Otherwise than Being: The Self and Substitution

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Otherwise than Being: The Self and Substitution

© Patritius Arifin

 

Introduksi

          ‘Otherwise than Being’ atau ‘Beyond Essence’, pertama kali diterbitkan pada tahun 1974, adalah karya filosofis Levinas yang matang. Untuk masuk dengan lebih baik kedalam pembahasan buku ini, penting sekali menentukan suatu sikap yang tepat. ‘Otherwise than Being’-kami terjemahkan dengan istilah ‘yang bukan Ada-Being’ / ‘yang melampaui Ada’. Hal ini dimengerti dalam seluruh konteks filsafat Barat yang merupakan sejarah pembicaraan mengenai ‘Ada-Being’ hal mana menjadi sasaran kritik Heidegger. Levinas sendiri mengakui bahwa tidak mungkin masuk kedalam fisafat yang serius tanpa mengikuti filsafat Heidegger.[1]

Jadi, Sebagaimana Heidegger dengan ontologi fundamentalnya mengusung ‘the hidden reality’ (Be) atau Seyn untuk keluar dari dekadensi pemikiran Barat yang mereduksi realitas ‘yang lain’ pada konsep-konsep abstrak rasional, Levinas dengan ‘Otherwise than Being’-nya lebih dalam lagi bertanya, “adakah sesuatu di luar Ada?” Levinas berusaha keluar dari domain Being dan membuka diskusi baru mengenai realitas non-Being.

Jadi, Otherwise than Being yang dimaksud Levinas di sini ialah ‘yang bukan Ada’, ‘yang mendahului rasionalitas/pengkonsepan/yang mendahului komitmen bebas kita, mendahului alasan, suatu keadaan tanpa dasar-anarchy’. Dengan dasar itu, pembicaraan mengenai the self dan substitution yang akan dibahas dalam paper ini merupakan ranah etis, suatu ranah tanpa perantara, suatu relasi dengan singularitas,[2] suatu wilayah yang lebih dalam, lebih pasif dari pasifitas objek, bukan pula substansi. Wilayah ini lolos dari perkara Ada, tetapi juga bukan nothingness.

 

  1. The Self

Dalam pembahasan mengenai Self atau the I, Levinas bertanya apakah Self ini sebangun dengan apa yang disebut ipseity (diriku) yang tidak memiliki sikap ‘Ada’ atau tidak mempunyai definisi apapun. Pasivitas ini menurut Levinas tidak sama dengan pasivitas tanpa dasar dari obsesi.[3] Obsesi ialah relasi keluar yang mendahului tindakan. Obsesi ini tidak berdasar.[4] Obsesi mendahului materi pertama (potensi). Ia mendahului Ada. Materi pertama menurut Levinas adalah potensi–prime matter, presented as a being in potency, is still potency.[5] Levinas menekankan pasivitas Obsesi yang bahkan lebih dahulu, lebih pertama dari sisi paling pasif dari benda, yakni potensi. Akan tetapi, meskipun pasivitas total dari obsesi lebih pasif dari pasivitas benda, obsesi masih menempatkan ego pada kesadaran.

Levinas mengkritik Filsafat Barat yang tidak menyadari hal ini. Plato misalnya menjelaskan bahwa materi itu kekal/selalu ada dan bagi Aristoteles materi ialah causa. Menurut Levinas, Filsafat Barat cenderung berhenti pada pola pikir ontologis, mencari penyebab akhir atau materi pra-eksistensi yang merupakan kontribusi dari ide mengenai penciptaan.[6] Hal ini membuat Filsafat Barat cenderung menganggap subjek dan kesadaran sebagai satu hal yang sama. Keduanya hampir tidak pernah dicurigai.[7]

