Saat ini, begitu banyak orang mengalami krisis makna hidup, atau bahkan tidak peduli apakah hidup ini perlu bermakna atau tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan laju perkembangan peradaban manusia. Sejak abad 20, banyak masalah manusia teratasi. Tiga yang paling penting misalnya ialah kurangnya angka kematian karena penyakit, kurangnya angka kemiskinan, dan makin berkurangnya perang. Dalam bidang kemakmuran pangan misalnya, meskipun hingga saat ini para pengambil kebijakan pangan terus bekerja, kenyataannya, pada level makro, manusia sedang menuju kemakmuran. Saat ini lebih banyak orang meninggal akibat obesitas dari pada akibat busung lapar, lebih banyak orang diet dari pada para pemulung makanan. Pada tahun 2014, 2,1 miliar penduduk dunia kelebihan berat badan berbanding 850 juta orang lapar.
Di samping fakta itu, beberapa masalah penting tampaknya tidak selesai hanya dengan semakin makmurnya kehidupan. Data dunia mencatat bahwa manusia abad 21 lebih banyak mengakhiri hidup dengan bunuh diri dari pada akibat penyakit. Fakta ini menunjukkan bahwa manusia-manusia cerdas abad ini masih punya masalah dengan kebahagiaan. Pertanyaannya ialah, apa yang salah dengan kemajuan kita terutama di bidang ekonomi dan sains? [Yuval Noah Harari: 2014].
Dampak Sekularisme
Kita tahu, kebangkitan ekonomi dan sains berjalan seiring dengan sekularisme. Sekularisme memisahkan medan makna dengan realitas konkret sebagai dua hal yang tidak memiliki kaitan langsung. Sekularisme mengajarkan manusia modern untuk menganggap ada hanya apa yang kelihatan, itu saja, tidak ada lagi di luar itu. Persis, di sana langsung kelihatan masalahnya. Sekularisme telah mengasingkan kita dari makna, suatu realitas meta, yang mendahului tampakan fisik-praktis. Padahal, manusia adalah makhluk yang tidak bisa tidak telibat pada nilai.
Manusia: Makhluk yang Bertanya
Pembicaraan mengenai ‘makna’ merupakan topik yang hanya relevan bagi manusia. Makna merupakan suatu medan nilai, penghayatan, dan arti, sesuatu yang melampaui aspek fisik. Hal ini mengandaikan kesadaran, suatu kualitas yang hanya dimiliki manusia. Mengapa kesadaran? Secara sangat ringkas, kesadaran merupakan kualitas manusia untuk mengalami keberadaanya. Kesadaran membuat hidup manusia menjadi suatu tindakan sengaja. Karenanya, manusia selalu terikat dengan alasan dan tujuan. Ia harus mempunyai alasan mengapa ia harus hidup. Itulah mengapa manusia mempertanyakan keberadaannya sendiri karena ia tidak bisa hidup secara spontan tanpa alasan.
Pertanyaan mendasar manusia ialah mengapa saya lebih baik ada dari pada tidak? Pertanyaan ini disebut pertanyaan eksistensial. Manusia menuntut suatu alasan dan tujuan. Ia butuh pertanggungjawaban atas eksistensinya. Kemauan manusia untuk memahami jelas menunjukkan usahanya untuk memberi arti. Dengan kata lain, manusia mencari makna. Hal ini khas manusia, hal mana tidak bisa dilakukan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Kucing misalnya tidak pernah mempunyai alasan mengapa memilih tidur daripada bermain. Ia bekerja berdasarkan insting, tuntutan biologis semata. Itulah mengapa kita tidak bisa menilai perbuatan kucing sebagai baik atau buruk. Mereka tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Sekali lagi, hanya manusia yang terlibat pada nilai atau makna.
Penderitaan Psikis
Kemampuan manusia untuk mempertanyakan dirinya sendiri menandai bahwa manusia hidup dalam dua aspek berbeda sekaligus, yaitu aspek fisik (konstitutif) dan nonfisik (normatif). Bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tulang dan daging, tetapi juga jiwa. Karena itu, kehidupan manusia tidak hanya berhenti pada aspek fisik, melainkan juga yang non fisik atau aspek spiritual.
Salah satu contoh bagaimana aspek non fisik atau aspek spiritual ini bekerja ialah ketika Anda misalnya terluka karena putus cinta. Dalam kasus ini, tidak ada satupun anggota tubuh Anda yang teluka atau berdarah, tetapi Anda merasa sakit, tak berdaya, kecewa, kehilangan semangat, loyo dan sebagainya. Rasa sakit ini bahkan lebih mematikan ketimbang rasa sakit akibat luka fisik. Contoh lain ialah ketika seseorang yang sukses, hebat, kayaraya dan sebagainya tiba-tiba bunuh diri karena merasa hidupnya tak berarti. Misalnya ia tidak pernah diterima oleh ibunya sendiri atau semacamnya. Masalah yang dihadapi orang ini ialah mengenai makna hidup sesuatu yang bersifat spiritual (Beyond/Meta-physic).
Yang mau dikatakan di sini ialah bahwa manusia selalu terhubung pada aspek non fisik, suatu hal yang tidak bisa diakses secara fisik, tetapi ada. Ia terbuka pada yang transenden, sesuatu yang melampauinya. Ia selalu terarah pada kenyataan yang jauh lebih besar darinya. Manusia dengan demikian, tidak pernah tercukupkan oleh hal-hal yang bersifat material. Manusia butuh sesuatu yang lebih, yaitu arti. Dan arti hanya masuk akal ketika kita menerima realitas transenden yang punya kualitas positif tinggi. Di sinilah letak pertemuan manusia dengan Tuhan.
Makna Hidup dan Tuhan
Manusia sekuler sering melupakan pertautan antara makna hidup dan keberadaan realitas serba positif yang kita sebut Tuhan. Kita lupa diri. Banyak orang meninggalkan Gereja, Tuhan, dan merasa diri sebagai orang cerdas yang meninggalkan kekanak kanakan kekristenan yang kampungan itu. Tapi Ia lupa bahwa ia terutama sedang meninggalkan dirinya sendiri. Akibatnya, ia cenderung larut dalam hiruk pikuk rutinitas praktis harian, bekerja, olah raga, seks, belanja, pesta pora dan sebagainya. Ia lupa bertanya apa arti semua itu. Ia jarang menjaraki perbuatannya untuk sejenak mempertanyakannya. Akibatnya hidupnya penuh dengan perbuatan spontan tanpa arti, yang muncul dari dorongan naluri, insting, dorongan tak teratur. Hidup hanya terlihat sebagai rentetan peristiwa yang tak saling terkait, tanpa tujuan dan makna. Dengan kata lain hidup adalah kesia-siaan atau absurditas total. Suatu gerakan tanpa tujuan ialah suatu ketiadaan gerakan, dan suatu orientasi tanpa tujuan ialah ketiadaan orientasi. Hidup seperti ini, tidak layak dihidupi. Sebaliknya, hidup yang berdasarkan makna ialah hidup yang kuat dan terrarah yang pantas diperjuangkan. Satu lagi, tiada hidup yang bermakna tanpa Tuhan.