Kelupaan akan ‘Ada’ dan Metafisika Produksi: Kritik Heidegger terhadap Humanisme Barat
- Pengantar
Martin Heidegger mengkritik filsafat Barat sebagai ontoteologis. Ia menuduh filsuf seperti Platon dan Aristoteles sebagai orang yang bertanggung jawab akan kesalahpahaman umum tentang ‘Ada’ yang mewarnai seluruh filsafat Barat. Konsep “idea” Platon dan “substansi” Aristoteles menurut Heidegger telah mereduksi ‘Ada’ sebagai sekadar suatu realitas tertinggi, yang bersifat ilahi, dan juga rasional. Cara berpikir seperti ini, menurut Heidegger, keliru sebab menekan ‘Ada’ pada batas-batas rasionalitas manusia seolah kita memiliki ‘kuasa’ atas ‘Ada’. Cara berpikir ini bersifat representatif, yaitu relasi yang ditandai dengan dominasi subjek atas objek. Akibatnya objek pada dirinya diabaikan. Inilah yang ia sebut sebagai ‘kelupaan akan Ada’. Pereduksian makna ‘Ada’ pada kategori rasionalitas yang kalkulatif melahirkan metafisika produksi yang di zaman modern kita kenal sebagai teknologi.
Tulisan ini akan memaparkan kritik Heidegger terhadap filsafat Barat dalam esaynya yang berjudul “Letter on Humanism”. Heidegger menjelaskan korelasi antara cara berpikir representatif yang kalkulatif dan lahirnya metafisika produksi.[1] Ia lalu memberi jalan keluar mengenai bagaimana cara berelasi dengan ‘Ada’, yaitu dengan mengubah cara berpikir yang representatif tersebut. Tulisan ini akan diawali dengan pemaparan persoalan yang diungkapkan Heidegger dalam “Letter on Humanism” lalu dilanjutkan dengan refleksi terhadap teknologi, kemudian akan dicari jalan keluar dari permasalahan ini menurut Heidegger, lalu ditutup dengan kesimpulan.
- Humanisme Barat: Menutup diri terhadap ‘Ada’
Poros utama filsafat Heidegger terletak pada bagaimana filsuf ini memandang seluruh realitas. Poros itu dalam pemikiran Heidegger berupa distingsi atau pembedaan ontologis. Maksudnya ialah pembedaan antara ‘Sein’ dan ‘seindes’, antara ‘Ada’ dan ‘adaan’. Sein selalu berarti ‘Ada’ dari ‘adaan’, tetapi Sein bukan salah satu dari seindes. Ia melampaui itu, menopang ‘adaan’. ‘Ada’ memungkinkan mengada-mengada ada.[2] Berhubung pembedaan ontologis ini, Heidegger juga membedakan dua jenis cara berpikir. Dengan kata lain dua pembedaan ontologis ini menuntut pendekatan yang berlainan pula. Di satu pihak ada cara berpikir yang memperhitungkan (das rechnende Denken) dan pemikiran yang memperhatikan/meditatif (das andenkende Denken).[3]
Cara berpikir memperhitungkan atau menghasilkan ialah cara berpikir yang menjelaskan ‘adaan’ dengan mengasalkannya pada ‘adaan’ yang lain. Cara berpikir ini mencari penyebab atau alasan. Dalam cara berpikir ini, segala sesuatu dapat dihitung, diukur dan dimanipulasi. Inilah cara berpikir metafisis yang melahirkan metafisika produksi atau teknologi. Cara berpikir kedua ialah cara berpikir yang “memperhatikan”. Cara berpikir inilah yang berusaha memikirkan pembedaan ontologis. Di sini, ‘Ada’ sendiri diberi perhatian. Heidegger mempraktekkan cara berpikir seperti ini. Ia tidak berusaha memberi satu keterangan baru mengenai ‘Ada’. Menurutnya, sikap kita di hadapan ‘Ada’ ialah membiarkan ‘Ada’ menampakkan diri pada dirinya sendiri. Momen ini disebut Heidegger sebagai keterbukaan terhadap fenomen ‘Ada’.