Menurut Levinas, ego atau the self sama sekali tidak bisa direduksi menjadi sekadar kesadaran (consciousness). Tak ada definisi tepat mengenai hal ini, kecuali sebagai ‘tanggung jawab’ yang mendahului komitmen, yakni ‘tanggung jawab terhadap yang lain’ (The Other). Tanggung jawab akan yang lain ini dipahami bukan sebagai tindakan (action) melainkan sebagai etika. Bahwa ranah tanpa sebab yang disebut the self ini menunjukkan bahwa bagian terdalam diri manusia terikat pada sesuatu ‘Yang serba Lain’ (The Other) di luar keputusan kita (kita tersandera). Tersandera berarti bahwa kita tidak bisa mengelak dari situasi ini. Kita hanya mendapati diri kita terstruktur demikian. Di tempat lain ‘The Other’ ini juga dinamai Allah.[8]

Mengenai the self, Levinas menulis demikian, bahwa the self yang juga ia sebut sebagai reccurence itu, merupakan sesuatu yang melampaui masa lalu yang dapat kita ingat atau dengan kata lain, mendahului kesadaran. The self melampaui segala ingatan. Ia sama sekali tidak bisa dibawa ke kesadaran (prior to all memory and all recall)[9]. Ia merupakan sisi yang berada di seberang waktu sekarang, hal mana segala identitas yang teridentifikasi dalam perkataan terbentuk.[10] Realitas inilah yang menurut Levinas kita maksudkan dengan sebutan Self, I, Ego.[11] Akan tetapi, semua sebutan ini merupakan ekspresi terbatas dari sesuatu yang tidak bisa disepertiapakan, yang tidak menampakkan diri sebagai satu definisi tetap apapun. Ia merupakan sesuatu yang unik yang berada di luar domain Being.

Levinas menegaskan bahwa subjek atau the self tidak mempunyai ekspresi apapun dalam Being (expelled from being, outside of being), tanpa fondasi atau dasar, tereduksi menjadi dirinya sendiri, dan dengan demikian juga tanpa kondisi. Kondisi ini disebut pasivitas. Levinas mendefinisikan pasivitas dari the self ini sebagai pasivitas yang mendahului segala refleksi, asumsi, dll. Inilah yang dimaksud Levinas dengan Otherwise than Being, bahwa subjektivitas/aku yang pertama/kemanusiaanku ditandai oleh suatu imanensi, suatu karakter ‘yang-bukan-Being’ atau beyond essence (tidak tunduk atau bahkan menolak esensi) tidak bisa dibekukan atau digenggam menjadi satu definisi tetap.

Di sini timbul masalah. Bukankah sesuatu yang tanpa bentuk, tak terekspresikan, yang hanya dirinya sendiri, bukanlah apa-apa? Bukankah ini berarti ketiadaan? Atau justru sebaliknya, bahwa ‘pengenyahan diri dari diri sendiri’ ini merupakan substitusi bagi ‘Yang Lain?’ Bahwa dengan keluar dari diri sendiri (the same) seseorang terbuka pada yang lain (Other)? Bukankah demikian yang dimaksudkan dengan ‘the self emptying itself from itself?[12] Jadi bagi Levinas, semakin saya melampaui diri saya (the same), saya menemukan bahwa saya bertanggung jawab bagi ‘yang lain’. Itu artinya bahwa self atau kepasifan yang dimaksud tidak mempunyai nama lain selain ‘tanggung jawab bagi yang lain’ (The Other).

Levinas menamai kepasifan ini sebagai kepasifan traumatis yang mencegah representasi dirinya sendiri, juga disebut kepasifan yang teraniaya (persecuted). Subjek mengalami trauma penganiayaan karena terus dihadapkan pada ‘yang lain’ yang menuduhnya atau menuntutnya. Bahkan pada titik tertentu subjek bisa kewalahan menghadapi impresi itu. Sebuah impresi memang akan menjadi traumatik ketika subjek tidak lagi bisa membela dirinya di hadapan impresi itu.[13] Keteraniayaan ini semacam obsesi tak terelakkan yang selalu menuntut, mengganggu, membuat tidak nyaman. Oleh karena itu, pasivitas ini hanya mendapat bentuk sempurnanya jika ia dapat menjawab penganiayanya (persekutornya) melalui tanggung jawab.[14]

