan sesama manusia yang saling membutuhkan, bahkan lebih misalnya berkorban.
Teladan bersikap dalam penderitaan bagi saya tampak pada pertemuan Veronika dan Tuhan Yesus. Ia menderita dalam pengorbananya tetapi toh Ia masih memberi gambar wajah-Nya kepada Veronika. Tindakkan-Nya menunjukkan bahwa penderitaan jangan diasumsikan sebagai kutukan dan jangan terkungkung di dalamnya. Sebaliknya, menjadikannya sebagai bagian dari hidup yang normal dan memberi tanda pengharapan kepada orang lain, “Yesus menggunakan darah-Nya”. Sikap penuh harapan seorang yang menderita menjadi tanda kasih dan kesetiaan Tuhan. Memilih sikap terbaik dalam setiap keadaan adalah keharusan.