“Tiga Anak Calon Penerima Komuni di Nagekeo Diusir dari Gereja”

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

“Tiga Anak Calon Penerima Komuni di Nagekeo Diusir dari Gereja”

(https://voxntt.com/2019/08/23/tiga-anak-calon-penerima-komuni-di-nagekeo-diusir-dari-gereja/50424/)

 

Judul berita di atas cukup provokatif dan menarik minat baca. Akan tetapi, kita tentu saja tidak cukup membaca judul, kita perlu masuk dalam isi berita. Berikut saya paparkan secara ringkas isi berita tersebut oleh voxntt.

Ketiga anak yakni FRK (13), KRL (12) dan MJB (12) diusir oleh dewan paroki dari gereja lantaran tidak memenuhi persyaratan yang komuni yang salah satu diantaranya ialah sumbangan dana senilai 300.000,- untuk pembangunan Aula Paroki.  Ketiga anak ini merupakan siswa kelas VI SDI Supi Lape, Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Menurut tulisan tersebut, ketiganya mengaku nekat ke Gereja tanpa didampingi oleh orang tua karena telah melewati semua tahapan persiapan pra komuni dalam tradisi Gereja Katholik, termasuk mengikuti Sakramen Pengakuan sehari sebelum perayaan Misa.

 

Budaya komentar tapi tidak kritis

Berita ini segera saja Viral di media sosial, lebih-lebih Facebook. Berbagai tanggapan muncul (pro dan kontra-https://www.facebook.com/groups/202919590135043/?Multi_permalinks=713462052414125&comment_id=713934882366842&notif_id=1566626390347524&notif_t=feedback_reaction_generic). Beberapa mempersalahkan kelalaian orang tua dalam memenuhi tuntutan administrative Gereja, dan sangat banyak diantaranya mempersalahkan Gereja, Pastor paroki dan dewan paroki terkait. Keluhan mereka ialah, mengapa sakramen diperjualbelikan? Mengapa uang lebih penting dari keselamatan? Gereja sudah jadi perushaan para Pastor. Saya akan mengutip langsung beberapa di antara komentar-komentar itu

  1. Paul Hadirsaya bukan mau membela Pastor/Romo yg tdk melayani Sakramen kepada anak2 tersebut,sebagai orang tua juga harus sadar bahwa tanpa Iuran Gereja Mandiri belum tentu Gereja bisa bertumbuh dan berkembang,kalau saja Pastor membebaskan mereka dari Iuran Gereja nanti umat yang lain juga akan protes
  2. Maximilianus AdifanKalau anak saya dibuat begini mendingan pindah agama. Keselamatan jiwa2 tidak lagi jadi prioritas. Psikologi anak akan rusak karena perlakuan ini. Pengalaman ini sangat pahit dan akan terekam di alam bawah sadar mereka selama hidup
  3. Frans BuleSakramen di jual seharga Rp 300.000. Ada uang sakramen di berikan. Sangat miris.
  4. Goris Sahdanpaes ketika uang maha kuasa ya..cinta kasih hanya sebentuk manipulasi.
  5. Wempy HadirApakah gereja sedang memasuki abad kegelapan yg kedua?
  6. Kornelius RahalakaPastor tdk jamin kmu masuk surga jdi utk apa ke greja? Lbih baik bubarkn sja .
  7. Yohanes NubanDi paroki ada Dewan paroki. Ada aturan yang diberlakukan bagi semua umat. Setiap paroki punya kebijakan masing- masing demi pertumbuhan dan pengembangan iman umat.

    Tidak elok jika kesalahan dilimpahkan kepada pastornya.

    Kita juga tidak tahu persis kondisi orang tua anak2 ini. Pastor paroki dan dewan atau ketua stasi, lingkungan yang lebih tahu tentang keluarga anak ini. Kita hanya mereka2 apakah keluar mampu, tidak mampu dll.

    Adalah lebih baik jika, hal ini dibicarakan baik2 dengan pastor paroki. Saya pastikan tentu ada kebijakan. Tidak mungkin pastornya tutup mata, telinga dan hatinya untuk anak-anak ini.

 

Semua ini hanya beberapa dari begitu banyak komentar yang ada termasuk komentar saya yang saya tidak masukkan di atas karena akan saya masukkan di sini. Tentu saja semua ini merupakan kritik terhadap Gereja, tetapi belum tentu kritis. Mengapa demikian? Kekeliruan yang langsung kelihatan dari komentar-komentar lepas di atas ialah soal keseimbangan berita. Yang saya maksud dengan keseimbangan berita ialah bahwa berita yang dikirim Voxx Ntt tentu saja mempunyai akurasi informasi, tetapi tidak tentu 100%. Oleh karena itu, langkah pertama yang mesti diambil seharusnya ialah cari kepastian berita misalnya konfirmasi ke paroki, Pastor paroki, atau dewan paroki terkait. Setelah beritanya seimbang, baru kira bisa memberi tanggapan, dan tentu saja tanggapan yang dibuat diharapkan lebih seimbang mengingat keseimbangan informasi tadi. Kita butuh langkah ini pertama karena media masa (apalagi daring) selain punya tujuan informatif, juga punya tujuan komersil. Jadi brand barang dagangan itu (judul berita) sebisa mungkin menarik dan provokatif seperti berita tadi.