Semakin jelas bahwa Heidegger ingin berpaling dari cara berpikir penuh perhitungan menuju cara berpikir yang memperhatikan. Begitu lalu ia menulis kritiknya terhadap humanisme Barat. Inti dari kritik Heidegger terhadap pola pikir Barat ialah cara berpikir Barat yang selalu mengaitkan pemikiran dengan kegunaan. Cara berpikir yang instrumentalis. Cara berpikir seperti ini dimulai sejak Platon dan Aristoteles, yaitu bahwa berpikir dilihat sebagai suatu teknik (Yunani: techne) yang mempunyai arti sebagai aktivitas dan keahlian menukang dengan tangan. Jadi berpikir dilihat sebagai suatu tindakan menghasilkan. Menurut Heidegger, berpikir berarti menyatu dengan ‘Ada’.[4] Oleh karena itu tindakan berpikir harus dikembalikan pada elemen dasarnya, yaitu irasionalisme. Itu artinya, kita mesti membebaskan diri kita dari interpretasi teknis dari kegiatan berpikir. Yang dimaksud Heidegger di sini ialah bahwa berpikir tidak identik dengan rasionalitas. Ia melampaui aktivitas kalkulatif seperti itu.
Menurut Heidegger, rasionalitas manusia bukanlah ukuran, oleh karena itu, apa yang dicapai rasio hanya bersifat representatif dan tidak pernah identik dengan ‘Ada’ yang sesungguhnya. ‘Ada’ tidak disingkap oleh pemikiran, ia mengungkapkan diri. Kritik Heidegger terhadap Humanisme Barat ialah superioritas manusia, bahwa manusia berkuasa atas ‘Ada’, bahwa manusia memiliki akses terhadap ‘Ada’. Dampak dari sistem pemikiran ini terlihat dalam bagaimana manusia memandang alam dalam bingkai (enframing). Heidegger berkata: Di mana membingkai berkuasa, di situlah adanya bahaya dalam artinya yang paling kentara”[5]. Yang dimaksud dengan cara berpikir terbingkai ialah cara berpikir yang kategoris, di mana kepentingan atau frame berpikir manusia membingkai realitas yang sesungguhnya lebih besar dari yang dapat ditangkap oleh rasio, dari bingkai tersebut.
Heidegger mengkritik humanisme klasik melalui Sartre berdasarkan metafisika subjek. Ia berusaha memikirkan kembali, membangun kembali humanisme dari ‘Ada’, tidak lagi dari manusia. Pertanyaan awal adalah bagaimana kita bisa berpikir tentang ‘Ada’? Menurut Heidegger, pertanyaan tentang keberadaan, tidak hanya menyangkut ‘Ada’, tetapi keberadaan ‘Ada’, sifat ‘Ada’ juga belum dipikirkan dengan baik. Filsafat klasik melewatkan dasar ontologis keberadaan karena dia belum cukup memahami apa yang dimaksud dengan “berpikir.” Bagi Heidegger “berpikir” (denken) berarti sesuatu yang secara fundamental berbeda dari pemahaman kita sehari-hari tentang istilah itu. Berpikir untuk Heidegger adalah jenis tindakan, tetapi tindakan yang masih melampaui semua praksis. Bagi Heidegger, berpikir dalam artian tertinggi tidak dapat direduksi menjadi teknik[6]: pikiran berarti menunggu “kedatangan sang ‘Ada’, ‘Ada’ yang akan datang” (275). Pikiran itu adalah semacam perantara antara manusia dan ‘Ada’.
Akar permasalahannya ialah bahwa humanisme Barat melupakan pembedaan ontologis antara ‘Ada’ dan ‘adaan’. Menurutnya, humanisme Barat memang memikirkan keberadaan dari adaan (beings), tetapi tidak memikirkan perbedaan keduanya. Metafisika tidak memikirkan kebenaran dari ‘Ada’ itu sendiri. Dan dengan demikian metafisika juga tidak pernah mempertanyakan dalam hal apa esensi manusia menjadi bagian dari kebenaran ‘Ada’.[7] Analisis ontologis ‘Ada’ sebagai Dasein mengarah pada perubahan dalam cara kita berpikir esensi menjadi manusia. “Letter on humanism“ tidak berusaha untuk menghapuskan metafisika, tetapi untuk memperbaiki dan mengakhiri humanisme metafisika dan membangun kembali humanisme. Heidegger mengkritik humanisme klasik yang tidak berpikir cukup tinggi tentang manusia: manusia harus dipahami sebagai ‘human’, bukan binatang cerdas yang berpikir (animal rationale). Heidegger menolak humanisme Barat yang menempatkan esensi manusia pada animalitasnya, bukan pada humanitasnya.[8] Menurutnya, esensi manusia terletak pada eksistensinya. Eksistensi yang dimaksud Heidegger di sini berbeda dari yang digunakan dalam pemikiran tradisional yang mengartikan eksistensi dalam kontras dengan esensi. Mengenai hal ini, dijelaskan demikian.