Mekanisme yang terjadi dalam trauma penindasan itu ialah sebuah pergerakan dari ‘kemarahan’ yang dialami menuju ‘tanggung jawab’ kepada persekutor, dan dari ‘penderitaan’ menuju ‘pengorbanan’ terhadap persekutor.[15] Di sini terlihat bahwa tanggung jawabku pada ‘yang lain’ ialah desakan diriku sendiri, maka (pesrecution) bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada subjektivitas dari subjek; ini merupakan gerakan reccurence itu sendiri. Jadi, tanggung jawab kepada ‘yang lain’ digambarkan sebagai sesuatu yang wajib dibayar seperti utang, ia harus dilunasi. Tanggung jawab ini mendahului segala dialog, tanya-jawab atau tematisasi. Selain itu, tanggung jawab kepada ‘yang lain’, sebagai obsesi yang menyandera, bertentangan dengan intensionalitas (kehendak), maka ia tidak pernah berarti sebagai sebuah sikap altruis, insting kebaikan alami, atau cinta. Tanggung jawab kepada ‘yang lain’ tidak pernah menjadi kehendakku, ia bukan bagian dari kesadaranku. Oleh karena itu, tanggung jawab ini tidak untuk kepentinganku. Tanggung jawab kepada ‘yang lain’ muncul di luar kendali saya, ia hanyalah sesuatu yang tak mungkin dihindari, hanya itu, karena subjek ialah yang tersandra. Ia terstruktur demikian. Aku dituntut akan penderitaan orang lain, dan hal ini kulakukan sebagai sebuah pengorbanan.

Subjek yang tersandera ialah subjek yang terobsesi pada tanggung jawab yang tidak muncul dari keputusannya sendiri. Di sini Levinas hendak mengatakan bahwa sisi terdalam diri manusia, yakni subjektivitasnya, tidak lain ialah tanggung jawab pada ‘yang lain’. Maka ia menulis demikian, semakin seseorang kembali pada dirinya yang sesungguhnya, semakin ia justru melepas dirinya dan menemukan tanggung jawabnya atas orang lain.  Menurut Levinas, tanggung jawab itulah diri yang sesungguhnya dari seseorang. Sebaliknya, semakin saya terbatas pada diri saya sendiri (the same), semakin saya merasa bersalah, tidak tenang, tidak nyaman.[16] Tanggung jawab akan ‘yang lain’ tak terhindarkan karena the self terstruktur demikian (ada the other in the same). Levinas menyebutnya sebagai The Good (kebaikan), sesuatu yang paling tinggi atau paling etis.[17]

 

  1. Substitution

            Sebagaiman telah berulang kali dikatakan bahwa the self dipahami sebagai pasivitas yang masih lebih pasif dari pasivitas materi apapun. Tanggung jawab akan ‘yang lain’ muncul dalam kondisi ini, sesuatu yang tidak bisa dilepas dan sudah ditentukan atau terstruktur demikian. Tanggung jawab akan ‘yang lain’ bukanlah suatu peristiwa yang terjadi pada subjek, melainkan sesuatu yang mendahuluinya. Aku (ipse) adalah sandera. Kata I menurut Levinas berarti ‘aku di sini dan menjawab apapun dan siapapun’.[18] Aku terarah pada ‘yang lain’. Tanggung jawab akan ‘yang lain’ melampaui identitas terbatas, ia menuntut di luar kehendakku sendiri. Tanggung jawab akan yang lain ini mewujud dalam bentuk substitusi yang berarti siap memikul tanggung jawab dan menggantikan tanggung jawab orang lain.

