Generasi “Z” dalam Krisis Modernitas

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Generasi “Z” dalam Krisis Modernitas

© Fr. Patritius Arifin SX

 

Realitas kita: tiga tahap pengetahuan

Untuk mengerti setiap gejala pada level praktik tingkah laku manusia dari zaman ke zaman, kita mesti memahami narasi-narasi besar sebagai semacam landasan normatif yang mempunyai implikasi moral pada tindakan. Demikian misalnya untuk memahami gejala kelihatan pada tindakan kita dewasa ini, kita perlu terlebih dahulu mengambil jarak kritis untuk menemukan sumber gejala pada level epistemik, seperti logika yang kita pakai, bagaimana kita memandang dunia, dsb. Aguste Comte, seorang filsuf Prancis yang juga seorang Positivis, membagi tahap perkembangan masyarakat kedalam tiga bagian secara linear, yaitu tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positif.

Pada tahap teologis, manusia mencari sebab terakhir dibalik peristiwa-peristiwa empiris dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini disebut dewa, tuhan, dll. Entitas-entitas tak kelihatan yang juga melampaui manusia inilah yang bertanggung jawab atas segala peristiwa alam yang kita jumpai. Demikian misalnya jika ada bencana orang lalu berdoa, dll. Kata kunci pada tahap teologis ialah penciptaan, bahwa dunia dengan segala yang ada tidak muncul dari dirinya sendiri, melainkan diadakan dan oleh karena itu juga bersifat kontigen. Sebagai ciptaan, segala unsur merupakan bagian dari satu tatanan, tidak berdiri sendiri atau terlepas dari relasi dengan yang lain. Etika yang muncul kemudian ialah keseimbangan atau keselarasan. Orang lalu menempatkan alam, binatang dan sebagainya sama tinggi dan sama rendah dengan manusia/sejajar.

Tahap berikutnya ialah tahap Metafisis. Tahap ini sebetulnya hanya bentuk lunak dari apa yang menjadi acuan pada tahap teologis. Dengan demikian tahap ini juga sering disebut tahap transisi. Pada tahap metafisis ini, muncul abstraksi-abstraksi yang dijadikan pegangan bersama dalam mengatur tatanan sosial hidup bersama. Tidak ada lagi tuhan atau dewa, semua itu diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai alam sebagai keseluruhan misalnya konsep ether, causa, dll. Pola pikir ini masih bersifat feodal bahwa semakin segala sesuatu tidak hanya terdiri dari materi semakin tinggi kedudukannya. Implikasi moralnya ialah bahwa orang lebih menghargai yang metafisis ketimbang yang bersifat material.

Tahap terakhir ialah tahap positif. Masyarakat modern berada pada tahap ini. Pada tahap positif, kebenaran tentang segala sesuatu dicari di dalam hal-hal itu sendiri. Metode yang berkembang ialah metode induksi berdasarkan observasi ilmiah. Revolusi keilmuan ini dimulai dari ranah kosmologi oleh Francis Bacon. Bacon mengkritik spekulasi metafisis yang menjadi ciri khas filsafat Barat. Ia menilai bahwa spekulasi seperti itu tidak akan membawa kita pada perubahan, sebaliknya, kita perlu mempelajari fakta empiris mengenai hukum-hukum yang bekerja secara mekanis dalam alam semesta untuk dapat menguasainya. Untuk itu, Filsafat harus dipisahkan dari pembicaraan tentang tuhan, atau apapun yang berupa spekulasi kosong. Kita tidak usah lagi sibuk mencari sebab-sebab akir yang abstrak, melainkan keteraturan gejala yang bisa diamati.

Persis pada tahap inilah pembicaraan tentang kosmos terpisah dari kata-kata kunci seperti penciptaan, tuhan, dewa-dewi, dll. Dampak revolusi pemikiran ini ialah bergesernya kekuasaan dari tuhan kepada manusia yang berpikir. Begitu misalnya manusia menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta dan bahwa alam dan segala isinya ada demi manusia. Sejak saat itu, sains berkembang. Perkembangan ilmu pengetahuan ini membantu manusia memahami cara kerja setiap unsur ilmiah, lalu mulai merancang berbagai kombinasi yang kemudian melahirkan penemuan-penemuan seperti mesin-mesin produksi, mesin cetak, peledak, dll. Akan tetapi, mulai saat itu juga terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap alam, pertambangan terjadi dimana-mana. Pola pikir manusia pun makin mekanistik. Segala sesuatu dianggap terlepas dari tatanan dan bisa diambil sesuka hati untuk memenuhi kebutuhan. Logika inilah yang kemudian berkembang pada zaman modern, yaitu hasrat manusia adalah segalanya. Pertanyaan kita sekarang ialah kemana semua hal ini membawa kita? Inikah yang kita sebut kemajuan?

