Natal lagi: kita buat apa?
Natal Menuntut Kedalaman
Hari ini kita berada dalam arus pekat kemajuan teknologi, busana, dll. Berkembang pesatnya teknologi informasi yang dengan aplikasi-aplikasi canggihnya memudahkan orang berelasi dengan orang lain dalam jumlah yang banyak pada saat bersamaan. Dunia berubah menjadi satu kampung kecil di mana semua orang saling terhubung dengan mudah. Akan tetapi, hal seperti ini selalu punya efek samping. Dengan aplikasi berbasis gambar seperti instagram atau facebook misalnya orang mulai menjadi sefl-oriented, pamer, menarik perhatian, dll. Orang jatuh cinta pada penampilan (suatu tampakan saja). Bahayanya, gaya hidup seperti ini masuk dalam penghayatan kehidupan religius yang justru menolak kedangkalan dengan berupaya masuk pada semangat spiritual yang menekankan kedalaman refleksi.
Ini bukan hanya masalah milenial atau generasi Z. Faktanya, hampir semua kita kini menjadi bagian dari zaman yang menjunjung tinggi penampilan, popularitas, kesan, keindahan fisik, sesuatu yang hanya permukaan dan semu, namun lalai terhadap kedalaman, makna dan keunggulan spiritual, MURAHAN. Situasi ini membuat kita mengalami setiap peristiwa sering kali hanya di permukaan saja, berupa kesan dan hasrat sesaat.
Kalau mau jujur, saat ini, bisa kita lihat sendiri bagaimana perayaan-perayaan keagamaan dimanipulasi sedemikian rupa (sadar atau tidak) menjadi komoditas pasar. Anak-anak bahkan orang dewasa kini banyak mengidentikkan natal dengan Sinterklas, pohon natal, kado, pesta-pestaan, dll., yang sebenarnya (meskipun tidak sepenuhnya keliru) tidak mempunyai korelasi langsung dengan makna natal yang kita rayakan. Kita berhenti di permukaan saja. Makin buruk lagi jika karena konsentrasi yang banyak pada hal-hal tersebut, kita menjadi lupa akan pentingnya persiapan secara rohani untuk menyambut natal, suatu penggalian akan makna dan pesan natal yang mendalam.
Keluar dari Diri Sendiri
Dalam Fil. 2:5-8, Paulus menjelaskan makna kelahiran Kristus menjadi manusia sebagai pernyataan cinta Allah yang “MELUPAKAN” diri-Nya sendiri dan menjadi sama seperti manusia. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Tersirat di sini bahwa Allah menghargai kemanusiaan kita, Ia memilih menjadi manusia. Ia meyakinkan kita bahwa dengan kemanusiaan kita saja, kita bisa menjadi pribadi unggul sebagaimana Yesus melakukannya. Pertanyaannya ialah bagaimana caranya? Kita bisa langsung meniru putra natal (baca: Yesus) yang menjadi pusat perhatian kita dalam perayaan sukacita ini.
Allah yang memilih lahir sebagai manusia dalam diri Bayi Yesus tersebut tidak hanya memutuskan untuk menjadi manusia, Ia juga memilih dari siapa, di mana dan bagi siapa kabar gembira kelahiran-Nya ditujukan.
Yesus pertama memilih Maria, wanita sederhana, sebagai ibu-Nya, memilih para gembala—orang yang tidak diperhitungkan dalam tatanan masyarakat Yahudi dan oleh sebab itu kesaksian mereka tidak pernah dipercaya—sebagai saksi Kelahirannya. Hal ini hampir tidak masuk akal bahwa kelahiran itu kemudian dituntut untuk dipercaya, tetapi Yesus toh melakukan itu.
Selain itu, Ia juga memilih tempat makan lembu sebagai palungan-Nya, jauh dari tempat bersalin yang layak. Akan tetapi, sekali lagi lahir di tempat makan hewan barang kali bukan keputusan ngawur. Barang kali itu menjadi suatu simbol diri Yesus sendiri, bahwa Ia akan menghabiskan diri-Nya sebagai makanan, suatu tanda pemberian diri sampai habis.
Semua hal tersebut lalu dapat dipadatkan sebagai suatu bentuk “kepedulian” dengan hadir bagi sesama terutama mereka yang kecil, yang sering bungkam oleh struktur dunia ini, mereka yang barangkali tidak diharapkan. Kepedulian menuntut pemberian diri dan pemberian diri tidak berdamai dengan sikap self-oriented tadi, egoisme, dll. Sebaliknya, pemberian diri justru menuntut pengorbanan, penyangkalan diri, keluar dari diri sendiri bagi orang lain, bukan menarik segala perhatian padaku, melainkan membagi perhatian bagi sesama yang sering kali terlupakan.
Itulah pesan natal, yaitu kesediaan seperti Maria yang menjawab “Ya” untuk mengandung dan melahirkan Yesus, melahirkan sesuatu bagi orang lain. Setiap jawaban “Ya” kita untuk memberi diri bagi orang lain, setiap itu juga kita merayakan natal, melahirkan kebaikan dari Allah. Itulah makna natal bagi kita.
SELAMAT NATAL, SEMOGA YESUS LAHIR DI HATI KITA SEKALI LAGI.
Fr. Patris Arifin, sx