Akan tetapi, meskipun sifatnya menuntut, hal ini tidak membuatku terasing dari diriku sendiri, karena the other in the same merupakan substitusi (substitution) atau penempatan diri saya sebagai ‘yang lain’ melalui tanggung jawab yang mana saya dipanggil sebagai yang tak tergantikan (irreplaceable).[19] Dengan kata lain, aku terstruktur untuk memberi diri bagi ‘yang lain’. Jadi, substitusi justru merupakan aktualisasi dari the self itu sendiri. Saya ada melalui dan bagi ‘yang lain’. Melalui substitusi, the self menjalin hubungan. Dengan begitu, tanggung jawab akan ‘yang lain’ merupakan suatu keterbukaan (openness).

Selanjutnya, Levinas menjelaskan bahwa the self mengartikan dirinya sebagai orang pertama, membentuk dirinya sendiri dalam perkataan (saying) sebagai ego atau sebagai saya (me), yang sangat berbeda dari ego-ego lain, yang memiliki sebuah makna bukan dari kematian. [20] Jadi, aku yang pertama itu berdiri sendiri, bebas dari pengkonsepan dan maknanya tidak didapatkan dari temporalitas kehidupan. Di sini, Levinas mau menjelaskan bahwa the self itu sendiri pada dirinya merupakan keterbukaan kepada ‘yang lain’. Ia bebas dari segala intensi. Ia bukan sesuatu yang muncul dari keinginanku. Dengan kata lain, ia bebas dari segala kepentinganku, terjadi di luar kendaliku dan oleh karena itu merupakan transendensi total. Suatu gerak keluar yang tidak pernah kembali.

Dari sifat dasar the self yang merupakan keterbukaan total pada yang lain, Levinas lalu menjabarkan luasnya tanggung jawab yang muncul. Menurutnya, The self is sub-junctum; ia menanggung beban alam semesta, bertanggung jawab untuk apapun termasuk tanggung jawab terhadap tanggung jawab orang lain. Menjadi oneself yang berartisuatu situasi tersandra’, selalu berarti memiliki tanggung jawab satu tingkat lebih besar terhadap ‘yang lain’.[21] Tanggung jawab ini merupakan sebuah pengorbanan yang mendahului aktivitas dan pasivitas atau kondisi sadar saya.

Apa ini sebuah kekerasan? Hal ini dibantah Levinas sebagai suatu refleksi yang menyimpang atau tergesa-gesa sebab tanggung jawab itu mendahului kebebasan. Subjek mensubstitusi dirinya bagi ‘yang lain’. Jadi Subjek itu unik (telah ditentukan). Tanggung jawabnya terhadap yang lain merupakan tuntutan dari strukturnya sendiri. Levinas membahasakannya demikian bahwa batas keunikan subjek ialah penundukannya pada segala sesuatu, pada substitusi (substitution). Substitusi di sini bukanlah sebuah tindakan; ia merupakan pasifitas, sisi yang lebih tinggi yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori gramatikal kata benda atau kata kerja. Ia tidak bisa dikatakan selain dia sebagai dirinya sendiri as itself. Substitusi ialah subjek itu sendiri.

Pertanyaan lain ialah, mengapa ‘yang lain’ menjadi tanggung jawabku? Apakah saya penjaga saudara saya? Pertanyaan ini mengandaikan bahwa ego saya hanya memperhatikan dirinya sendiri. Kita lupa bahwa ego dalam keadaan pra-historisnya berbicara tentang tanggung jawab terhadap yang lain. Hal ini melebihi egoisme atau altruisme. Bagi Levinas, hal itu merupakan religiositas dari the-self. Hal ini menjadi kondisi bagi semua bentuk solidaritas. The self sebagai sandera telah tersubstitusi bagi ‘yang lain’ (I am an Other)[22]. Dalam arti ini, the self ialah kebaikan (goodness). Kebaikan merupakan atribut tunggal yang tidak bermaksud merangkum multiplisitas menjadi satu (the one) sebagai subjek. Sebab jika demikian, ia bukan lagi kebaikan.

