Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Pokok anggur dan ranting-rantingnya, Guru dan murid-murid-Nya

Kis. 9:26-31Mzm. 22:26b-27,28,30,31-321Yoh. 3:18-24Yoh. 15:1-8.

 

Ada dua hal yang menjadi fokus permenungan pada bacaan Injil hari Minggu ini yaitu pokok anggur dan ranting-rantingnya. Kedua hal ini merupakan gambaran relasi antara guru dan murid. Ketika dalam tulisan ini menyebutkan dan menjelaskan makna guru dan murid, hal ini mengarah pada Yesus dan para murid-Nya. Yesus menyatakan diri sebagai pokok anggur dan juga menyatakan murid-murid-Nya sebagai ranting-ranting yang tinggal pada pokoknya. Alegori pokok anggur dan ranting-ranting ini diidentifikasikan dengan relasi murid dan guru karena pendengar sabda Yesus adalah para murid. Kalau begitu tidak keliru kalau dikatakan bahwa sebenarnya Yesus mau mengajarkan para murid seperti apa menjadi murid sejati, seperti apa menjadi murid yang memiliki guru yang benar, dan seperti apa relasi guru dan murid yang baik. Berelasi bukan hanya soal hubungan timbal balik, lebih dari pada itu adalah penghayatan akan makna hidup yang benar sebagai hasil dari relasi tersebut.

Guru dan kebengisan

Secara sederhana guru dapat berarti sumber pengetahuan, sumber kebijaksanaan, dan sumber kebajikan. Selain sebagai sumber, guru juga berperan melayani sehingga ia pantas disebut sebagai pribadi yang patut ditiru atau diteladani. Artinya, guru akan disebut sejati hanya kalau perkataan dan perbuatannya harmonis, sejalan atau kongruen (sesuai antara perkataan dan tindakannya). Dalam konteks injil, Guru yang paling ideal bagi para murid adalah Yesus sendiri. Sehingga tepat yang dikatakan Yesus “Akulah pokok anggur…” Pokok berarti sumber yang selalu menyalurkan apa saja yang dimilikinya kepada ranting-rantingnya supaya ranting tersebut dapat menghasilkan buah yang baik. Inilah harapan Yesus pada para murid-Nya. Bagaimana bisa seseorang dikatakan Guru kalau perkataan dan perbuatannya tidak sejalan?

Sebagai Guru hidup, perkataan Yesus tentang ranting “yang tidak berbuah akan dipotongNya” tidak perlu dimaknai sebagai tindakan yang negatif, bengis, amoral, dan tidak perlu diartikan secara harafiah. Yesus selalu tahu bahwa hukum yang pertama dan terutama adalah cinta kasih. Maka, Yesus tidak bermaksud menampilkan Allah yang bengis. Justru lewat alegori ini Ia mau menampilkan hukum cinta kasih dan kebijaksanaan seorang guru. Dalam alegori pokok anggur ini, Yesus berkata “setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, akan dipotong-Nya…” (ay. 2). Sabda ini khusus untuk setiap orang yang berguru dan percaya pada-Nya, orang-orang yang telah disaluri oleh semangat Yesus. Dengan demikian, hal ini mau mengatakan bahwa setiap orang yang menjadikan Yesus sebagai sumber hidup—paling utama para murid—akan selalu dibersihkan oleh Yesus dari segala hambatan-hambatan yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Jadi bukan pribadinya yang dipotong atau dibuang ke dalam api, melainkan segala macam penghambat berkembangnya seseorang. Berdasarkan pemahaman ini, bukankah baik kalau Yesus membuang ke dalam api segala hambatan yang menjerat kita? “Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa,” (ay. 5). Jadi sangat jelas, hukum yang dibawa Yesus tetaplah hukum cinta kasih dan harapan, bukan kebengisan.

Murid dan perjuangannya

Murid (Ibrani limmud; Yunani mathetes; Latin discipulus) merupakan kata yang pada umumnya mengacu pada orang-orang yang menerima ajaran dari orang lain. Dalam konteks injil hari ini, sebenarnya kata murid lebih merujuk pada suatu finalitas dari persyaratan yang disyaratkan oleh Yesus kepada pengikut-Nya(…yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku), ay. 8. Kalau begitu, apakah Yesus harus memberi syarat pada pendengarnya untuk menjadi murid-Nya? Sekali-kali perlu diingat, kata syarat dalam konteks ini lebih kepada tawaran nyata akan konkretisasi pemaknaan hidup yang perlu direalisasikan dengan penuh komitmen. Jadi bukan syarat dalam arti kalau tidak memenuhi kriteria, maka akan dibuang, tidak. Hal ini bermaksud bahwa menjadi murid selalu memiliki persyaratan yang perlu dilakukan karena ia sejatinya selalu belajar dari sang guru, mendengarnya, bertanya, menghayatinya, dan menyimpannya supaya ikut tersalurkan.

Murid yang baik adalah murid yang rendah hati dan selalu berjuang, sebab ia tahu bahwa ia hanyalah ranting sebagai perantara antara pokok dan buahnya. Maka menjadi murid bukan hanya menyerap sesuatu dari Sang Guru, melainkan juga mesti menghasilkan buah. Jadi, sebenarnya Yesus dan para murid saling melengkapi. Yesus melengkapi bagian yang kurang dari para murid. Para murid menjadi pendegar Yesus yang mana hal itu secara tersirat ikut melengkapi pewartaan Yesus, sebab tanpa para murid Yesus hanya akan berbicara sendiri tanpa pendengar. Dari penjelasan tentang guru dan murid ini, dapatlah ditarik benang pemersatu yang menyebabkan keduanya saling bersatu. Perbedaannya cukup jelas, akan tetapi yang menyatukan keduanya adalah kesetiaan. Sang Guru memiliki kapasitas kesetiaan yang melampaui apapun kepada murid-murid-Nya. Para murid memiliki juga kesetiaan dalam batasnya sebagai manusia terhadap Sang Guru. Akan tetapi bukan persoalan kapasitas yang disoroti, melainkan ada kesetiaan diantara keduanya.

Relevansinya dalam Kehidupan Sehari-hari

Seringkali kita memiliki kecenderungan untuk selalu menjadi Guru bagi orang lain tanpa kita sadar bahwa ternyata sampai kapanpun kita selalu menjadi murid. Kita selalu ingin menjadi sumber sesuatu bagi orang lain tanpa kita sadar bahwa kita dalam arti tertentu memiliki keterbatasan. Tetapi kita bertingkah dan berbicara seolah-olah semua yang kita lakukan benar. Menegur orang tanpa lelah, cerewet sembarangan, berkotbah dan berpidato dengan lagak orang yang tahu segalanya dan telah melakukan kebenaran dan kebaikan saja dalam hidup. Seringkali kita mengatakan aku-lah imam yang baik, guru yang baik, pemimpin yang baik yang layak ditiru, tanpa kita sendiri sadar bahwa antara perbuatan dan perkataan tidak harmonis. Kita perlu tahu bahwa Yesuslah satu-satunya Guru kehidupan, sehingga kita yang selalu sebagai murid perlu sadar bahwa kita tidak mempunyai kuasa untuk menggurui orang lain, menghakimi orang lain, dll. Sebab, kebijaksanaan kita terbatas pada status kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan. Dari bacaan Injil hari ini, sebenarnya kita diajar untuk selalu menyadari arti Guru dan murid dihadapan Tuhan dan bagaimana menjadi murid yang baik di hadapan Guru yang benar.

 

By: Lian, SX.

Leave a Reply

Your email address will not be published.