Belajar dari Sampah : Dari Musuh menjadi Kawan
Sampah merupakan sisa material dari produksi yang dihasilkan dari perusahaan atau rumah tangga. Keberadaanya sangat tidak diinginkan oleh masyarakat karena sudah tidak bisa dipakai dan cenderung merusak tatanan keindahan dan kebersihan lingkungan sekitar. Oleh karenanya, sampah menjadi musuh bagi kebanyakan orang yang memeranginya dengan berbagai cara, misalnya membakar, membuangnya di segala tempat dan menumpuknya di Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) yang ada di setiap daerah yang bersangkutan. Namun, ada juga sebagian orang yang menjadikan sampah sebagai sahabat hidupnya, bahkan sampah tersebut menghasilkan keuntungan ekonomis yang lumayan menjanjikan. Salah satu orang yang dimaksud adalah Bapak Robertus Bellarminus Sutarno. Beliau adalah seorang pegiat lingkungan yang cinta akan sampah dengan cara pengolahan melalui komposter. Komposter adalah sebuah wadah pembuangan sampah khusus organik. Hasil pengolahan sampah itu dijadikan pupuk yang berbentuk cair dan padat. Beliau yang akrab disapa Pak Guru ini sudah menekuni pembuatan komposter dan sosialisasi pengurangan sampah selama kurang lebih 5 tahun. Pekerjaan yang tidak biasa ini membuat saya tertarik untuk mendalami cara kerja komposter dan mengambil refleksi dari sampah menurut pengalaman hidup bapak Tarno.
Saya menjalankan live-in di rumah bapak Sutarno selama kurang lebih satu bulan. Rumah yang saya tinggali dijadikan tempat kerja pembuatan komposter. Tidak hanya itu, sekeliling rumah bapak itu menyediakan banyak tanaman obat dan sayur-sayuran. Bisa dikatakan bahwa bapak Tarno sudah sehat secara jasmani dengan dukungan keadaan lingkungan yang sehat dan bersih. Kenyamanan itu juga saya rasakan ketika tinggal di rumah beliau; menikmati tanaman obat yang menyegarkan, menghirup udara yang lumayan menyehatkan raga serta suasana rumah yang bersahaja. Selain menikmati suasana lingkungan yang bersih, saya juga menikmati proses membuat komposter dengan berbagai model yang berbeda. Pembuatannya susah-susah gampang, tergantung ketelitian dan fokus dari pembuatnya. Pada awalnya, saya kurang teliti dalam membuat komposter karena lebih fokus untuk cepat menyelesaikannya. Hasilnya pun ada yang kurang rapih dan tidak sesuai dengan komposter buatan bapak Tarno. Namun, perlahan tapi pasti, saya berusaha untuk fokus dan teliti dalam mengerjakan komposter itu. Yang membuat saya bisa menikmati pekerjaan itu adalah prinsip hidup Pak Tarno yang santai tetapi tetap fokus dan kreatif. Beliau tetap fokus pada pembuatan komposter sambil berpikir tentang model apa yang perlu dibuat untuk mengurangi penumpukan sampah. Kreatif dan inovatif menjadi modal pemikiran beliau dalam menanggapi tuntutan zaman saat ini, terutama tentang maslaah sampah.
Singkat cerita, saya merasa senang akan pengalaman satu bulan tersebut. Saya mencoba merefleksikan beberapa poin dari kegiatan live-in ini. Pertama, pola pikir saya mengenai sampah menjadi berubah. Artinya, saya memandang sampah sebagai teman yang perlu diolah dan perlu dimanfaatkan sebagai keuntungan bersama. Pengolahan sampah melalui komposter menghasilkan pupuk yang berguna bagi tanaman. Kegunaan ini menjadi penting bagi kebaikan bersama apabila ada relasi yang baik antara sampah dan pengolahnya. Saya mengerti bahwa berteman dengan sampah berarti mengampuni diri sendiri atas perbuatanku yang sering merusak alam dengan membuang sampah sembarangan. Bentuk pertobatan sederhana ini membantu saya untuk mengenal lingkungan sekitar dengan baik.
Kedua, saya belajar mengenai fokus dan santai dalam bekerja. Suatu ketika, saya sedang mengerjakan beberapa komposter yang akan dijual kepada pembeli. Pada saat itu saya ingin fokus dan tidak mau diganggu dengan kegiatan lain. Selama saya membuat komposter, ada anak-anak yang ingin mengajakku bermain. Saya mengabaikannya, namun bapak Tarno menyuruh saya berhenti dan menemani anak-anak bermain. Dengan berat hati, saya mengiyakan ajakan bapak tersebut dan bermain dengan mereka. Beliau mengatakan kepada saya bahwa perlu mengenal lingkungan sekitar, khususnya manusia di sekitarku. Pekerjaan tersebut tidak semestinya membuat saya terpisah dari relasi dengan manusia lain, melainkan harus menjadi relasi yang penuh terhadap sesama. Fokus namun santai dan mau terbuka dengan keadaan sekitar yang lebih membutuhkan kehadiranku sebagai manusia.
Ketiga, saya diolah untuk tidak hanya sehat secara jasmani, melainkan juga dalam hal rohani. Bapak Tarno menjelaskan bahwa sampah itu harus dijadikan teman, sebab relasi yang timbul anatar sampah dan manusia menimbulkan satu ketentraman batin yang penuh. Menurut pengalaman, beliau merasa senang apabila ada orang yang membuang sampah di rumahnya. Beliau tidak mengeluh dan malah bersyukur karena warga sekitar mau membuang sampah ke rumahnya. Ia merasa adanya ketenangan batin, kebanggaan pribadi dan rasa syukur karena ia bisa menjadi penyalur berkat bagi sesama. Pengolahan batin yang baik membuat saya kagum serta ingin meniru sikap bapak tersebut. Menjadikan sesuatu yang kurang kusukai sebagai sahabat membutuhkan proses yang cukup, terutama mengolah sikap dan disposisi hati dengan matang. Saya semakin menyadari pentingnya pengolahan diri sehingga mampu menghadapi setiap tantangan dengan hati yang siap dan murah hati. Prinsip hidup beliau membantu saya semakin dekat dengan Tuhan dan sesama.
Ini merupakan refleksi sederhana atas pengalaman live-in yang berkesan bagi hidup saya. Belajar dari sebuah relasi yang mesra antara manusia dengan alam semesta, saya perlahan diajak semakin dewasa dalam menghadapi tantangan demi tantangan dengan hati yang rela dan siap sedia. Salam.