 

Logika Modernitas

Seperti yang sudah diingatkan di bagian awal tadi bahwa tindakan manusia yang kita amati selalu merupakan implikasi moral dari spekulasi-spekulasi teoretik yang ada di baliknya. Modernitas merupakan suatu babak baru dalam sejarah filsafat. Modernitas merupakan respon terhadap segala dominasi, kemapanan dan klaim-klaim absolut dan mempercayakan segala pencarian manusia pada ide kemajuan. Akan tetapi modernitas sekaligus menyimpan sebuah momok besar dibalik keangkuhannya, yaitu hasrat tak teratur berupa kerakusan (Cupidity). Alih-alih semakin rasional, kita justru tunduk pada hasrat, nafsu murahan, kadang-kadang dengan sangat berlebihan. Jadi soalnya ialah, sebagaimana Nietzsche, segala teori yang kita bangun hanya merupakan rasionalisasi terhadap berbagai hasrat tak teratur seperti ketamakan, uang, kemewahan, dll. Misalnya kita lebih suka mengatakan bahwa kemajuan adalah kebaikan ketimbang sebaliknya bahwa kerakusan manusia tidak ada habisnya. Modernitas memandang realitas menggunakan frame antropologis seolah seluruh kenyataan kehidupan ialah tentang manusia. Antropologi sempit ini (subjektivitas) memaksa realitas untuk dipadatkan dan menjadi sangat terbatas pada pertanyaan tentang bagaimana manusia menjadi maksimal. Untuk hal ini kita bisa melihat Nietzsche dan Sartre dengan manusia super mereka. Dampaknya ialah bahwa “yang sebagian” menjadi “yang menyeluruh”. Di situ kelihatan bahwa Modernitas yang berusaha menentang segala bentuk dominasi dan memperjuangkan emasipasi justru muncul sebagai dominasi baru, yaitu dominasi subjek (Para Pembunuh Tuhan, 2009:32).

 

Generasi Z dan Internet

Lalu bagaimana dengan Generasi Z? Generasi Z ialah mereka yang lahir dalam dunia dengan logika modernitas tersebut, yang menggunakan frame antropologis dalam memandang realitas seolah seluruh kenyataan kehidupan ialah tentang manusia semata, berelasi dengan mental eksploitatif bahkan dengan sesama manusia. Yang termasuk Generasi Z adalah mereka yang lahir 1995 hingga 2014 (tentang ini, masih ada spekulasi lain). Itu berarti yang paling tua dari generasi ini berkisar antara 21-22 tahun. Mereka inilah realitas Gereja hari ini (termasuk para Frater, Suster dan Bruder), sebab jumlah mereka dominan ketimbang generasi X dan Y. Di Indonesia, pada 2010 saja jumlah mereka sudah lebih dari 68 juta orang, nyaris dua kali lipat Generasi X (kelahiran 1965-1976). Dan kini ada sekitar 2,5 miliar orang Generasi Z di seluruh dunia. Hal unik dari Generasi Z adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang lahir di era internet—generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet. Hal ini membuat mereka terdeterminasi kedalam suatu kelompok lain yang disebut generasi digital hal mana aktivitas seperti chatting, uploading, dll., menjadi eksistensi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa penetrasi internet terbesar terjadi pada kelompok ini. Di Indonesia, jumlah pengguna internet mencapai 54,68% dari total jumlah penduduk atau 143.26 juta dari 262 juta jiwa total penduduk Indonesia dan penetrasi terbesar dialami oleh Generasi Z, (Teknoprenuer.com). Inilah potret umum realitas kita hari ini.

 

Budaya Selfie

Data di atas berbicara tentang teknologi yang merupakan salah satu produk paling kelihatan dari modernitas. Untuk mempersempit bahasan, kita ambil yang paing dekat misalnya soal penggunaan internet dan telepon pintar oleh generasi Z ini. Pertanyaan kita ialah bagaimana kita menelisik logika modernitas yang menyelinap tak kelihatan dalam kemajuan teknologi ini? Saat ini, hal yang paling seru dan paling digemari oleh pengguna gawai menyusul lahirnya banyak media sosial ialah selfie. Banyak aplikasi muncul seperti Facebook, Instagram, dll., hanya untuk melayani kebutuhan yang satu ini dan nyatanya memang media sosial masih mendominasi daya tarik pengguna internet. Facebook misalnya menarik 2,167 juta pengguna bulanan yang aktif. Hal ini mempunyai korelasi dengan gaya hidup Gen Z bahwa kegiatan seperti selfie, uploading, chatting, downloading menjadi eksistensi mereka, hal mana tanpa itu, mereka seperti merasa kurang manusia. Akan tetapi, kita juga dapat melihat bahwa pasar teknologi sedang membangun suatu budaya nascisistik, budaya mengagungkan diri, pamer, membangun suatu ilusi bahwa dengan memosting foto atau apapun, seluruh dunia tertuju kepada kita dan kita menjadi pusat jagat raya ini. Semua ini merupakan wujud kelihatan dari penakhlukan kita terhadap hasrat akan kepuasan diri. Perusahaan teknologi memanfaatkan logika masyarakat modern yang haus akan pengakuan menjadi aku “subjek”. Generasi Z dengan demikian juga, tanpa sadar, menjadi pribadi-pribadi yang self-oriented, tertutup, ekstrim, sulit menerima kebenaran lain atau berkonfrontasi (berani dibalik layar). Mengapa demikian? Budaya selfie merupakan budaya mengagungkan diri atau kelompok sendiri. Orang seperti ini cenderung menolak pendapat atau fakta sekalipun, yang tidak sesuai dengan jalannya.