Ek-sistence, thought in terms of ecstasis, does not coincide with existentia in either form or content. In terms of content ek-sistence means standing out into the truth of Being. Existentia (existence) means in contrast actuality, actuality as opposed to mere possibility as Idea. Ek-sistence identifies the determination of what man is in the destiny of truth. Existentia is the name for the realisation of something that is as it appears in its Idea. The sentence “Man ek-sists” is not an answer to the question of whether man actually is or not; rather, it responds to the question concerning man’s ‘essence’. We are accustomed to posing this question with equal impropriety whether we ask what man is or who he is. For in the Who? or the What? we are already on the lookout for something like a person or an object. But the personal no less than the objective misses and misconstrues the essential unfolding of ek-sistence in the history of Being. That is why the sentence cited from Being and Time is careful to enclose the word ‘essence’ in quotation marks. This indicates that ‘essence’ is now being defined from neither esse essentiae nor esse existentiae19 but rather from the ek-static character of Dasein. As ek-sisting, man sustains Da-sein in that he takes the Da, the lighting of Being, into ‘care’. But Da-sein itself occurs essentially as ‘thrown’. It unfolds essentially in the throw of Being as the fateful sending.[9]
Jadi pembedaan esensi dan eksistensi bukanlah soalnya di sini sebab keduanya merupakan distingsi metafisika yang ditolak Heidegger.[10] Yang menjadi persoalan ialah inti kritik Heidegger bahwa Eksistensi manusia melampaui sekadar rasionalitasnya. Bahwa berpikir melampaui aktivitas kalkulatif rasional yang memicu lahirnya metafisika produksi atau teknologi.
- Korelasi antara humanisme Barat dengan teknologi
Dalam esay berjudul The question concerning technology, Heidegger mencoba mengurai kekeliruan dalam memahami teknologi. Dalam kritiknya terhadap humanisme, Heidegger menyoroti soal pengabaian terhadap pembedaan ontologis yang merupakan penentu cara kita berelasi dan berpikir dalam humanisme Barat. Pengabaian itu membawa kita pada pola pikir intrumental. Persis inilah persoalannya, karena segala sesuatu tidak hanya bersifat intrumental. Menurut Heidegger, teknologi tidak ekuivalen dengan esensi dari teknologi.[11] Sekali lagi kelihatan bagaimana Heidegger menekankan pembedaan ontologis itu. Esensi teknologi bukanlah teknologi. Atau dengan kata lain, teknologi tidak bersifat teknologis. Oleh karena itu, kita tidak bisa mencapai esensi teknologi jika hanya berkutat dengan segala hal yang bersifat teknologis.
Berbicara mengenai esensi berarti berbicara mengenai ke-apa-an dari segala sesuatu. Ada dua pendapat yang umum mengenai teknologi. Pertama, teknologi sebagai sarana untuk tujuan (as a means to end), yang lain melihat teknologi sebagai aktivitas manusia (human activity). Semua ini meskipun berbeda tetapi membungkus konsep yang sama bahwa teknologi ialah kegiatan manusia. Pembuatan dan pemanfaatan peralatan, alat, dan mesin, barang yang diproduksi dan yang digunakan itu sendiri, dan kebutuhan serta tujuan yang mereka layani, semuanya merujuk pada apa itu teknologi. Teknologi itu sendiri berarti penemuan (contrivance) atau dalam bahasa Latin, instrumentum.[12] Segala definisi yang menerangkan teknologi sebagai sarana atau aktivitas manusia merupakan definisi intrumental dan antropologis terhadap teknologi.[13] Heidegger tidak menampik hal ini sebagai sesuatu yang betul (correct). Akan tetapi, apa yang betul (correct) belum tentu benar (true). Hanya apa yang benar (true) dapat membawa kita pada relasi yang bebas dengan persoalan mengenai esensi. Dengan demikian, definisi instrumental dari teknologi masih belum menunjukkan esensi teknologi.