Nah setelah memastikan kebenaran berita (check-recheck), sekarang saatnya untuk mengambil keputusan untuk men-share atau tidak. Pada tahap ini kita juga punya langkah-langkah kritis, diantaranya: 1. Apakah ini benar? 2. Apakah ini baik? 3. Apakah ini penting (bagiku, bagi Gereja, dan bagi masyarakat luas). Nah setelah melewati semua ini, respon yang kita berikan cukup pasti bukan saja komentar lepas, tetapi juga kritis. Ini baru kritis, bukan asal klik. Kritis bukan berarti banyak omong saja, tetapi berpikir jernih.

Rahmat Sakramen dan Uang

Dari berbagai tanggapan di atas seperti no. 3 dan 4 yang mempertentangkan sakramen dengan urusan administratif, saya mau berpendapat begini. Saya kira ini soal komitmen institusional. Rahmat sakramen dan urusan administratif seperti dua sayap rajawali yang hanya bisa membuat Gereja (kita) terbang tinggi jika keduanya mengepak seimbang. Gereja bukan hanya soal belas kasih dan pengampunan. Ia juga suatu komunitas institutif, jadi ada aturan mainnya. Pendeknya, Iman, rahmat, belas kasih yang bersifat rohaniah itu mesti me-“wujud” dalam bentuk-bentuk praktis agar aplikatif. Maka rahmat itu justru menjadi konkret dalam aturan-aturan Gereja. Maka kebijakan Gereja adalah semutlak rahmat itu juga.

Oleh karena itu, pada level rohani kita omong rahmat, pada level institutif kita bicara administratif, aturan, kesepakatan, dll. Ini konsekuensi dari gereja sebagai institusi dan sama sekali tidak berarti kontradiktif dengan urusan rohaniah tadi. Dengan demikian juga, jika Gereja menekankan urusan administratif, itu tidak berarti urusan administratif lebih diutamakan daripada urusan keselamatan, (logikanya kurang lurus). Jadi keduanya harus seimbang, dan tidak perlu dipisah pisahkan apalagi dipertentangkan seolah kita bisa memilih hanya salah satu. Maka, adalah tidak benar juga kalau kita bilang harusnya rahmat lebih diutamakan. Kita tidak bisa memilih salah satu dan mengabaikan yg lain. Itu satu paket. Sebagaimana Inkarnasi mengikat keallahan dan kemanusiaan Yesus sekaligus (ini teologis memang). Kita tidak bisa memilih hanya manusia atau hanya Allah-nya saja.

Jadi juga jangan dikemana-manakan. Omong soal pindah agamalah, bubarlah, apalah. Bukankah itu justru lebih jelas menunjukkan komitmen iman kita? Siapa yg mau bubar, kita? Kita bicara bahwa karena uang sakramen dibatalkan. Apakah karena uang jg kita pindah agama? Jadi, mohon pemahamannya. Ini semua ada solusinya, tidak mesti saling menyalahkan. Justru ini yg membuat kita bubar.

 

Klarifikasi

Berdasarkan berita yang keluar kemudian, saya menemukan klarifikasi dari Pastor paroki terkait kasus ini. Isinya demikian. Berikut penjelasan Rm. Dominikus D. Dowa sebagai Pastor Paroki dimana kasus yang teman diskusikan terjadi:

“Siaang Eja,

Tadi pagi jam 08.00 sdh ada rapat dengan pengurus Stasi Penginanga berkaitan dengan berita yg sudah viral itu :

  1. Tulisan di Voxntt itu hanya berupa informasi yang wartawan peroleh dari anak dan orang tua yang anaknya tdk komuni itu.
  2. Seluruh proses untuk menerima sakramen sdh disampai sesudah pleno paroki 2018 termasuk persyaratan utk anak2 yang mau menerima komuni pertama.
  3. Peserta komuni pertama di stasi penginananga ada 65 anak (63 sesuai data dari ke-3 SD di penginanga dan 2 anak dari SD Santres).
  4. Yang tdk ikut komuni pertama ada 7 anak (bukan 3 sprt berita beredar) alasan : 2 anak (kak beradik) atas permintaan orangtuanya utk tunda ke tahn berikutnya, 5 anak tidak memenuhi syarat (tdk ada surat baptis, tidak ikut pembinaan, tidak mengaku dosa, tdk pernah misa pagi)
  5. Ketika misa komuni pertama kemarin : ada tiga anak dari lima anak itu nekad ke gereja dan berpakaian lengkap mau nyusup masuk ikut komuni. Tapi ketika cek kehadiran utk atur perarakan nama mereka tdk ada. Lalu di minta ke pastoran bertemua romo Hiron…dan hasil nya ialah mereka terima bahwa pelayanan utk anak2 itu ditunda ke tahun berikutnya.
  6. Utk ketiga anak itu: 1 anak dari KK yg tdk terdaftar sabagai umat di KUB Stasi dan di paroki danga. Dua anak dari KK yg tdk pernah aktif di KUB dan Stasi dan sering menimbulkan beban finansial utk umat KUB.
  7. Saya sudah bertemu dengan wartawan yg menulis berita itu dan sy sdh klarifikasi dan dia juga sdh minta maaf kl info yg disampaikan tdk seimbang.

Itu saja penjelasan sesuai rapat kami tadi pagi romo.”

 

Salam Kritis.

Patritius Arifin, sx

Leave a Reply

Your email address will not be published.