 

Big Data

Selama ini kita mungkin berpikir bahwa teknologi begitu memadai dengan berbagai fitur menarik yang “sangat mengerti” kebutuhan kita. Tanpa kita sadari, kita telah dikepung oleh kemajuan sains bidang kedokteran dan teknologi komputer yang memadukan revolusi biotek dengan revolusi infotek sekaligus sehingga menghasilkan algoritma Big Data yang memonitor dan memahami perasaan kita bahkan jauh lebih baik dan akutrat dari pada diri kita sendiri. Saat ini, sensor algoritma biometrik dan Big Data dalam kedokteran dapat mendiagnosis penyakit anda dan memberi saran pengobatan jauh sebelum mereka menyebabkan rasa sakit dan cacat, (21 Lessons For The 21th Century, 2018:54). Hal yang sama terjadi dalam bisnis online yang bernaung di bawah agen-agen besar seperti Amazon, Alibaba, Google, dll. Semua aktivitas internet anda (browsing, uploading) dimonitor sedemikian rupa dan diproses menjadi data yang akan dipelajari dan dikaji untuk melihat berbagai kecenderungan pengguna internet. Hasil kajian itu kemudian akan melahirkan aplikasi-aplikasi yang kita bilang “sangat mengerti” kita tadi sehingga kita cenderung sulit menolaknya. Di lingkungan para Gay misalnya, Big Data akan menganjurkan pemasangan iklan dengan lelaki telanjang ketimbang perempuan cantik.

Fakta ini memperlihatkan bahwa hampir semua hal saat ini bergantung pada teknologi dan sebagian besar manusia zaman ini terlibat secara langsung di dalamnya. Tak ada rahasia, privat, semua telanjang dan kelihatan. Kini tanpa sadar, subjektivitas telah bergeser lagi dari manusia ke teknologi. Sebaliknya, kita hanyalah objeknya sekarang. Yang mau dikatakan disini ialah klaim kebebasan dan rasionalitas subjek di zaman digital ini hampir hanya sebuah ilusi menyedihkan. Sebaliknya, kita justru dikontrol untuk makin rakus dan tunduk mengikuti hasrat kita. Ini krisis serius. Jika hasrat dan segala nafsu bagian perut ke bawah kita percayakan menjadi navigator, bahkan Einstein pada level ini tidak lebih baik dari kita. Hasrat merupakan sesuatu yang tidak bisa dipercaya/irasional. Pertanyaan kita ialah, apa relevansi misi dalam gambaran dunia dan (mungkin juga) Gereja seperti ini?

 

Misi: suatu penyangkalan diri

Pertama kita mesti menyadari bahwa misi masih relevan terhadap persoalan yang kita hadapi hari ini. Misi pada hakekatnya merupakan panggilan untuk keluar, memberi diri, terbuka pada kebenaran. Misi sendiri sangat terikat dengan keutamaan hidup bakti (Kons. 18). Itu berarti, misi selalu dalam relasi ketat dengan kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan. Semua keutamaan ini mengerucut pada upaya penyangkalan diri terhadap nafsu-nafsu tak teratur, dorongan atau hasrat untuk memegahkan diri, mengemis perhatian, untuk membawa kita menjadi manusia yang bebas. Dengan menyangkal diri kita justru menguasai diri kita dan menjadi Subjek yang sesungguhnya. Misi dengan demikian harus menjadi upaya pembebasan, suatu jalan keluar dari dekadensi pola pikir modernitas yang kalkulatif, transaksional, yang memburu hal-hal sensasional yang dangkal menuju keterbukaan pada kedalaman realitas kehidupan secara keseluruhan, yaitu pemberian diri. Inti dari keutuhan realitas ialah pemberian diri setiap unsurnya. Dengan demikian misi bisa menjadi jalan menuju keterbukaan manusia pada Allah yang hadir memberi diri dalam keutuhan. Sebagai Religius, kita mestinya bersyukur telah mengambil sumpah pada ketiga konkretisasi nilai injil ini secara khusus. Sekarang, tugas kita ialah mengkonkretisasi semua itu dalam kemasan yang kreatif dan ramah terhadap semua kalangan. Harapannya ialah keutamaan-keutamaan ini memberi sumbangsih pada harapan semakin terwujudnya dunia yang makin ramah dan manusiawi melalui segala karya kerasulan kita.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.