Untuk lebih jauh melihat persoalan ini, kita mesti melihat apa yang sesungguhnya dimaksud dengan term ‘instrumen’ itu sendiri. Dalam hal apakah sesuatu seperti sarana dan tujuan termasuk? Sarana berarti sesuatu yang terdampak atau tercapai. Sedangkan tujuan berarti sesuatu yang ke arahnya sarana dikondisikan. Dengan kata lain, tujuan juga merupakan penyebab (causa). Dalam dunia filsafat, kita mengenal empat causa Aristoteles. Menurut Heidegger, causa (sebab) berarti suatu aktivitas menampakkan. Keempat causa bertanggung jawab untuk menampakkan sesuatu (an-wesen).[14] Secara sederhana, causa berarti menghasilkan (to product). Teknologi dengan demikian bukan lagi sarana, tetapi suatu cara menghasilkan (instrumental).[15] Inilah ciri teknologi modern yang dikritik Heidegger.
- Esensi teknologi menurut Heidegger
Pemahaman mengenai teknologi sebagai suatu penyingkapan membawa manusia berada dalam suatu pola pikir membingkai (enframing). Teknologi ditempatkan sebagai sarana penyingkapan, sedangkan alam ialah persediaannya. Relasi yang kemudian muncul ialah relasi eksploitatif. Alam dituntut secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Istilah yang dipakai Heidegger ialah ”bestand” atau ”standing reserve”[16], yang mengungkapkan sesuatu yang lebih esensial daripada sekedar “stock”; persediaan yang dapat diambil, disimpan dan digunakan. Pemahaman umum (yang intrumental dan antropologis) inilah yang ingin dibalikkan Heidegger dengan mengajak kita kembali pada pengertian ontologis mengenai teknologi.
Sebagai seorang ontolog, Heidegger tentu saja mengajak kita untuk melihat makna ontologis dari teknologi supaya kita memiliki pemahaman yang tepat mengenai teknologi dan oleh sebab itu juga dapat menggunakannya dengan “bebas”. Teknologi dalam pengertian ontologis ialah suatu cara penyingkapan. Teknologi muncul (di Barat) dalam wilayah di mana penyingkapan dan ketaktersembunyian berlangsung, di mana aletheia kebenaran terjadi. Kata teknologi berasal dari kata Yunani techne yang mempunyai arti bukan hanya aktivitas dan keahlian menukang dengan tangan, tetapi juga seni pikiran (The Arts of Mind) dan seni halus (fine arts). Techne dihubungkan dengan episteme dalam Yunani kuno.
Kedua kata itu melibatkan pengetahuan. Techne melibatkan pengetahuan praktis, sedangkan episteme melibatkan pengetahuan teoritis yang eksak/pasti. Pengetahuan ini mambawa suatu penyingkapan atau penerangan (lichtung). Teknologi, dalam pengertian ontologis, tidak hanya merujuk pada instrumen atau aktivitas penggunaan alat-alat teknologis, tetapi juga pada suatu cara (techne) pengungkapan kebenaran atau suatu wilayah di mana entitas dan aktivitas muncul seperti adanya. Jadi techne merupakan suatu cara penyingkapan yang bukan hanya bersifat teknis, melainkan suatu keterbukaan pada pewahyuan kebenaran. Perubahan sistem berpikir inilah yang ingin dicapai Heidegger.
- Tanggapan Kritis dan kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Heidegger ialah seorang filsuf ontologis. Ia selalu menawarkan suatu kaidah ‘berpikir’ yang memberi akses pada kebenaran tertinggi dari realitas yang bersifat melampaui sekadar penampakan fisik (meta atau beyond). Cara berpikir ini pun melampaui metafisika. Berpikir menurut Heidegger justru melampaui rasionalitas. Berpikir bersifat meditatif, yaitu memperhatikan ‘Ada’ dan membiarkan ‘Ada’ menampakkan diri pada dirinya sendiri. Tentu saja ini tidak mudah.
