Kasih itu Luka
Patris Arifin
Salam jumpa kembali saudari dan saudara sekalian. Salam damai Kristus. Kali ini saya mau berbagi cerita dengan Anda soal refleksi saya tentang hidup St. Fransiskus Xaverius.
Lahir dalam keluarga terpandang adalah cita-cita hampir semua manusia di bumi ini. Sebaliknya, hidup menderita demi apa pun sebaiknya dihindari. Ini bukan omong kosong, dunia memang begitu. Semua orang ingin mempunyai banyak, kalau bisa bumi ini ditambah untuk mencukupi hasrat itu. St. Fransiskus tahu semua itu. Ia lahir pada sebuah keluarga terpandang juga saleh. Ayahnya seorang ahli hukum kerajaan Navara, seorang cendikiawan terkenal. Ibunya seorang wanita berhati mulia yang dekat dengan Tuhan. Keluarga Fransiskus hidup makmur, serba cukup. Sampai di sini kita sudah bisa menghitung berapa banyak alasan untuk membuat Fransiskus merasakan kehidupan yang nikmat. Tambah lagi, ia bertumbuh menjadi seorang pemuda pandai yang mengundang decak kagum. Kurang apa lagi. Fransiskus sudah menggenggam dunia beserta cita-citanya sekaligus.
Kalau kita kenal sedikit dengan Nietzsche, orang aneh dari dunia filsafat, kita akan mengenal pemikiran mengenai defiksasi, segala sesuatu tidak pernah bisa dipegang begitu lama. Apa yang kita pikir sudah cukup matang hari ini, besok akan berubah lagi, begitu seterusnya. Itulah mental tuan, mentalitas yang tidak pernah merasa “sudah mencapai sesuatu” ia selalu meragukan pencapaiannya, tidak berhenti mencari, apa yang dipikirnya sudah mapan akan dibongkarnya lagi. Ini tidak sama dengan rakus. Jangan pernah samakan kerakusan dengan kegelisahan yang justru lahir dari kehidupan yang otentik. Otentik maksudnya bahwa ketika hidup itu dibiarkan tanpa embel-embel seperti status sosial, kekayaan, dll. Di sana kita akan mencari apa yang sesungguhnya mau kita capai dari kenyataan bahwa kita lebih baik ada daripada tidak (hidup). Inilah yang saya maksud dengan kegelisahan. Dan ini hanya dimiliki oleh para tuan. Sebaliknya, orang bermental budak akan cepat sekali merasa cukup, ia mau menggenggam dunia, ia berhenti pada kepuasan, karena ia budak nafsunya sendiri. Ia seperti orang bodoh yang terus menimbun lumbungnya tetapi ia sendiri mati sebelum menikmati semua itu (Luk. 12:20). Hanya katak dalam tempurung yang merasa bisa memahami dunia ini karena memang ia berpikir bahwa dunia ini adalah tempurungnya itu. Sayang sekali, kalau saja ia keluar, ia akan melihat bahwa tak ada yang benar-benar bisa kita capai, dunia ini begitu complex, semuanya lolos dari genggaman kita, termasuk yang kita pikir milik kita sendiri. Maka sang tuan akan mengatakan, TIDAK, tak ada gunanya semuanya itu, semuanya sia-sia.
Kini kita paham apa yang dikatakan Sang Guru sebagaimana diulang oleh Ignasius kepada Fransiskus, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat. 16:26). Memperoleh itu memang tidak ada gunanya. Coba pikirkan apa yang benar-benar menjadi milik kita di dunia ini? Tanah? Rumah? Jabatan? Ketika kita mati kita akan sadar, bahkan kita tidak sepenuhnya adalah pemilik atas tubuh kita sendiri. Bukankah kita tidak dapat menolong diri kita sendiri yang semakin hari semakin menua lalu mati? Lalu apa yang benar-benar kita miliki? Fransiskus benar, hidup yang sesungguhnya ialah melepas, bukan menggenggam. Fransiskus meninggalkan rumahnya, keluarganya. Ia pergi kemana Tuhan memanggilnya. Bahkan kepergian itu pun bukan miliknya sendiri. Kini pun ia menjadi orang kudus milik semua orang. Akan tetapi, justru disitulah hidup itu menjadi sebuah arti sebab hidup yang adalah pemberian mesti berpuncak pada penghabisan. Itulah kasih. Kasih itu luka.