PERSEMBAHAN YANG SEMPURNA
1Raj. 17:10-16;
Ibr. 9:24-28;
Mrk. 12:38-44
Saudara-Saudari, Umat Allah yang terkasih dalam Kristus Yesus,
Ada dua kisah yang hendak ditampilkan Penginjil Markus pada hari Minggu ini, yakni pertama tentang kemunafikan kaum Farisi dan kedua adalah kisah seorang janda miskin. Yesus Kristus mengkritik sikap hidup orang Farisi yang menunjukkan kesalehan hidup untuk dilihat orang (Mrk. 13: 38-40). Kaum Farisi adalah para pemimpin spiritual Yahudi yang berkembang pada masa Bait Allah ke-2, sekitar abad ke 2 SM. Menurut para ahli, kaum Farisi adalah perkembangan dari kelompok Hasidim. Kelompok Hasidim adalah kelompok yang menganggap diri mereka sebagai orang beragama yang saleh. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan teladan kepada orang-orang Yahudi. Kaum Farisi yang dilukiskan penginjil hari ini memiliki sifat-sifat tertentu, yakni mereka suka berdoa di pinggir kota, suka menerima penghormatan di kota, suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat, di tempat terhormat dalam perjamuan tetapi mereka hanya mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Semua kegiatan keagamaan yang dijalankan Kaum Farisi dimotivasi oleh rasa ingin dipuji, dihormati, diagungkan, dan dijunjung tinggi. Motivasi ini tentunya salah bagi seorang pemimpin spiritual Bangsa Yahudi. Oleh karena itu, Yesus mengkritik mereka.
Mereka (kaum Farisi) melakukan kunjungan ke mana-mana, bukan terutama untuk mengajarkan keutamaan keagamaan, tetapi lebih memamerkan kesalehan pribadi, agar mendapat pujian dan simpati banyak orang. Mereka menyangka, dengan melakukan demikian, mereka telah melaksanakan perintah Taurat. Yesus amat tidak suka dengan cara hidup demikian. Yesus menghadirkan figur alternatif. Dia adalah janda miskin yang diam-diam menunjukkan sikap keberimanan dengan bersedekah. Sebuah tindakan konkret, yang tidak dimotivasi oleh semangat untuk dilihat orang. Bahkan orang pun tidak tahu kalau ia baru saja memberi seluruh yang ia miliki sebagai persembahan kepada Tuhan.
Saudara-Saudari, Umat Allah yang terkasih dalam Kristus Yesus,
Yesus menaruh perhatian kepada orang yang demikian. Janda miskin anonim yang memberi persembahan ini dipuji oleh Tuhan Yesus karena dia memberi dari kekurangannya. Kendati jumlah nominal persembahannya tidak sebanyak orang lain, dia memberikan dari seluruh nafkahnya. Hal ini tampak jelas dalam ucapan Yesus di ayat 44 yang berbunyi: “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” Dia berani memberi persembahan kendati dia belum berkelimpahan, bahkan harus mempertaruhkan seluruh nafkah hidupnya. Dia melakukan hal itu karena mengandalkan Tuhan sendiri. Tindakan janda miskin ini sangat kontras dengan perikop sebelumnya dimana Yesus justru mengecam para ahli Taurat yang kerap mencari kehormatan diri dan menelan rumah janda-janda (Mrk. 12:40). Allah mengukur persembahan bukan dari jumlah yang dipersembahkan tetapi dari kasih, pengabdian, dan pengorbanan yang terkandung dalam persembahan itu.
Pada hari ini kita semua dipanggil untuk memurnikan motivasi pelayanan dan segala bentuk tindakan kita agar selalu mengarah kepada kemuliaan allah dan menjauhi dosa. Kita bisa belajar dari kisah yang ditampilkan penginjil pada hari ini yang begitu sarat makna. Inilah sikap iman yang sempurna. Kadang kala dalam hidup ini, kita sering terjebak dalam motivasi-motivasi yang tidak murni. Semua bentuk pelayanan kita pada Allah dan sesama semata-mata dilakukan demi dipandang baik, suci, dipuji, disanjung layaknya orang Farisi yang dikecam Yesus pada hari ini. Apakah kita mau menjadi orang-orang farisi di tengah masyarakat dalam keseharian hidup kita? Yesus memberikan kita teladan yang sempurna. Seorang janda miskin yang mungkin tidak berharga di mata dunia namun begitu bernilai di mata Tuhan. Kita dipanggil untuk terus memerhatikan motivasi kita dalam melakukan sesuatu. Bisa jadi pelayanan kita disisipi motivasi tersembunyi, agar dianggap hebat, baik dan penuh pengorbanan. Pada titik ini kita terjebak dalam sikap “iman kosmetik”, agar terlihat keren, tetapi cepat pudar dan tidak bertahan dalam arus pergumulan iman.
Fr. Yohanes Nicholindo Putra, SX
Serikat Misionaris Xaverian