Di satu sisi, ide Heidegger yang menekankan pembedaan ontologis realitas merupakan sumbangsih yang luar biasa bagi cara kita berhubungan dengan realitas. Pembedaan ontologis membebaskan kita dari kecenderungan mencampuradukkan realitas yang tidak persis sama dengan satu praksis. Begitu misalnya bahwa teknologi tidak hanya bersifat instrumental, tetapi lebih dari itu merupakan suatu cara penyingkapan, atau keterbukaan terhadap ‘Ada’. Sebab menurut Heidegger, tidak seluruh ‘Ada’ menampakkan diri, dalam penampakannya, ‘Ada’ menyembunyikan diri. Apa yang tampak bagi kita hanyalah ‘adaan’ yang persis bukanlah ‘Ada’ itu sendiri. Penampakan ‘Ada’ ini bagi Heidegger hanya pura-pura menampakkan diri. Kita sering terjebak dalam penampakan ini saja, lupa bahwa ‘Ada’ sekaligus tampak dan tersembunyi.
Di sisi lain, filsafat ontologis Heidegger sulit dipahami justru karena menekankan keterbukaan tanpa intervensi terhadap ‘Ada’, intensionalitas total. Heidegger meradikalkan fenomenologi Huserl. Kesulitan filsafat Heidegger terletak pada tegangan antara keterbatasan ‘Dasein’ dan ketakterbatasan Sein ‘Ada’. Bagaimana mungkin memahami ‘Ada’ tanpa membahasakannya? Mendefinisikan ‘Ada’ bagi Heidegger ialah pereduksian. Lantas bagaimana mengakses ‘Ada’? Kita hanya mempunyai bahasa metafisika. Persis di sini letak kelemahan filsafat Heidegger bahwa ia menihilkan nilai. Sesuatu yang tak terkatakan tidak mungkin mempunyai arti. Membiarkan ‘Ada’ tidak terkatakan membuatnya tak berarti.
BIBLIOGRAFI
Sumber Utama
Heidegger, Martin. “Letter on Humanism.” Global Religious Vision Vol. I/I (2000): 83-109.
Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology. Edited by William Lovitt. New York & London: Garland Publishing, 1977.
Sumber Tambahan
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: PT. Gramedia, 1981.
Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2003.
[1] Martin Heidegger, “Letter on Humanism.” Global Religious Vision Vol. I/I (2000): 83.
[2] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-KPG, 2003), 46.
[3] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 153-154.
[4] Heidegger, “Letter on Humanism,” 84.
[5] Heidegger, The Question Concerning Technology, dalam Martin Heidegger, ed., Manfred Stassen, Philosopical and Political Writings, (New York: Continum, 2003), hal. 285. “Thus, where Enframing reigns, there is danger is the highest sense”. 297.
[6] Heidegger, “Letter on Humanism,” 84.
[7] Heidegger, “Letter on Humanism,” 87.
[8] Heidegger, “Letter on Humanism,” 88.
[9] Heidegger, “Letter on Humanism,” 89-90.
[10] Heidegger, “Letter on Humanism,” 89.
[11] Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, Edited by William Lovitt. (New York & London: Garland Publishing, 1977), 4.
[12] Instrumentum signifies that which functions to heap or build up or to arrange. Heidegger here equates it with the noun Einrichtung, translated “contrivance,” which can also mean arrangement, adjustment, furnishing, or equipment. Heidegger, The Question Concerning Technology, 5.
[13] Heidegger, The Question Concerning Technology, 5.
[14] By writing An-wesen, Heidegger stresses the composition of the verb anwesen, translated as “to presence.” The verb consists of wesen (literally, to continue or endure) with the prepositional prefix an- (at, to, toward). It is man who must receive presencing, man to whom it comes as enduring. Heidegger, The Question Concerning Technology, 9.
[15] Heidegger, The Question Concerning Technology, 12.
[16] Heidegger, The Question Concerning Technology, 288.