Menjadi Orang Miskin yang Bahagia
Fr.Willebrord Yudistira sx
Bagi sebagian orang yang hidup di zaman ini, sabda Yesus ”Berbahagialah kamu yang miskin karena kamulah empunya Kerajaan Allah” barangkali terdengar mengejutkan dan tidak masuk akal. Kemiskinan dewasa ini menjadi sesuatu yang identik dengan kekurangan, penderitaan, penghinaan, bahkan dalam taraf tertentu sampai kehilangan kehormatan dan martabat. Suatu negara misalnya hanya dikatakan maju apabila tingkat kemiskinannya rendah. Semakin rendah dan semakin sedikit tingkat kemiskinan di suatu negara, semakin maju dan sejahtera kehidupan warganya. Maka tidak heran jika kata ‘kemiskinan’ hampir selalu menggambarkan suatu kehidupan yang jauh dari kesan bahagia sebagaimana Yesus katakan dalam Injil hari ini. Maka, bagi mereka yang tidak memahami arti kemiskinan yang sesungguhnya akan merasa bingung dengan sabda Yesus ini.
Sahabat Yesus yang terkasih, untuk memahami sabda Yesus tadi, kita perlu memahami terlebih dahulu arti kata ‘miskin’ dalam konteks kebudayaan religius Yahudi. Seorang rabi bernama Jonathan Sack menjelaskan bahwa sebelum seorang rabi memimpin ibadat, dia akan mengucapkan doa, “ini aku, seorang miskin yang melayani’. Tentu kita tahu bahwa rabi itu tidak berdoa karena ia seorang yang miskin dalam arti materi, tetapi karena ia menyadari dirinya sebagai seorang pendosa yang tidak layak di hadapan Tuhan. Miskin bukan cuma soal tidak memiliki apa-apa, tetapi juga menyadari diri di hadapan Tuhan bahwa kita ini bukan apa-apa di hadapan-Nya sehingga senantiasa membutuhkan pertolongan dan kemurahan-Nya. Maka nampak jelas dalam sabda Yesus hari ini bahwa yang dimaksud dengan ‘berbahagialah kamu yang miskin’ adalah mereka yang berbahagia karena merasa tidak pantas di hadapan Tuhan, merasa bergantung hanya kepada Tuhan yang memberinya hidup dan selalu rindu akan pertolongan-Nya. Mereka yang miskin di hadapan Allah tidak hanya mendapat ganjaran bahagia saja tetapi juga memiliki Kerajaan Surga karena segala yang dilakukan hanya mengandalkan Allah semata.
Marilah kita belajar untuk menjadi orang miskin yang bahagia. Tentu bukan menjadi miskin dalam arti tidak mempunyai apa-apa (materi), tetapi menjadi miskin dalam arti sikap rohani yang menempatkan diri sebagai seorang anak yang senantiasa mengharapkan campur tangan Tuhan dalam hidup kita. Sikap ini dapat terlihat dalam diri seseorang yang senantiasa mengucap syukur atas apa saja yang boleh ia peroleh dari Tuhan dalam hidupnya. Orang yang selalu bersyukur menganggap segala pemberian dari Tuhan baik itu besar atau kecil, banyak atau sedikit, sebagai rahmat yang ia peroleh secara cuma-cuma. Maka marilah kita menjadi orang miskin yang bahagia dengan mengucap syukur kepada Tuhan dalam setiap doa kita. Ingat, kita bukanlah pengemis cinta Tuhan sehingga tidak sepatutnya kita hanya minta dan mohon saja kepada Dia, tetapi pertama-tama kita harus senantiasa mengucap syukur kepada-Nya karena segala pemberian-Nya kepada kita. Dari syukur itulah kita dapat miskin di hadapan Allah karena kita percaya secara total kepada penyelenggaraan iIlahi. Bukan hanya kami para biarawan/biarawati yang mengikrarkan kaul kemiskinan saja yang bisa menjadi miskin di hadapan Allah, tetapi anda semua juga dapat menjadi miskin di hadapan Allah melalui penghayatan hidup sehari-hari yang senantiasa mengandalkan Tuhan dan percaya kepada-Nya.