RUMAH KERANG CILINCING

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

RUMAH KERANG CILINCING

Rumah Kerang Puteri Kasih-Cilincing adalah salah satu tempatku untuk belajar menemukan Tuhan dalam diri setiap pribadi. Rumah ini terletak di daerah CIlincing Kelapa dan juga biasa disebut sebagai ‘Kampung Nelayan’. Jika melihat dan pernah mendengar istilah tentang ‘kampung nelayan’ apalagi yang berada di Jakarta, akan ada pandangan bahwa daerah ini kotor, bau dan banyak orang miskin. Stigma dan pandangan ini begitu melekat di dalam benak banyak orang. Hal ini pula yang seringkali membuat orang bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa hidup? Bagaimana mereka bisa menjalankan kehidupannya di tengah daerah yang kurang bersih? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini seakan-akan mendiskreditkan masyarakat Cilincing Utara dengan hiruk-pikuk kehidupannya yang sedemikian rupa.

Aku pun juga terkadang berpikir sedemikian rupa dan bertanya seperti itu. Seringkali aku pun merasa iba dan kasihan terhadap mereka. Sempat juga berpikir dan bertanya,’Mengapa mereka tidak pindah dari tempat ini menuju tempat yang baru: yang lebih bersih, lebih sehat dan lebih memberikan nilai kehidupan di dalam harkat dan martabat mereka?” Rasa kasihan ini pula terkadang merendahkan mereka. Aku sadar bahwa perasaan ini adalah perasaan manusiawiku semata. Namun aku belajar bahwa kehidupan yang kujumpai, bertatapan dengan kehidupan mereka membuatku sadar bahwa merekalah yang musti kuperhatikan. Merekalah yang musti kubawa di dalam doa.

Sekalipun aku sering melihat kelemahan di dalam diri mereka, rasa jengkel di dalam diriku tentang keterbatasanku karena aku tidak bisa membantu banyak dan hanya bisa melihat penderitaan mereka, lama kelamaan aku belajar bagaimana aku mesti mencari makna hidup di dalam diriku sendiri. Memandang dan melihat wajah mereka mebuatku harus bercermin terhadap kehidupanku. Mereka bekerja keras mempertahankan hidup mereka, bahkan mereka juga bertahan hidup demi keluarga mereka pula. Menjadi nelayan bukan tanpa tantangan, menjadi pengupas kerang bukan berarti tanpa perjuangan. Mereka berjuang dengan amat keras untuk bertahan.
Banyak pula yang ditinggalkan oleh keluarga mereka. Ada pula yang sekalipun orang tua tinggal dekat dengan anak mereka yang sudah dewasa tidak lagi diperhatikan kebutuhannya sebab mereka harus memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka dan pendidikan anak-anaknya. Beban hidup amat tinggi dan perjuangan akan terus ada. Kupikir, betapa nikmatnya kehidupanku di dalam rumah ini.

Kurasa kehadiran para suster Puteri Kasih di tengah-tengah mereka sedikit melegahkan kehidupan mereka. Memberikan bantuan kesehatan, pendidikan, sandang, pangan dengan semangat cinta kasih seakan-akan menghadirkan Kristus di dalam kehidupan masyarakat Cilincing. Sekalipun mereka hadir di tengah-tengah orang non-Kristiani, para suster tanpa pandang bulu memberikan cinta kasihnya kepada mereka. Para suster dengan orang-orang yang membantu melalui sumbangan-sumbangan dan kasih yang menggerakkan hati para donator menghadirkan Kristus sebagai cinta kasih tanpa mengajarkan dan mengatakan untuk Yesus kepada orang-orang miskin. Sebab, mereka ingin agar pengikut Kristus dikenal bukan karena meneriakkan dan mengajarkan tentang Yesus, melainkan melalui hanya melalui perbuatan kasih. Inilah yang menjadi spirit dan semangat Suster Puteri Kasih.

Memang aku dan rekanku, Fr. Vincent tidak berbuat banyak. Kami hanya membantu untuk pelayanan pembagian sembako, mengatur pelaksanaan pengobatan kepada orang-orang sakit dan mengajar anak-anak. Di sela-sela kegiatan itu, kami juga ikut berpartisipasi dalam membagikan makan siang kepada orang-orang miskin. Pembagian makanan inilah yang membuatku melihat suatu pengalaman dan perjumpaan dengan orang-orang yang membutuhkan kasih dan perpanjangan tangan Tuhan.

