Pengorbanan: Gambaran Kasih Murni dan Sempurna
Mulai Minggu Paskah sampai Minggu Pentakosta, kita akan mendengarkan bacaan-bacaan yang ditawarkan untuk hari Minggu dari Perjanjian Baru. Banyak dari kita yang mungkin bertanya, mengapa demikian? Hal yang mau ditekankan disini adalah para saksi mata yang sangat berperan penting dalam peristiwa kebangkitan Yesus. Para saksi mata ini sangat berperan penting dalam pewartaan iman akan Yesus yang bangkit (bdk. 1 Kor 15:5 dst.). Pada hari ini pun kita menyaksikan bagaimana Petrus memberikan kesaksian di Kaisarea bahwa Kristus yang bangkit itu terasa sangat dekat dalam kehidupan para murid. Kristus yang mulia, tetap hadir di tengah-tengah mereka. Hal inilah yang menjadi penting bagi iman kita sebagai pengikut Kristus bahwa Yesus Kristus selalu hadir bagi kita sampai akhir zaman.
Hal yang sama yang mau ditunjukkan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose bahwa orang Kristen telah mati bersama Kristus dan bebas dari Roh dunia serta dibangkitkan pula bersama Kristus dalam kemuliaan Ilahi. Maka, arah yang ditempuh Yesus dalam hidupnya juga semestinya menjadi arah dan tujuan hidup kita sebagai pengikutnya yang baik. Arah dan tujuan itu tidak lain adalah suatu bentuk hidup yang kaya akan pengorbanan yang murni. Pengorbanan Yesus bagi kita merupakan pengorbanan yang amat sempurna atau pengorbanan yang total.
Pertanyaan yang penting bagi kita adalah “mampukah kita untuk meneladani Yesus Kristus dalam sikap berkorban?” Berkorban seringkali diartikan atau dipahami sebagai tindakan atau sikap yang super hebat atau tindakan yang besar. Jika demikian yang ada dalam konsep pemikiran kita maka kita sedang berada dalam kekeliruan yang besar. Pengorbanan itu sebetulnya bermula dari tindakan sederhana. Misalnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, solidaritas itu sangat penting dan dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk membangun hidup bersama yang baik pula.
Dalam renungan harian Majalah HIDUP (15 tahun ke-73 14 April 2019, hal. 44) Pastor Vitus Rubianto SX menuliskan beberapa renungan seputar Pekan Suci dengan tema besar yang sangat menarik yakni “Kasih yang Tak Berkesudahan”. Bagi saya tema ini sangat menyentuh dan dapat membantu saya untuk masuk dalam pemaknaan yang mendalam akan makna pekan suci terlebih Tri hari suci. Tema ini juga dapat memperlihatkan kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus yang menggambarkan perjuangan sekaligus kaya akan cinta yang luar biasa serta cinta kasih yang tidak pernah berkesudahan. Bahwa memang cinta Yesus tidak sepadan dengan cinta manusia yang selalu mengalami jatuh-bangun. Justru di sinilah letak perjuangan kita sebagai umat Kristiani bahwa tidak ada kata terlambat bagi kita untuk bertobat dan kembali pada model hidup yang sejati yakni meneladani hidup Yesus.
Dalam bacaan Injil kita menemukan kisah mengenai makam kosong. Makam kosong ini sebetulnya memberikan gambaran kepada kita bahwa Yesus telah dibangkitkan dan tidak dikuasai oleh alam maut lagi dan bahwa kuasa Allah lebih besar dan menguasai segalanya. Ada dua tekanan utama yang menjadi pegangan bagi kita umat Kristiani yakni, pertama, untuk menjadi saksi, kita terlebih dahulu melihat dan percaya. Kedua, melihat dengan jeli dan teliti serta percaya akan karya Allah yang hadir dalam peristiwa Kristus yang tersalib menjadi tantangan hidup orang beriman. Persis seperti inilah yang dialami oleh para rasul. Mereka menjadi saksi yang handal karena mereka telah melihat Yesus Kristus yang bangkit dan tidak hanya sampai pada tindakan “MELIHAT” tetapi juga “PERCAYA”.
Seluruh hidup Kristus mestinya menjadi perhatian sekaligus arah umat Kristiani. Kristus dengan setia dan rela menjadi santapan rohani umat Kristiani, maka sepatutnya kita sebagai umat Kristiani juga mampu menjadi santapan bagi sesama kita. Maksudnya adalah bahwa kita mestinya tedak pernah berhenti berjuang untuk menjadi pribadi yang selalu menampakkan wajah Yesus melalui sikap dan tindakan-tindakan baik kita setiap hari. Dengan demikian orang dapat melihat dan merasakan kasih Yesus Kristus yang hadir dalam diri kita umat-Nya. Kebangkitan Yesus Kristus menjadi terang yang bersinar bagi kita bahwa perjuangan hidup itu tidak akan sia-sia tetapi sebaliknya akan membantu kita untuk menemukan hidup baru yang sangat bermakna.
Ada sebuah ilustrasi singkat mengenai besarnya sukacita menjadi pengikut Kristus. Ada seorang anak cewek lahir dan tumbuh dalam keluarga yang broken home dan beda agama. Ayahnya beragama Katolik dan ibunya beragama Islam. Anak ini diarahkan sepenuhnya oleh ibunya dan ia pun menganut agama yang dianut ibunya yakni Islam. Anak ini memang sudah berkali-kali meminta kepada ayahnya agar ia dizinkan menjadi seorang Katolik, tetapi ayahnya selalu menyuruh dia untuk meminta kepada ibunya. Jawaban yang sama selalu ia dapatkan yakni selalu tidak dizinkan. Singkat cerita, ketika SMA kelas XII ayahnya meninggal dan ia berpikir bahwa keinginannya untuk menjadi seorang Katolik semakin berhadapan dengan jalan buntu. Rencana Tuhan berkata lain bahwa entah angin apa yang membawa ibunya bersikap berbanding terbalik dengan sikap sebelumnya yang sangat sangat radikal. Ketika ia sedang duduk santai di halaman rumah, tiba-tiba ibunya datang dan mengatakan bahwa ibu berkenan serta merestui jika ia masih memiliki keinginan untuk menjadi seorang Katolik. Maka sangat bersukacitalah anak itu dan mendaftarkan diri untuk mendalami iman Katolik sampai akhirnya dibaptis.
Cerita ini sangat singkat namun cukup jelas untuk menggambarkan betapa sukacitanya menjadi seorang Katolik. Menjadi seorang Katolik itu butuh perjuangan dan kesabaran yang besar. Maka pertanyaan refleksi bagi kita adalah “pernahkan kita merasakan sukacita yang besar menjadi seorang Katolik seperti yang dialami oleh seorang anak dalam cerita singkat di atas? Mari kita renungkan hal ini dalam kehidupan kita sehari-hari sembari memaknai sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Tuhan memberkati.
Fr.Arnoldus Heryanto Kurniawan sx