 

  1. Kesimpulan

Levinas melihat the self sebagai sisi terdalam yang melampaui segala pengkonsepan, suatu Otherwise than Being (yang bukan Ada). Ia merupakan the other in the same. The self merupakan pasivitas yang tersandera. Dengan kata lain the self ialah ‘tanggung jawab akan yang lain’ itu sendiri. Dari wilayah ini muncul substitusi (substitution) yang merupakan perwujudan ‘tanggung jawab bagi yang lain’ tersebut.

Dengan membicarakan wilayah non-being ini (suatu wilayah yang mendahului kesadaran, pengkonsepan, tematisasi) Levinas mau menunjukkan bahwa ‘tanggung jawab akan yang lain’ berada di luar keputusan seseorang, ia menuntut tanpa alasan, dan dengan demikian, ‘tanggung jawab akan yang lain’ (The Other) menyandera setiap subjek karena ia merupakan struktur dari the self  itu sendiri. Di sini, ‘tanggung jawab akan yang lain’ berubah dari sebuah tuntutan menjadi sebuah aktualisasi diri subjek.

 

SUMBER

 

Sumber Pokok:

Levinas, Emmanuel. Otherwise than Being. Trans. Alphonso Lingis. Netherland: Cluwer Academic Publisher, 1991.

 

Sumber Tambahan:

Tjaya, Thomas H.  Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.

 

Young, Bruce, “Self and Other in Lewis and Levinas”, A Journal of Christian Scholarship, (30 Maret, 2011), http://www.cslewis.org/journal/self-and-other-in-lewis-and-levinas/.

[1] It is impossible to engage in serious philosophy without following the way of Heidegger one way or the Other. (Levinas 2006, 51-52).

[2] A relation with a singularity without the mediation of any principle, any ideality. Emmanuel Levinas, Otherwise than Being, (Netherland: Cluwer Academic Publisher, 1991), 100.

[3] Returning now to the theme of of the first part of this exposition, we have to ask if this folding back upon oneself proper to ipseity (which does not even have the virtue of being an act of folding itself, but makes the act of consciousness turning back upon itself possible),… this passive folding back, does not coincide with the anarchic passivity of an obsession. (Levinas, Otherwise than Being, 110).

[4] Obsession is anarchical; it accuses me beneath the level of prime matter. (Levinas, Otherwise than Being, 110).

[5] Levinas, Otherwise than Being, 110.

[6] Western Philosophy, which perhaps is reification itself, remains faithful to the order of things and does not know the absolute passivity, beneath the level of activity and passivity, which is contributed by the idea of creation. (Levinas, Otherwise than Being, 110).

[7] Levinas, Otherwise than Being, 103.

[8] Bruce Young, Self and Other in Lewis and Levinas, (A Journal of Christian Scholarship).

[9] Levinas, Otherwise than Being, 104.

[10] Recurrence is more past than any rememberable past, any past convertible to present. The recurrence of the oneself refers to the hither side of the present in which every identity identified in the said is constituted.  (Levinas, Otherwise than Being, 105).

[11] Levinas, Otherwise than Being, 106.

[12] Levinas, Otherwise than Being, 111.

[13] Rudolf Bernet, “The Other in Me”, Deconstructive Subjectivities, 182, sebagaimana dikutip oleh T.H Tjaya dalam “Enigma Wajah Orang Lain”, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 133.

[14] Levinas, Otherwise than Being, 111.

[15] Levinas, Otherwise than Being, 116.

[16] The more I return to myself, the more I divest myself, the more I discover myself to be responsible; the more I just I am, the more guilty I am. (Levinas, Otherwise than Being, 112).

[17] Levinas, Otherwise than Being, 112.

[18] Levinas, Otherwise than Being, 114.

[19] Levinas, Otherwise than Being, 114.

[20] The self without concept, unequal in identity, signifies itself in the first person, setting forth the plane of saying, pro-ducing itself in saying as an ego or as me, that is, utterly different from any other ego, that is, having a meaning despite death. (Levinas, Otherwise than Being, 115).

[21] Levinas, Otherwise than Being, 117.

[22] As a hostage is already substituted for the others. (Levinas, Otherwise than Being, 118).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.