Hal pertama yang kupelajari dan kusadari tentang karya kerasulanku ialah bahwa aku hanya manusia biasa, ciptaan Tuhan dan memiliki keterbatasan. Kesadaran inilah yang membuatku semakin sadar bahwa aku membutuhkan Tuhan di dalam hidupku. Tanpa-Nya aku tidak ada apa-apanya. Panggilanku sebagai calon imam pun tiada artinya bila tanpa diriNya. Semua itu hanya karena Tuhan yang membimbing, memimpin dan mendesakku.

Kedua, keterbatasan tidak berarti aku tidak bisa berbuat apa-apa. Justru dengan keterbatasan ini, Tuhan membimbingku agar aku mampu keluar dari zona nyamanku untuk melampaui diriku yang lama untuk menjadi manusia Kristiani yang baru. Keterbatasan ini pula yang membuatku menjadi pribadi yang realistis sekaligus punya iman yang besar kepada Tuhan. Keterbatasanku ini juga yang membuatku amat berkembang dan terus-menerus memperbarui diri untuk semakin serupa dengan Kristus. Yesus, sekalipun anak Allah, sebagai manusia, Ia membatasi diriNya hanya untuk mengikuti kehendak Bapa. Sebenarnya Kristus bisa melakukan segalaNya, namun demi terwujudnya misteri Allah di dunia beserta keselamatan kekal, Kristus menghampakan diri untuk keselamatan kita.

Ketiga, perjuangan dan semangat. Aku sering merasa tidak kuat untuk melakukan sesuatu. Harus mengangkat sekarung beras dengan berat 50 kg sendirian itu terasa amat berat. Pada awalnya aku selalu meminta konfraterku yang lebih kuat untuk mengangkatnya. Namun, aku sadar jika aku hanya mengandalkan orang lain dan aku tidak mengembangkan diriku, aku hanya akan menjadi batu sandungan bagi sesamaku. Ini juga tidak membuatku mandiri dan terus tergantung kepada konfraterku. Kesadaran ini membuatku malu karena aku lemah. Akan tetapi, Tuhan menuntunku untuk tidak lekas putus asa. Aku yang ingin melayani dan melampaui keterbatasanku mulai melatih diri hingga akhirnya berkat latihan dan rahmat Tuhan atas diriku, sedikit demi sedikit aku pun bisa melampaui keterbatasanku bahkan mengangkat lebih dari 10 karung 50kg sendiri. Tentang semangat, aku melihat rekan-rekanku yang bersama dengan suster senantiasa menghibur dan menyapaku. Keramahan mereka membuatku sadar bahwa di dalam diri mereka pun, sekalipun tidak seiman mencerminkan Kristus yang menguatkanku dengan semangat.

Keempat, perjumpaan. Setiap orang yang datang ke rumah kerang adalah orang miskin. Perjumpaan dengan orang-orang yang membutuhkan kasih Allah inilah yang membuat hatiku semakin sadar bahwa untuk inilah aku diutus. Terkadang di dalam hati kecilku aku ingin berjumpa dengan orang-orang yang kusukai saja, ingin di tempat yang nyaman dan enak. Akan tetapi, perjumpaan dengan mereka mengubah diriku untuk sadar bahwa Tuhan hadir di dalam orang-orang seperti ini. Sungguh, aku merasa malu jika aku terus-menerus berpikir bahwa dengan menjadi imam, aku akan dilayani dan mendapat tempat terbaik. Perjumpaan ini pun membuatku sadar bahwa pembinaan di masa novisiat menyiapkanku untuk hal ini, yaitu agar aku tidak jatuh dalam kehendak pribadi, melainkan terus menerus mengarahkan pandangaku kepada Kristus yang tersalib, yang hadir di dalam orang-orang yang kujumpai dalam karya kerasulan ini.

Bagiku ini adalah berkat. Tentu masih banyak yang ingin aku ungkapkan, namun karena aku tidak boleh menulis banyak-banyak, hanya ini saja yang ingin kusampaikan saat ini. Bila ingin mengetahui hal lain yang lebih dalam: Mintalah kepada-Nya rahmat agar diberiNya pengalaman perjumpaan dengan Kristus.
Tuhan memberkati. Amin.

Fr. Gregorius Purba Nagara SX

Leave a Reply

Your email address will not be published.